Share

Part 6

Masa lalu pasti akan terulang kembali. Itu yang ada di pikiran Anya setelah sadar dari pingsannya begitu melihat Sean di antara banyak orang yang mengerubunginya.

________________________________________

Pingsannya Anya membuat satu kantor heboh, terlebih lagi setelah melihat atasan baru mereka, Sean dengan cepat menggendong Anya tanpa memperbolehkan orang lain melakukannya. Para karyawan hingga Gifa merasa aneh melihat Sean melarang siapa pun menjenguk Anya di ruangannya selain dokter yang dipanggil. Gifa yang notabene telah mengenal Anya dan keluarganya cukup lama merasa penasaran dengan atasan baru mereka itu, tapi dia tahan untuk sementara sambil menunggu Anya sadar dari pingsannya.

“Kau seharusnya tidak melakukan itu, Son. Mereka bisa curiga denganmu dan Anya,” celetuk Andrew begitu melihat Sean yang masih menggenggam tangan Anya erat, seolah-olah tidak akan melepaskannya sejengkal saja, sementara Anya masih pingsan dan berbaring di sofa ruang kerjanya. Tidak, bekas ruangannya karena sebentar lagi sangat putra yang akan menempati ruangan ini sebagai CEO yang baru, menggantikan dirinya.

“Mana dokternya?” sahut Sean, tidak menghiraukan atau menatap ayahnya di belakang. Netral birunya saat ini hanya terfokus pada wanita yang sedang pingsan di hadapannya.

“Setidaknya kau harus membiarkan teman-teman Anya masuk atau salah satu dari mereka saja untuk menemani Anya di sini,” tutur Andrew. Sayangnya Sean tidak memperdulikan pendapat sangat ayah, terbukti dia hanya diam menatap Anya tanpa berkedip.

“Mana dokternya?!” desis Sean geram. Dia kesal dengan ayahnya yang bersikap sok tau dan pengatur seperti sekarang. Dia melirik ayahnya sekilas, lalu menatap Anya dengan tatapan dalam dan sendu.

Tunggu, tadi ayahnya memanggil nama wanita ini adalah Anya, bukan Vania. Sekarang dia paham, mengapa informasi tentang wanita ini tidak dapat dia ketahui. Ternyata Andrew lah yang ada di balik semuanya. Tapi tidak mengapa, pikirnya, yang terpenting wanita ini berada di sekitarannya sekarang.

Andrew menghela napas lelah. Tidak paham lagi harus menegur putra sulungnya satu ini. Dia tahu betapa dalamnya rasa penyesalan yang ditanggung putranya selama sepuluh tahun belakangan. Bukan tidak memperhatikan, dia tahu perubahan demi perubahan yang terjadi pada putranya setelah kejadian itu. Dia juga tahu betapa bahagianya Sean begitu berjumpa lagi setelah sekian lama mencari informasi mengenai wanita ini. Di lihatnya Sean menggenggam tangan Anya dengan erat, lalu mengecup pelan.

“Dokter sudah tiba, Son,” ucap Andrew membuyarkan lamunan Sean. Dengan segera Sean membalikkan badan, mempersilahkan dokter wanita itu memeriksa kondisi Anya. Tapi yang dia temukan bukan hanya seorang dokter, tapi juga seorang wanita yang tadi dilihatnya di lobi bersama Anya.

“Aku pikir gaji di perusahaan Daddy tidak cukup hingga membuat karyawanmu menjadi asisten dokter juga,” sindir Sean pada wanita itu yang tidak lain dan tidak bukan adalah Gifa.

“Daddy hanya tidak ingin adanya gosip di dalam dan di luar perusahaan hingga membuat bisnis ini gulung tikar.” Alis kanan Sean terangkat. Apa maksud Andrew sebenarnya.

“Dia adalah Gifa, dari Departemen Keuangan di kantor ini—“

“Sekaligus teman Anya,” cetus Gifa memotong perkataan Andrew. Sean mengkerutkan keningnya.

“Teman? Aku pikir teman Anya hanyalah trio kwek-kwek itu, ternyata kamu juga temannya. Anya sudah banyak berubah ternyata,” ungkap Sean, hingga membuat Gifa bingung dengan teman yang di ungkap oleh pria itu.

“Yah ... tidak masalah, yang terpenting dia bisa menjaga mulutnya saja. Silahkan, dokter,” ujar Sean mempersilahkan.

Dokter pun memeriksa keadaan Anya yang masih pingsan, sementara Sean menatap mereka dari jarak cukup dekat dari mereka dengan tatapan yang tajam. Hal itu tidak luput dari pandangan Gifa, hingga semakin banyak prasangka-prasangka yang berkelana di pikirannya. Sedangkan dokter yang memeriksa Anya mengerjakan tugasnya dengan gugup karena ditatap sebegitu tajamnya oleh Sean, seolah-olah dia adalah tikus di kandang singa.

“Kondisi Nona Anya baik-baik saja, hanya saja tekanan darahnya turun dan mungkin terlalu capai hingga membuat kondisi tubuhnya drop. Saya akan meresepkan vitamin dan obat untuk beliau,” papar dokter wanita itu. Dalam diam Sean menahan emosi. Sebenarnya pekerjaan apa hingga membuat Anya drop seperti ini. Dokter itu mengumurkan secarik kertas pada Sean. Sean menerima kertas berisi resep untuk Anya dari dokter tersebut.

Tidak lama kemudian, Gifa berjalan menghampiri Anya yang terbaring begitu melihat jari Anya bergerak pelan. Dengan nada panik, Gifa memanggil nama Anya berulang kali. Lenguhan dan terbukanya mata Anya menandakan bahwa wanita itu telah sadar.

“Anya, syukurlah kamu sudah sadar. Mbak khawatir begitu melihat kamu pingsan tadi,” tutur Gifa begitu melihat Anya membuka mata.

“Mbak Gifa,” panggil Anya pelan.

“Iya, An,” sahut Gifa lega.

“Aku di mana?” tanya Anya.

“Kamu masih di kantor, An, belum di dunia alam kubur apalagi Surga. Jangan bangun dulu, kamu masih lemas,” tegur Gifa begitu melihat Anya akan duduk dari pembaringannya.

“Aku tau masih di kantor, Mbak, tapi tepatnya di mana? Mbak selama hamil makin rese', ya,” dengus Anya sambil memijit kepalanya pelan. Semuanya terasa berputar, terlebih lagi telinganya terasa berdengung ditambah lagi ocehan Gifa yang tidak ada henti-hentinya.

“Kamu di ruangan saya, Anya.” Perlahan kepala Anya mendongak, menatap sumber suara.

Deg

Lagi-lagi tatapannya bertemu dengan netra biru itu lagi. Seketika ketakutannya kembali menghantui. Memori masa lalu timbul kembali seperti potongan film usang. Setengah mati Anya menutupi tangannya yang bergetar dengan meremas sofa yang dia duduki. Tidak. Anya tidak ingin menunjukkan kelemahannya pada pria itu. Tidak sampai kapan pun! Itu sumpahnya.

“Anya ... kamu baik-baik saja?” tanya Andrew memastikan kondisi Anya. Sedangkan Anya tidak bergeming begitu tatapannya bertemu dengan pria itu. Sentuhan Gifa pada tangannya, menyadarkan Anya dari lamunan.

“Saya tidak apa-apa, Pak. Terima kasih telah menanyakan keadaan saya,” tutur Anya pelan sambil menundukkan kepalanya, menghindari tatapan tajam yang terlempar dari sosok pria yang berdiri di belakang Andrew yang namanya enggan Anya sebut.

Sementara Sean hanya terdiam, mulutnya seperti terkunci dan pita suaranya seolah-olah telah putus. Padahal banyak pertanyaan yang ada di kepalanya saat ini. Dia ingin memastikan keadaan Anya, tapi tidak mampu berkata. Dalam diam, dia berjalan meninggalkan mereka semua. Dia harus menebus obat untuk Anya.

_________________________________________

“Kenapa aku bisa di sana, Mbak?” tanya Anya penasaran dengan dirinya yang berada di ruangan atasannya itu.

“Seharusnya aku tanya sama kamu, ada hubungan apa kamu sama CEO baru kita?! Sampai-sampai pas kamu pingsan orang-orang dilarang gendong kamu selain Pak CEO?! Ada yang kamu sembunyikan dari aku, ya?! Jujur!” pekik Gifa pada Anya. Dia sangat shock dan tidak percaya dengan apa yang terjadi di depan matanya tadi saat Anya pingsan. Atasan baru mereka menggendong Anya, bahkan beliau marah dengan pria yang menawarkan akan menggendong Anya. Selain itu, atasannya itu juga tahu siapa teman-teman Anya.

“An, kamu jujur sama aku, sebenarnya ada hubungan apa kamu dengan Pak CEO baru? Kenapa dia—“

“Mbak, kalau ngomong jangan pakai gas, nanti meledak,”celetuk Anya memotong perkataan Gifa.

“Aku serius Anya,” desis Gifa geram.

“Nanti Mbak juga akan tau, tapi nggak sekarang. Sekarang aku ngantuk, mau tidur,” sahut Anya. Dia pun berbaring di sofa ruangannya setelah tadi dipersilahkan Andrew untuk beristirahat terlebih dahulu dan tidak di sarankan untuk bekerja.

Gifa hanya mendengkus menahan emosi. Beruntung Anya bisa lolos kali ini, tapi nanti... jangan harap! Ujar Gifa dalam hati.

TBC

Kalbar, 25 September 2021

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status