#Memang benar bahwa ibu Tanto meninggal terlalu cepat dan Kakek Susilo mengabdikan diri sepenuhnya pada Grup Lastana pada saat itu. Kenangan masa kecil Tanto sebagian besar bersama dengan Liana.Makan bersama, pergi ke sekolah bersama, Liana memainkan peran yang sangat banyak dalam hidupnya.Tanto berjalan ke pintu masuk perumahan dan menoleh ke belakang. Dia tahu Siska tinggal di lantai berapa, tetapi dia tidak berani menemuinya.Padahal, Siska sedang berdiri di depan jendela, memperhatikan Tanto berjalan menjauh selangkah demi selangkah.Akhirnya, dia mengumpat pelan, "Bisa-bisanya aku suka dengan bajingan seperti dia!"Setelah mengumpat, dia duduk di sofa merasa frustrasi, masih dengan batin yang berkecamuk.Sementara itu, setelah Yara tiba di kantor, dia bertemu dengan Bagas, pria yang sengaja menabraknya di pintu waktu itu.Entah hanya dalam pikirannya atau memang nyata. Setelah Bagas melihatnya, dia seperti tersenyum dan berbalik pergi, seolah-olah sengaja sedang menunggunya.Yar
Yudha bergegas datang begitu menerima telepon dari Melanie."Yudha ...." Melanie melemparkan diri ke dalam pelukannya. "Apa yang harus aku lakukan? Aku nggak sengaja menginjak gas. Apa aku akan masuk penjara?"Yudha mengerutkan kening dan mendorong wanita itu menjauh darinya. Dia menatap dari atas ke bawah dan melihat hanya ada sedikit kemerahan di dahi Melanie. "Nggak ada luka lain 'kan?"Melanie menggelengkan kepala dan menunjuk ke arah mobil di seberang jalan. "Yudha, kenapa sopirnya belum keluar? Dia ... dia nggak mati, 'kan?"Mobil di seberang jalan itu jelas sebuah mobil kecil yang dikendarai oleh seorang perempuan. Melihat jarak antara kedua mobil serta tingkat kerusakan pada mobil itu, seharusnya tidak ada yang terluka.Yudha menepuk pundak Melanie. "Coba aku lihat.""Aku ikut juga." Melanie menarik ujung jaket Yudha dengan lembut dan mengikuti di belakang dengan hati-hati.Saat membuka pintu mobil, kepala Yudha berdengung, melihat Yara tergeletak di sana dengan wajah pucat sea
Yudha tidak siap menerima pukulan itu dan langsung terjatuh ke lantai.Kepalanya kacau dan berlumuran darah. Dia melihat Felix dan menggumam, "Kecelakaannya nggak serius, tapi ... tapi aku nggak tahu kenapa ...."Dia merentangkan tangannya, matanya penuh panik. "Darah ... dia berdarah sangat banyak dan nggak pernah berhenti."Felix menggertakkan gigi penuh kebencian, tetapi kehamilan Yara belum bisa dibicarakan untuk saat ini. Atau setidaknya, tidak boleh dibicarakan olehnya."Cuci muka dulu sana," katanya dengan suara pelan, lalu dia pergi menuju pintu ruang IGD untuk melihat ke dalam.Yudha kembali duduk di kursinya, memukul-mukul kepalanya karena kesal. Dia tidak pernah tahu bahwa dia bisa setakut ini.Seiring berjalannya waktu, pintu ruang gawat darurat akhirnya terbuka, dan seorang perawat bergegas keluar."Bagaimana? Bagaimana keadaan pasien?" Yudha dan Felix bergegas menghampiri."Pasien kehabisan darah dan hampir kehilangan nyawanya." Perawat itu berjalan sangat buru-buru. "Kit
Felix mengibaskan lengannya keras-keras. "Kalau aku tahu pun aku nggak akan memberitahumu."Yudha memelototinya dengan marah. "Oke, aku akan menanyakannya sendiri saat dia bangun nanti."Felix mendengus dan beranjak pergi dengan cepat, segera mencari Melanie."Kamu sengaja, 'kan?" Dia memanggil wanita itu ke tangga. Wajahnya sangat suram."Nggak." Melanie gemetaran. "Kak Felix, kamu salah paham, ini benar-benar kecelakaan."Felix setengah tersenyum. "Kamu bisa membodohi Yudha, tapi kamu nggak bisa membodohi aku."Melanie tiba-tiba tertawa pelan. "Yara sedang mengandung anak Yudha, apa untungnya untukmu? Kak, aku sedang membantumu!"Felix geram dan mencekik leher Melanie. "Kamu mati saja!"Melanie tidak melawan dan berbicara dengan susah payah, "Kak Felix, kamu suka Yara 'kan? Aku ingin seumur hidup melarikan diri?"Kelopak mata Felix berkedut saat mendengar kata melarikan diri. "Ini nggak ada hubungannya denganmu. Kalau kamu berani menyakiti Rara, aku akan menghabisimu!"Dia merendahka
Saat Felix kembali, Yudha masih duduk di kursi.Anggota keluarga Lastana yang biasanya selalu penuh energi itu kini terlihat sedikit acak-acakan.Dia menatap Felix. "Menurutmu, kenapa lama sekali di dalam sana?"Hati Felix terasa berat sejenak dan dia duduk di sebelah Yudha. "Tunggu saja."Keduanya duduk dalam keheningan dan tidak lama kemudian, mereka melihat Melanie berlari sambil menangis."Yudha, cepat, periksa ibuku, dia ... pingsan."Yudha mengerutkan kening. "Sudah panggil dokter?""Sudah." Melanie meraih lengan Yudha. "Tapi aku masih takut, Yudha, tolong temani aku ke sana."Yudha tampak sangat bimbang.Melanie segera menambahkan. "Bukannya sudah ada Kak Felix di sini? Rara juga belum bangun sekarang, kamu nggak bisa bantu banyak walaupun tetap di sini.""Sana pergi dan periksa." Felix berkata perlahan, "Bibi Zaina di sini untuk memberikan transfusi darah pada Rara."Yudha berdiri, kembali menatap lampu di ruang IGD dengan cemas, dan akhirnya berpesan pada Felix, "Segera hubung
"Sudah. Dia masih aman untuk saat ini."Felix menunjuk ke ruangan di belakangnya. "Dokternya ada di sana, kamu bisa tanya apa pun yang kamu mau."Alhasil, Yudha justru berbalik dan berjalan pergi. "Aku mau lihat Yara dulu, di kamar mana dia?"Jantungnya berdebar kencang saat memikirkan Yara yang mengeluarkan begitu banyak darah. Yang ingin dia lakukan sekarang hanyalah memeriksanya dan memastikan Yara baik-baik saja.Felix menariknya. "Dia masih di IGD dan belum bisa dikunjungi. Kalau kamu ingin tahu apa pun, tanyakan pada dokternya."Yudha merasa ada yang tidak beres."Masuk." Felix mengetuk pintu dan mendorong Yudha ke dalam.Yudha tampak curiga, tetapi dia memutuskan untuk bertanya terlebih dahulu, "Halo Dokter, bagaimana keadaan pasien yang tadi? Apakah sudah melewati masa kritis?""Anda suaminya?" Dokter itu bicara tanpa mengangkat pandangannya dan dengan nada yang tidak terlalu ramah. "Oh bukan, mantan suaminya?"Yudha mengerutkan kening tidak senang. "Bagaimana keadaan pasien?"
Yudha tidak berkata apa-apa lagi dan melangkah keluar.Revan menunggu di luar dan segera menyambutnya ketika dia datang."Kamu lihat kakakku tadi?" Yudha bertanya sambil berjalan sangat cepat.Revan ragu-ragu sejenak. Dia merasakan suasana hati Yudha yang sedang kacau dan menjawab dengan suara pelan, "Beberapa jam yang lalu, banyak truk-truk militer berdatangan di sini, tapi saya nggak lihat Tuan Muda Felix."Truk militer?Yudha tersentak berhenti. Mudah saja jika dia ingin mencari seseorang di Selayu. Namun, jika Felix sengaja ingin menghindar darinya ... dia mungkin tidak bisa berbuat apa-apa.Sungguh menyebalkan!Dia memerintahkan Revan dengan suara rendah, "Periksa ke mana semua kendaraan militer itu pergi. Kak Felix membawa pergi Yara.""Baik." Revan mengerutkan kening, tidak mengerti apa yang sedang dilakukan kakak beradik itu.Di tempat lain, setelah membawa Yara keluar dari rumah sakit, Felix tidak pergi ke rumah sakit bersalin. Tempat itu masih wilayah kekuasaan Grup Lastana d
"Anak-anak ... bagaimana keadaan anak-anak?"Ketika Yara melihat Felix masuk, dia berusaha untuk duduk, meraih lengan pria itu dengan tatapan cemas."Berbaringlah dulu." Felix menenangkannya dengan suara pelan. "Kamu nggak penasaran kamu sedang di mana?"Di telinga Yara, jawaban ini terdengar seperti menghindari pertanyaan. Dia jadi semakin takut. "Jawab pertanyaanku dulu. Anak-anakku ... masih ada?"Dia bahkan tidak berani memikirkannya sama sekali. Dia hanya ingin mendengar jawaban yang pasti."Mereka baik-baik saja." Felix menyadari bahwa Yara akhirnya terlihat lega setelah mendengarnya dan dia menambahkan, "Tapi hanya untuk saat ini."Yara berbaring kembali di tempat tidur, matanya menatap lurus ke atas, seolah kegembiraan atas apa yang baru saja dia dengar telah menghabiskan seluruh sisa energinya.Felix dapat melihat bahwa Yara benar-benar menganggap kedua anak itu lebih penting dari nyawanya sendiri.Dia mendesah pelan. Hatinya terasa agak sesak. Sambil membantu menyelimuti Yara