Tidak ada yang dilakukan Ellena selain diam, ia seperti layaknya seorang pelayan yang menyaksikan keromantisan sepasang kekasih yang sedang makan siang, meski tidak ada adegan yang berlebihan. Namun, ini sudah lebih dari cukup untuk membuat Ellena menyerah dengan perasaannya kepada Erwin.
Setelah mengemasi kotak bekal makan siang, ia langsung pamit. Ellena tidak peduli lagi jika mereka berdua tidak menanggapi kepergiannya, Erwin dan Rose kembali asyik mengobrol yang membuat telinga Ellena panas, dan ia sudah tidak tahan lagi untuk mendengarkan yang lebih jauh lagi.
Tepat setelah keluar dari ruangan Erwin, Ellena melihat Lucas sudah berdiri di depan pintu lift, ia terlihat sedang menunggu kedatangannya.
Tidak ada pembicaraan di antara mereka hingga mereka masuk ke dalam mobil."Lucas, apakah kamu sudah makan siang?" tanya Ellena setelah mobil berjalan meninggalkan kantor Erwin.
"Sudah, Nona."
"Emm ... Bolehkah aku meminta bantuanmu?" tanya Elle
Melihat kemarahan Ellena, Nico sama sekali tidak panik, ia justru mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kepalanya, lalu bibirnya mengulas senyum khas miliknya."Maaf, aku terlalu tidak sabar untuk mendekatimu, duduklah! Kali ini aku janji tidak akan menyentuhmu," ujar Nico sungguh-sungguh."Tidak! Katakan saja apa yang ingin kamu sampaikan, aku tidak punya banyak waktu untuk berbicara denganmu!" sahut Ellena ketus.Nico mendengus. "Apakah kamu begitu mencintainya? Padahal dia bukan suami yang baik untukmu." Nico memandang burung-burung yang beterbangan meninggalkan area taman. Seolah-olah, burung-burung itu sedang mewakili kisah cintanya yang tidak akan pernah singgah untuknya."Apa maksudmu?""Aku tahu kamu hanya dianggap pelayan oleh Erwin, dari dulu dia hanya mencintai istri Tuan Deffin. Erwin juga tidak pernah bersikap baik denganmu, dia seorang psikopat, dan kabar terakh
Suasana di depan kantor Erwin mendadak ramai, orang-orang yang melewati jalan itu menyempatkan diri untuk berhenti guna melihat apa yang sedang terjadi, tidak sedikit juga para karyawan yang berhamburan keluar karena mendengar istri bosnya terkena tembakan. Tepat setelah Ellena tidak sadarkan diri, sebuah mobil datang mendekat ke arah mereka."Silahkan, Bos," ujar James seraya membukakan pintu mobil. James mendengar kabar dari anak buahnya, jika ada yang tidak beres di kantor Erwin. Setelah terus mengawasinya, siapa yang menduga hal buruk ini sungguh terjadi."Cepat jalan, James." Ini pertama kalinya suara Erwin terdengar parau. Rose yang duduk di kursi penumpang di samping James, sepertinya mulai menyadari sesuatu.Mobil melaju dengan kencang menuju rumah sakit milik Deffin.Sedangkan di sisi lain, Nico masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi, ia melihat pistol di tangannya yang bergetar, ia tidak menyangka telah membunuh orang yang d
Semua orang mendadak lemas mendengar berita buruk ini, para wanita sontak menangis karena tidak dapat menahan perasaan sedih mereka. Erwin yang tidak terima mendengar kenyataan ini, ia langsung masuk ke ruang operasi. Para perawat baru saja melepas semua alat bantu medis dari tubuh Ellena, dengan tidak sabaran Erwin menghampiri Ellena, dan meraih tangganya. "Tidak ... kamu tidak boleh mati ... Ellena." Erwin sudah tidak mempedulikan pandangan orang di sekelilingnya, semua orang nampak prihatin dengan sosok suami yang baru saja ditinggal mati oleh istrinya. "Bangunlah ... kamu memintaku untuk mencintaimu, aku sudah mencintaimu. Bahkan dari dulu aku sudah mencintaimu, tapi aku sendiri yang terlalu bodoh untuk mengerti perasaan itu. Kumohon bangunlah ...." "Aku sangat mencintaimu ...." Berulang kali Erwin membisikkan kata-kata ini di dekat telinga Ellena, berharap Ellena bisa mendengarnya dan bangun dari kematiannya. Semua orang merasa terenyuh melihat b
Ruangan yang tadinya ramai, kini mendadak hening. Dinginnya udara yang keluar dari AC, kalah jauh dari aura dingin yang dipancarkan oleh Erwin, bahkan rasa dinginnya lebih menusuk hingga sampai ke tulang Lucas."Kamu bisa melihat sendiri, apa akibatnya jika melanggar perintahku?" sembur Erwin.Suara Erwin tidak terlalu keras. Namun, sangat mampu membuat perasaan Lucas sakit karena rasa bersalah."Maafkan saya, Tuan. Saya siap menerima hukuman dari Anda," sahut Lucas pasrah seraya berlutut. Melihat keadaan Ellena seperti ini, Lucas sedari tadi tidak berhenti menyalahkan dirinya sendiri. Dia merasa bodoh dan lemah karena tidak bisa melawan anak buah Nico saat menyerangnya di saat ia membelikan makan siang untuk Ellena.Seharusnya Lucas mampu untuk melawan ke delapan orang suruhan Nico, dengan begitu tidak akan terjadi kejadian seperti ini, Lucas sungguh merasa bersalah."Sudahlah, saat ini aku bisa mengampunimu, karena kamu sudah mendapatkan balasann
Suara berisik dari dalam kamar mandi mengusik tidur nyenyak Ellena, dengan pelan ia mencoba membuka matanya. Saat netranya terbuka sempurna, ia sedikit terkejut ketika melihat Erwin yang bertepatan keluar dari kamar mandi.Erwin tidak kalah kagetnya ketika melihat Ellena sudah sadar, dengan perasaan bahagia, ia langsung bergegas menghampiri Ellena. "Kamu sudah bangun?" tanya Erwin senang.Ellena terlalu gugup untuk menjawab pertanyaan Erwin, tenggorokannya juga terasa kering, hingga membuatnya tidak nyaman untuk berbicara, hingga akhirnya Ellena memilih mengangguk kecil untuk menanggapi pertanyaan Erwin.Senyuman Erwin semakin melebar melihat istrinya mau merespon pertanyaannya. "Mau minum?" tawar Erwin yang langsung diangguki oleh Ellena.Setelah membantu Ellena minum, Erwin segera memencet tombol yang berada di dinding ruang rawat inap untuk memanggil perawat yang berjaga.Senyuman di bibir Erwin belum juga luntur, Ellena yang tidak biasa melihat
Setelah beberapa hari kemudian, akhirnya Ellena bisa kembali pulang ke rumah. Ellena merasa senang karena akhirnya ia tidak perlu lagi berduaan dengan Erwin di dalam satu ruangan yang sama. Ellena merasa sangat canggung ketika Erwin hanya selalu berada di dekatnya, apalagi Erwin malah melarang orang lain masuk ke dalam ruang rawat inapnya untuk menjenguknya, meskipun orang itu adalah Azkia.Sedangkan Erwin masih tampak keberatan dengan keputusan Ellena yang menginginkan dirawat di rumah saja. Meskipun sang dokter juga sudah memperbolehkan Ellena pulang, tapi Erwin tetap merasa khawatir. Namun, karena Erwin sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk menuruti semua keinginan Ellena, maka dengan berat hati Erwin setuju dengan keputusan Ellena untuk dirawat di rumah.Setelah sampai di rumah, Erwin langsung keluar dari mobil dan menggendong Ellena untuk didudukkan di kursi roda. Erwin sama sekali tidak memperbolehkan Ellena berjalan, bahkan Erwin
Harapan Ellena untuk jauh dari Erwin seperti dulu lagi tidaklah terwujud. Awalnya Ellena mengira jika ia meminta dirawat di rumah, Erwin bisa kembali bekerja di kantor lagi. Namun, nyatanya Erwin tetap memilih bekerja sambil merawat Ellena di rumah, dan akhirnya lagi-lagi mereka menghabiskan waktu hanya berdua saja di dalam kamar. "Kenapa wajahmu cemberut seperti itu?" tanya Erwin yang melihat bibir tipis Ellena sedikit manyun. Ellena yang sedang duduk di atas ranjang, buru-buru ia langsung mengubah ekspresinya, ia langsung menoleh dan sebuah se
Dengan sangat terpaksa akhirnya Erwin melepaskan bibir Ellena. "Sial!" gumamnya. Lalu kemudian dengan malas ia berjalan menuju pintu, dalam hati Erwin tidak bisa berhenti mengumpat, sekaligus bertanya-tanya, untuk apa mereka datang ke sini? Sedangkan Ellena dengan pelan mulai membuka kedua matanya, tangannya yang sudah bebas sontak memegang dadanya, jantungnya berdegup kencang, seiring dengan pipinya yang semakin memerah karena teringat lagi dengan ciuman memabukkan itu. "Ini sungguh memalukan," gumam Ellena, lalu kemudian kepalanya menoleh untuk melihat Erwin yang sedang membukakan pintu. Ketika pintu terbuka, tanpa permisi ketiga orang wanita langsung masuk ke dalam kamar tersebut. Sedangkan Erwin berdecak tidak suka, ia melirik tajam pelayan yang sudah membawa mereka ke sini. Tatapan maut dari Erwin sontak membuat pelayan itu menundukkan kepalanya. "Ellena," sapa ketiga wanita itu ramah.