Share

Part 7

Setiap wanita pasti akan merasa iri hanya dengan melihat Anya. Memiliki wajah yang cantik, mata bulat dan hitam, hidung bangir, bibir tipis dan merona, alis yang tegas, pipi tirus, kulit putih pucat, bulu mata lentik, rambut panjang terurai, tinggi dan berat badan ideal. Tidak hanya itu saja, karir Anya juga cemerlang. Baru bergabung di D'Star Corporation, posisi manager pemasaran telah dia duduki tanpa adanya campur tangan orang lain. Hal itu semakin membuat Anya terkenal di antara para karyawan, terlebih lagi kejadian ketika penyambutan CEO baru kemarin.

Bagaimana tidak heboh jika CEO baru mereka sendirilah yang langsung menggendong Anya, tidak memperbolehkan seorang pun untuk menyentuh wanita itu selain dirinya. Bahkan beliau mengancam mereka yang akan menyentuh Anya meski hanya seujung kuku. Siapa yang tidak akan iri di perlakukan istimewa seperti itu.

“An, mereka ngomongin kamu lagi,” bisik Gifa pada Anya yang asyik menyantap semangkuk bakso yang baru saja dipesannya. Sudah dua hari semenjak kejadian itu, tapi tidak ada dari mereka yang mencoba untuk berhenti membicarakannya. Sementara yang menjadi topik pembicaraan bersikap tidak peduli sama sekali.

“Biarkanlah, Mbak. Mungkin mereka sedang gabut, makanya gosipin aku,”sahut Anya sambil mengangkat bahunya tanda tidak peduli. Dia memang tidak mau tahu dan tidak peduli dengan yang dibicarakan oleh orang lain tentang dirinya. Dia sudah terbiasa, bahkan sedari awal mengenal atasan mereka ini.

“Masa gabut setiap hari dan setiap saat, emangnya kurang kerjaan yang di kasih ama perusahaan sampai-sampai ikut ngurusin urusan orang?” cibir Gifa kesal.

“Biarlah, Mbak. Mulut-mulut mereka, itu hak mereka,” ujar Anya tidak mau ambil pusing dengan mereka yang membicarakan dirinya di belakang. Anya enggan memikirkan asumsi-asumsi mereka yang telah menuduhnya sebagai wanita simpanan atasan baru mereka. Sebenarnya dalam hati Anya juga lelah dan ingin berhenti dari pekerjaannya, terlebih lagi penyebab phobianya muncul kembali setelah sekian lama hilang tanpa kabar. Tapi begitu mengingat janji yang dia ucapkan di depan kedua orang tua dan sahabatnya, bahwa dia tidak akan menyerah melawan phobianya dan tidak akan berhenti dari pekerjaan yang telah membuat namanya di posisi sekarang, membuat Anya tetap bertahan. Setidaknya jika dia menghindari Sean, maka semuanya akan baik-baik saja. Kejadian yang kemarin terjadi, biarlah cuma menjadi gosip belaka. Anggap saja sebagai pengalihan rasa jenuh para karyawan dengan pekerjaan yang seperti tidak ada hentinya.

Anya menghela napas lelah, tiba-tiba saja dia tidak berselera dengan bakso yang baru saja dia makan setengah. Dengan cepat dia meneguk es jeruk di depannya, lalu mendorong mangkuk tersebut menjauh.

“Kok udahan?”

“Kenyang, Mbak,” jawab Anya. Sebenarnya dia masih merasa lapar, tapi begitu mengingat masa lalu membuatnya tidak berselera. Mungkin nanti saat pulang, dia akan membeli pizza untuk mengisi perutnya saat sore hari.

“Kamu makan baru sedikit, loh, An. Atau kenyang yang kamu maksud itu ... kenyang dengar omongan mereka, ya?” bisik Gifa. Anya hanya tersenyum tipis.

“Emang itu mulut tukang gosip, belum aja nanti aku cabein pake cabe sekilo. Dia kira cabe mahal apa?!” gerutu Gifa yang membuat Anya ingin tertawa. Terkadang seniornya ini bisa saja membuat suasana hatinya membaik dengan cara bicaranya yang ceplas-ceplos.

“Apa hubungan antara harga cabe dengan omongan mereka, Mbak?Atau Mbak lagi curhat, ya?” ledek Anya. Gifa mendengkus mendengar ledekan dari Anya. Sebenarnya niat hati ingin membuat Anya tidak sedih, malah dia yang diledek.

“Ledek terus, sampai kamu puas,” cibir Gifa, lalu menyendokkan bakso milik Anya yang tidak habis. Sayang makanan dibuang-buang, banyak orang yang belum tentu bisa makan hari ini, ujar Gifa dalam hati. Padahal dia kelaparan sekali tapi malas untuk memesan lagi.

“Permisi, Bu Anya. Ibu dipanggil Pak Sean di ruangannya,” panggil seorang pria di hadapan mereka berdua. Pria itu tidak lain dan tidak bukan adalah asisten Sean. Suapan Gifa terhenti sejenak, lalu dia melirik Anya yang kelihatan tegang.

“Nanti kami akan ke sana,” jawab Gifa.

“Tapi Pak Sean ingin Bu Anya pergi sekarang,” tutur pria itu kekeh hingga mengundang decakan kesal dari Gifa. Apakah pria itu tidak tahu bahwa saat ini adalah jam istirahat, hingga dengan tega mengganggu makan siang mereka. Seketika dia merasa tidak suka dengan atasan baru mereka sekarang. Ya, Anya telah menceritakan semuanya tentang siapa Sean dan apa hubungannya dengan Anya.

“Apa kau tidak lihat kami sedang makan, ha?! Nanti kami akan pergi ke sana,” hardik Gifa geram. Oohh, emosi ibu hamil memang buruk. Anya bergidik ngeri begitu melihat Gifa yang emosi sekaligus merasa kasihan dengan pria yang dibentak oleh bumil satu itu.

“Sudahlah, Mbak, kasihan dia. Biar Anya temui atasan kita, mungkin ada yang salah dengan laporan yang baru saja Anya hantarkan. Mbak jangan marah gitu, kasihan debaynya,” bujuk Anya menenangkan sambil mengelus pelan bahu Gifa. Merasakan Gifa mulai tenang, Anya pergi meninggalkan ibu hamil itu.

Anya sebenarnya ragu untuk pergi menemui Sean, terlebih lagi di ruangannya. Selain rasa takut yang menjalar di hatinya hingga membuat dia mengeluarkan keringat dingin, Anya sebenarnya juga penasaran hal macam apa hingga membuat dia di panggil. Selama perjalan menuju ruangan sangat atasan, dia berulang kali menepis prasangka-prasangka buruk yang berlabuh di kepalanya. Sekaligus mencoba menghilangkan rasa takut yang ada di dalam dirinya. Mungkin masalah pekerjaan, pikirnya.

Dengan tangan bergetar, Anya mengetuk pintu besar itu. Suara berat dari dalam ruangan mempersilahkan Anya untuk masuk.

“Tarik nafas, hembuskan ... tarik nafas, hembuskan. Semua akan baik-baik saja, Anya kuat. Aku pasti bisa melawan dia,” sugesti Anya pada dirinya sendiri sebelum masuk ke dalam ruangan itu.

“Bapak memanggil saya?” tanya Anya menahan suaranya yang bergetar takut begitu melihat pria yang sedang duduk di kursi kebesaran sambil memeriksa banyak laporan di atas meja.

Pria itu masihlah Sean yang sama bagi Anya. Hanya saja bentuk tubuhnya dan rambut halus di sekitaran wajah menampakkan kesan dewasa. Selainnya, masih tetap sama.

Sean mengalihkan tatapannya sejenak dari berkas yang dia periksa, menatap wanita yang berdiri di dekat pintu tanpa ada niatan mendekat. Di letakkan berkas miliknya, lalu menatap Anya dengan tatapan yang tidak dapat dijelaskan.

“Apakah kau tidak ingin duduk?” tanya Sean dengan suara berat, yang secara tidak sadar membuat Anya tersentak kaget sekaligus takut tapi dapat di tutupi.

“Ada perlu apa Bapak memanggil saya?” tanya Anya tidak menghiraukan pertanyaan Sean.

Sean hanya berdecak lalu berdiri dari kursi kebesarannya dan berjalan menuju Anya yang masih betah di dekat pintu. Gema langkah kaki Sean seketika membuat diri Anya gentar, tapi dia coba untuk menutupinya. Rasa pusing dan mual, coba dia tahan di depan pria ini.

“Kupikir semakin dewasa, maka cara berpikirmu akan berubah. Nyatanya tidak sama sekali, kau masih keras kepala seperti dulu,” ungkap Sean begitu berdiri di depan wanita ini.

Wangi harus tubuh Anya masih bisa tercium oleh Sean, padahal mereka di pisahkan oleh jarak. Aroma yang selalu membuat Sean rindu dan susah tidur. Dia berjalan semakin dekat hingga Anya hingga hanya tersisa jarak sejengkal saja.

“Dan juga kau tidak pernah berubah, kau malah bertambah ... seksi,” bisik Sean diakhir kalimatnya di telinga Anya. Sesekali mengucup cuping Anya dengan sensual sekaligus menghirup aroma Anya dengan rakus. Anya mematung, tidak tau harus berbuat apa-apa.

Sadar apa yang dilakukan Sean adalah pelecehan, dengan sekuat tenaga Anya mendorong Sean lalu menamparnya. Sementara Sean hanya terpaku begitu mendapat tamparan dari wanita di hadapannya itu. Seringai terlukis di bibir Sean hingga membuat Anya merasa takut. Lalu dengan cepat Anya keluar dari ruangan itu tanpa mempedulikan Sean yang menatap punggung Anya dengan tatapan sendu.

TBC

Kalbar, 27 September 2021

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status