Bagaimanapun juga, Santo adalah kepala keluarga Lubis. Meskipun dia biasanya menjadi budak bagi anak perempuan di rumah, dia bisa sangat menakutkan jika benar-benar marah.Dia sudah sangat benci dengan Yara. Melihat sikap Yara seperti itu di luar, dia jadi semakin marah."Kamu pikir gampang bagi ibumu untuk membesarkanmu sampai sebesar ini?" Dia memelototi Yara. "Kalau kamu nggak mau mengakui dia sebagai ibumu, jangan masuk ke pintu rumah keluarga ini.""Santo ...." Zaina menutupi dadanya. "Kenapa kamu begitu marah?"Melanie bergegas menghampiri dan menggandeng lengan Santo. "Ayah, jangan marah. Nggak baik untuk kesehatanmu."Dia segera memanggil Yara dan Silvia. "Bibi Silvia, Rara, ayo masuk."Yara dalam hatinya merasa sangat sedih, apalagi saat Santo bersikap kasar kepadanya tadi. Dia diam-diam menghibur dirinya sendiri, mencari alasan bahwa Santo tidak tahu apa-apa, karena itulah dia bersikap seperti ini.Melihat Zaina tampak kurang sehat, dia bergegas menghampiri. "Bibi, ayo masuk,
Menebak Yara pasti sudah meminum airnya, dia segera bertukar pandang dengan Melanie."Sakit." Yara menutupi perutnya, terlihat kesakitan."Ada apa?" Wajah Santo berubah suram. "Perlu ke rumah sakit?"Silvia segera mengangguk setuju. "Iya, ayo ke rumah sakit."Dia memandang Santo dan Zaina. "Kalian bertiga lanjut makan saja, biar aku yang membawa Yara ke rumah sakit. Dia mungkin salah makan sesuatu."Dia kemudian menarik Yara. "Ayo, aku antar ke rumah sakit."Yara mendorongnya keras-keras dan berdiri sendiri dengan susah payah. "Nggak apa-apa, aku bisa pergi sendiri.""Marah kenapa lagi sekarang?" Santo sedikit cemas dan ikut berdiri "Ayo, aku antar kamu ke sana."Silvia tanpa sadar menatap Melanie."Ya, biarkan ayahku yang mengantar kalian." Melanie mengangguk setuju.Tepat pada saat itu, bel pintu tiba-tiba berbunyi. Ketika pelayan membukakan pintu, ternyata yang datang adalah Felix.Wajah Melanie berubah. "Kak Felix? Kenapa kamu di sini?""Aku dengar ibumu sudah keluar dari rumah sak
"Ada apa dengan Felix ini?" Silvia mengumpat. "Tumbuh besar di luar negeri, nggak tahu sopan santun."Beberapa orang itu terdiam.Melanie samar-samar merasa ada yang tidak beres. Kedatangan Felix terlalu tepat waktu. Lalu, kenapa Zaina tidak khawatir?Dia menatap Silvia. "Bibi, sebaiknya kamu ikut ke rumah sakit juga, Rara kelihatannya agak kurang sehat.""Oke, aku cari tahu dulu mereka pergi ke rumah sakit mana." Silvia segera mengambil barang-barangnya dan pergi.Felix menggendong Yara ke mobil dan hendak memasukkannya dengan hati-hati ke dalam mobil ketika Yara yang berada dalam gendongannya tiba-tiba membuka mulut."Kak, turunkan aku, aku baik-baik saja."Felix tertegun sejenak, memastikan lagi dengan ragu-ragu, "Kamu benar-benar baik-baik saja?""Iya." Yara tersenyum simpul. "Maaf membuatmu khawatir. Ayo kita bicarakan di dalam mobil."Keduanya masuk ke dalam mobil dan Felix memastikan lagi, "Jadi kamu nggak perlu ke rumah sakit lagi?""Nggak jadi, tolong antar aku pulang." Yara m
Silvia langsung menghubungi Melanie setelah panggilannya tidak bisa masuk lagi. "Felix bahkan nggak menjawab teleponku sama sekali. Yara juga sudah memblokir nomorku. Apa yang harus aku lakukan?""Nggak usah repot-repot mencari mereka." Melanie menatap tajam Zaina di depannya. "Aku akan menghubungimu lagi nanti."Dia menutup telepon dan membantingnya tepat di depan Zaina. "Pasti ulahmu, 'kan? Kamu menguping pembicaraanku dengan Silvia?"Senyum tipis muncul di bibir Zaina, mengiyakan tebakan Melanie."Beraninya kamu merusak rencanaku?" Melanie mengangkat tangannya ingin menamparnya, tetapi berhenti di saat-saat terakhir.Jika tamparan itu meninggalkan bekas di wajah Zaina, Santo pasti akan bertanya-tanya, dan sekarang bukan waktunya untuk terjadi pertengkaran.Dia meletakkan tangannya lagi dan memelototi Zaina. "Dengarkan aku baik-baik. Anak haram di perut Yara nggak boleh dilahirkan.""Itu anak Yudha." Zaina balik menatapnya. "Kalau suatu hari nanti Yudha tahu semua ini, apa kamu pikir
"Bagaimana keadaan Rara?" Yudha tidak menjawab pertanyaannya."Jawab pertanyaanku." Felix terus menekan.Yudha mengeluarkan ponselnya dan berbalik hendak pergi.Felix menghalangi jalannya. "Apa sulitnya menjawab pertanyaanku? Bahkan meskipun Melanie yang menyelamatkanmu saat itu ....""Kak!" Yudha menyela Felix. "Orang yang pergi meninggalkan keluarganya nggak punya hak berkomentar atas apa yang terjadi saat itu."Warna di wajah Felix langsung memudar saat mendengar tuduhan itu.Yudha mendorongnya pergi.Felix menyaksikan sosoknya pergi menjauh dan berkata pelan, "Rara baik-baik saja."Yudha tidak jadi menelepon dan berganti menelepon Melanie.Dengan cepat telepon diangkat di ujung sana dan suara Melanie terdengar lemah, "Yudha? Benar Yudha?"Yudha mengerutkan keningnya. "Ada apa denganmu?""Yudha, aku sepertinya melakukan kesalahan yang sangat besar." Tangis Melanie pecah. "Bisakah kamu tolong telepon Rara untukku?"Yudha jadi semakin bingung. "Apa yang terjadi hari ini?""Kak Felix n
Felix terdiam sejenak. "Dua-duanya.""Haha." Yudha menatap sinis. "Kalau soal penculikan, tinggal perlakukan Melly dengan baik saja. Kalau soal kepergianmu ke luar negeri, minta maaflah pada Kakek dan Ibu."Felix menunduk."Aku tadi tanya. Apa jawabanmu?" Yudha tidak ingin melepaskannya.Felix terdiam sejenak, lalu perlahan mengangkat kepalanya. "Yudha, aku nggak ingin lari lagi."Yudha mengerutkan kening."Yudha, entah apa pun yang kamu katakan, entah apa pun yang kamu pikirkan, aku akan melindungi Rara." Felix bangkit berdiri.Yudha maju mendekat. "Kenapa? Sudah berapa lama kamu mengenalnya? Apa kamu benar-benar kenal seperti apa dia?""Yudha, tanyakan pada dirimu sendiri. Kamu sudah kenal Rara begitu lama, seperti apa pendapatmu tentang dia?"Yudha tidak berkata apa-apa.Felix menatapnya lekat-lekat. "Yudha, dengarlah nasihatku. Jangan lari dari kata hatimu yang sebenarnya. Ada konsekuensi yang lebih mahal dari yang kamu bayangkan kalau menjadi seseorang yang melarikan diri."Yudha
Yara baru saja hendak tidur ketika dia mendengar ponselnya berbunyi.Dia merebahkan diri di sofa dan segera membuka pesan. Dan sejenak, dia lupa caranya bernapas.Karena dia tahu bahwa Yudha salah kirim. Pesan itu seharusnya untuk Melanie. Mereka ... akhirnya akan menikah.Yara menggigit bibirnya, berusaha sekuat tenaga untuk mengendalikan emosi dan akhirnya mengetik empat kata dengan tangan gemetar.Yara: "Selamat!"Keesokan paginya saat Yudha melihat balasan ini, dia sangat tidak menyangka dia mengirim pesan kepada orang yang salah, dan salahnya benar-benar parah.Teringat akan perkataan Felix dan Melanie kemarin, dia pun menelepon.Yara sedang sarapan dan mengangkat telepon dengan kepala berpikir keras. "Yudha, ada apa?"Mereka belum pernah berkomunikasi sejak dia meninggalkan Selayu sebelumnya.Yudha tidak mendengar ada yang aneh dari suara Yara dan berbicara pelan, "Aku salah kirim tadi malam.""Aku tahu." Yara menelan makanan di mulutnya dengan susah payah. Ketika Yudha berhenti
#Memang benar bahwa ibu Tanto meninggal terlalu cepat dan Kakek Susilo mengabdikan diri sepenuhnya pada Grup Lastana pada saat itu. Kenangan masa kecil Tanto sebagian besar bersama dengan Liana.Makan bersama, pergi ke sekolah bersama, Liana memainkan peran yang sangat banyak dalam hidupnya.Tanto berjalan ke pintu masuk perumahan dan menoleh ke belakang. Dia tahu Siska tinggal di lantai berapa, tetapi dia tidak berani menemuinya.Padahal, Siska sedang berdiri di depan jendela, memperhatikan Tanto berjalan menjauh selangkah demi selangkah.Akhirnya, dia mengumpat pelan, "Bisa-bisanya aku suka dengan bajingan seperti dia!"Setelah mengumpat, dia duduk di sofa merasa frustrasi, masih dengan batin yang berkecamuk.Sementara itu, setelah Yara tiba di kantor, dia bertemu dengan Bagas, pria yang sengaja menabraknya di pintu waktu itu.Entah hanya dalam pikirannya atau memang nyata. Setelah Bagas melihatnya, dia seperti tersenyum dan berbalik pergi, seolah-olah sengaja sedang menunggunya.Yar