Satu minggu kemudian, Sean merasa semesta seperti berpihak padanya. Udara hari itu terasa sangat sejuk, matahari bersinar tapi tidak terlalu panas. Benar-benar hari yang cocok untuk pergi piknik.Sean melajukan mobil sambil bersenandung mendengarkan lagu dari audio kendaraan. Hatinya terasa riang, tak pernah dia bersemangat pergi liburan padahal hanya piknik ke kebun binatang. Hingga sesuatu yang janggal dia rasakan, sesampainya di rumah Zie dia dikejutkan dengan keberadaan satu unit mobil van besar di halaman.Sean turun dan mencoba melihat milik siapa kendaraan berwarna putih itu, sampai dia mendengar suara mirip dengan petasan banting memanggil namanya. Sean memejamkan mata, ingin rasanya dia putar balik dan pergi dari sana.“Zie, kenapa dia mengajak Marsha,”gerutu Sean di dalam hati. Ternyata tak hanya Marsha dan Kenzio, Sera juga Jeremy ada di sana. Sean tak percaya Zie akan mengajak pasukan untuk pergi piknik bersama.“Aku sewakan van ala-ala agar kita bisa merasakan sensasi pi
“Jangan-jangan itu kamu!”Tuduhan Marsha tepat mengenai sasaran, Sean gelagapan karena tidak bisa langsung menjawab ucapannya barusan. Ingin menggeleng berarti berbohong, tapi mengangguk tanpa membela diri sama saja bunuh diri.“Kamu ingin mengajak Zie dan Ken piknik ke kebun binatang, apa tebakanku salah?” cecar Marsha.Sean semakin tersudut, hingga mau tak mau dia menjawab 'iya'. "Apa? Kamu membeli semua tiket kebun binatang, Sean? Zie melongo, rahangnya bahkan bisa terlepas jika dia terus menganga. Zie tidak percaya Sean akan melakukan itu tanpa bicara kepadanya lebih dulu. "Sean, kenapa tidak bilang?" Perasaan Zie campur aduk tak karuan, bukan hanya menyesalkan uang yang sudah dikeluarkan, tapi juga menyayangkan sikap Sean yang belum berubah sama sekali, tak pernah berterus terang atau mengatakan apa yang dipikirkan. "Minta kembali uangmu ppkn, batalkan reservasinya!" titah Zie. "Tidak, biarkan saja."Sean tak acuh, dia letakkan alat pemanggang kemudian pergi begitu saja. "
"Sean, ayo duduk di sana! Kamu sepertinya sakit," ujar Zie. Dia akhirnya dibantu pemilik warung untuk memapah Sean ke tempat yang lebih teduh. "Maaf ya Mba, anak sini memang suka ugal-ugalan naik motor, sudah nggak pakai helm, haduh!" Pemilik warung mencoba menjelaskan kebiasaan anak muda di sana. Ia menyodorkan segelas air ke Sean dengan mimik heran, karena Zie yang nyaris tertabrak, tapi muka Sean yang pucat pasi. "Aku tidak apa-apa, ayo kita kembali, Ken mungkin saja sudah bangun," kata Sean. ☘️☘️☘️Seperti apa yang dikatakannya pada Daniel kemarin, Ghea tak ingin berhenti sebelum berusaha. Awalnya dia memang merasa tak ada harapan saat mendengar cerita Daniel dan melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana sikap Zie. Namun, mendapati hari ini anak dan mantan menantunya pergi piknik bersama, Ghea pun yakin masih ada kesempatan baginya menyatukan orangtua cucu pertamanya itu. Ghea tahu, dia tidak mungkin langsung mendekati ibunda Surya di klub memasak yang sudah lama diiku
Sean tak banyak bicara lagi seperti semula, bahkan Zie yang ingin mengucapkan selamat ulang tahun padanya pun lagi-lagi dibuat sungkan. Mereka kembali ke rumah setelah acara piknik itu selesai sore harinya. Sepanjang perjalanan kembali Sean meminta Zie memberikan Ken padanya. Dia tidak ingin lagi disebut pria tak pengertian oleh mantan istrinya itu. Selama perjalanan, Zie yang nampaknya lelah pun tertidur. Diam-diam Sean memandangi wanita itu dan tak peduli Marsha sejak tadi menatap heran. "Sean, selamat ulang tahun." Jeremy menoleh, begitu juga Sean yang tak menyangka akan mendapat ucapan selamat ulang tahun dengan nada seperti orang yang ingin mengajak tawuran, tak ada manis-manisnya sama sekali. Sean tentu heran, mustahil Marsha mengingat tanggal ulang tahunnya. Maka dari itu, bukannya berterima kasih, Sean malah bertanya-“Bagaimana kamu bisa ingat ini hari ulang tahunku?”Dengan dagunya Marsha menunjuk Zie yang tertidur. Ia berdecak sebelum membalas ucapan sang sepupu, “Dari
“Kenapa ke rumah? Mobilku masih di rumah Zie.”Sean kaget saat van yang disewa sepupunya masuk ke halaman rumah sang papa. Meski sudah membeli rumah sendiri, tapi Sean terkadang masih tinggal di sana, karena kesepian adalah hal yang paling Sean benci. Ia pun turun disusul oleh Zie, penuh perhatian Sean memegang lengan wanita itu, memastikan Ken yang ada di gendongan aman.“Terima kasih,”ucap Zie sungkan. Ia juga heran kenapa Marsha dan Jeremy malah membawa mereka ke sana. Belum juga hilang rasa penasaran di hati, Zie terpaksa tersenyum karena Ghea mendekat dengan raut semringah. Wanita itu langsung mengambil alih Ken, menciumi cucunya itu sambil mengajak bercanda.“Em … Ken … Ken, belum mandi, bau acem. Tapi Oma suka.”Zie dan Sean tertawa, bukankah di dunia ini tidak ada yang lebih indah dari pada senyuman orangtua kita?“Ayo masuk!” titah Ghea. Ia berjalan cepat menghampiri Daniel yang senang melihat cucunya datang.“Keenan, kamu habis jalan-jalan ke mana?”Zie tertawa, sepertinya
“Tidak sia-sia kamu bekerja selama tiga tahun di keluarga Tyaga, akhirnya aku bisa membuat pria itu ketakutan karena putra kesayangannya menghilang.”Sean yang masih berumur delapan tahun bingung karena sang pembantu tiba-tiba membawanya masuk ke mobil orang tak dikenal. Sepulang sekolah dia diajak ke sebuah apartemen yang terbilang kumuh. Sean yang masih duduk di kelas dua sekolah dasar itu pun bingung, dia berniat meraih tangan Asri pembantunya tapi ditepis dengan sangat kasar.“Bibi!” rengek Sean dengan mata yang sudah merambang.Asri melempar tas sekolah Sean begitu saja. Tatapan wanita itu terlihat sinis dan sadis, membuatnya ketakutan. “Bibi, aku mau pulang!”Sean gemetaran, tapi Asri tak peduli. Ia malah menarik sudut bibir hingga wajahnya nampak seram. Sean jatuh terduduk, apa lagi dua pria tinggi besar yang membawanya menatap tajam dengan seringai jahat.“Apa anak ini putra Daniel Tyaga? Kita apakan dia? Melemparnya dari rooftop? Atau membuangnya ke tengah hutan belantara?”
Sementara itu, Daniel dan Ghea yang baru saja kembali dari ruang dokter nampak bingung karena kamar perawatan putranya kosong. Apa lagi ada noda darah di dekat ranjang dan depan pintu kamar.Ghea sudah hampir menangis, tapi seketika lega melihat Zie dan Sean berjalan mendekat. Ia yang sudah setengah berlari tiba-tiba berhenti. Ghea bingung karena Sean terlihat pucat sedangkan mata Zie sembab.“Apa yang terjadi?” Zie diam, dia hanya memberikan kode lewat tatapan mata semoga Ghea paham. Mantan mertuanya itu memilih untuk tak bertanya lagi dan bergegas membantu sang anak kembali ke ranjang.Sean langsung mendapat penanganan dari perawat, dia diminta untuk tidak sembarangan mencabut jarum infus lagi.Setelah terlihat tenang, Zie pun duduk di samping pria itu. Tatapan matanya yang penuh kekhawatiran membuat Ghea dan Daniel menduga ada hal yang terjadi di antara keduanya, apalagi Zie perlahan meraih tangan Sean yang duduk diam di atas ranjang.“Sean, apa kamu butuh sesuatu? Katakan!” Zie b
“Tapi ada yang harus Mama lakukan dulu untukku, aku ingin Zie ke sini. Aku mau pura-pura sangat sakit, jadi bantu aku!”Ghea mengerjapkan mata, dia tak percaya Sean memintanya melakukan kebohongan seperti itu. Mungkinkah sang putra sulung ingin membuat hati Zie luluh dengan berpura-pura lemah?“Sean, apa kamu yakin?”“Hem … aku yakin, Ma.”Sean memandang dengan tatapan penuh keyakinan, dia bahkan menaikturunkan alis mata dengan genit, sampai Ghea mengulurkan tangan untuk meraba kening. “Sean, kamu tidak demam ‘kan?” “Tidak Ma, hanya jatuh cinta lagi,”jawab Sean.Ghea pun keluar dari kamar sambil memegang dada, dia tertegun di depan pintu dan sedikit melirik ke dalam. Wanita itu bingung kenapa putranya berubah seratus delapan puluh derajat. Apa mungkin ingatan yang sudah kembali mempengaruhi psikologis Sean?Tidak-tidak. Ghea menggeleng menepis pikiran negatif yang mulai muncul, seharusnya dia merasa senang karena Sean malah jauh lebih manusiawi dibanding kemarin. Namun, bukannya me