"Jadi, apa yang sudah kalian dapatkan dari dukun pertama yang kalian datangi?" Nala bertanya.Angin bergerak sepoi dari arah persahan, membawa aroma padi dan lumpur hitam, serta suara gesekan dua permukaan daun. Nala yang sedari bergabungnya Dayu dan Anto nyaris tak bersuara kecuali jika ditanyai akhirnya mulai menunjukkan taringnya lagi.Dayu pikir, sebenarnya Nala memang tak ingin melibatkan adik-adiknya. Seperti yang sudah cowok itu ungkapkan pada Dayu sebelumnya, mengenai alasannya batal pulang ke rumah. Cowok itu mungkin mengambil langkah preventif untuk menghindari hal-hal yang tidak diingibkan. Jadi, dengan kata lain Naya memang mengetahui bahwa Dayu adalah seorang tumbal untuk Danyang tanpa campur tangan dari kakaknya."Dukun itu mengatakan bahwa sangat sulit untuk melepaskan diri dari penumbalan itu, dan dia juga mengungkapkan soal tujuh tumbal nyawa manusia. Tapi, hal yang seru adalah bagaimana aksi Dayu setelah mendengar tawaran dari dukun itu untuk membuat perjanjian denga
"Hwaaaaaa!!!"Dayu berteriak sangat keras sampai gelombang suaranya menggetarkan rumah milik Mak Nik. Tapi tenang saja, dia hanya berteriak di dalam angan-angannya saja, sebenarnya dia bahkan tak bisa menggerakkan bibirnya.Pemandangan di hadapannya, begitu pintu ruangan itu terbuka lebih lebar, tak seperti yang diharapkan oleh siapapun. Ruangan itu tak lebih besar dari ruang tamu, tanpa penerangan yang cukup, tanpa jendela. Sirkulasi udara yang tak begitu baik membuat aroma yang berasal dari apapun di dalamnya berputar terus dalam ruangan itu dan menciptakan kombinasi amis, bau busuk sesajen yang belun diganti, aroma dupa, aroma kayu tua lapuk dan asap, semua beecampur menjadi satu.Tapi, apa yang paling membuat Dayu ingin berteriak adalah asap hitam yang sepintas dia lihat berkumpul di sebuah altar dengan sesajen lengkap. Ayam yang sepertinya baru saja disembelih diletakkan berjejer dengan rapi, ditaburu bunga warna-warni. Di ujungnya ada sebuah bejana kuningan yang berisi cairan me
Mak Nik terlihat risau melihat Dayu berdiri dengan tatapan menguji kesabaran di ruang tamu kediamannya. Gadis bertubuh semampai itu bersikap sebaliknya. Dayu memberi tatapan menyelidik sekaligus sorot mata tajam menghakimi lawan bicaranya.Dayu tak merasa punya alasan untuk takut apda Mak Nik, toh dukun itu pantas menerima tatapan penuh kemarahan darinya.Aroma busuk dari kontrak yang dukun itu ikat dengan Danyang, tak lebih baik dari kejahatan apapun yang bisa dihukum. Dia lebih buruk, karena membantu seseorang menumbalkan tujuh nyawa hanya untuk mendapat imbalan tak seberapa. Dayu tak segan dan terus memberikan tatapan penuh intimidasinya.Dia adalah Dayu, bungsu yang dibesarkan dengan segala kemewahan dan juga dipuja sebagai anak kesayangan. Kehadiran Dimas saja tak meluluhkannya apa lagi hanya seorang dukun perempuan yang sudah mendorongnya masuk ke lembah penumbalan."Dayu ... apakah ada sesuatu?" Anto bertanya dengan was-was. Cowok satu ini sangat mempercayai kekuatan ghaib kare
Dayu mencoba untuk menggerakkan tubuhnya. Dia yakin bahwa ada sesuatu yang terjadi sehingga dia tiba-tiba berada di dalam sebuah lorong yang asing, tanpa Nala dan mata teduh cowok itu di sampingnya. Dalam detik yang sama, sangat tak masuk akan rasanya jika dia bisa berpindah tempat bahkan tanpa mengedipkan mata.Sosok dirinya sendiri yang terlihat tergantung di ujung lorong itu sedang memejamkan mata, tak terlihat seperti mayat sama sekali. Dayu benar-benar mengenali sosok itu sebawai wujudnya sendiri. Sama seperti saat dia bercermin.Lorong itu menjadi pengap dengan cara yang aneh. Lantai putih lorong rumah sakit berubah menjadi gelap, sampai saat menunduk Dayu tak bisa melihat kakinya sendiri."Nala!" Dayu yang hanya bisa bersuara akhirnya memanggil nama dokter koas yang seharusnya sedang bersama dengannya itu.Tak ada jawaban. Dayu hanya mendengar suaranya sendiri sebagai jawaban, mengulang apa yang dia katakan."Nala!!" Dayu kembali memanggil nama Nala, kali ini dia berteriak.Kak
"Danyang?!" Dayu bereaksi sedikit berlebihan, tapi sangat wajar mengingat nama dari raja makhluk ghaib yang nenguasai wilayah keramat tempat kecelakaannya disebut."Ya, ayo cepatlah pergi. Hati-hati dengan tapal batas, jangan sembarang memasuki gerbang antara!" Sosok itu nenjawab, lalu menarik tangan Dayu dan membawa Dayu berjari.Sosok yang terlihat buram dalam pandangan Dayu itu, menggenggam tangan Dayu erat-erat. Dayu bisa merasakan permukaan telapak tangannya, jari-jarinya, tapi Dayu tak bisa merasakan adanya kesan hidup pada sosok itu.Setelah berlari beberapa meter ke depan, dia melepaskan tangan Dayu. Kehilangan genggaman tangan membuat Dayu menoleh ke belakang, dan dia melihat bagaimana kegelapan seolah mengejarnya dari sana. Sosok itu menghilang dilindas gelap yang semakin dekat. Sampai pada titik dimana Dayu nyaris ditangkap oleh kegelapan itu, sesuatu seperti menariknya ke depan.Dayu pikir dia akan jatuh tersungkur ke atas aspal, tapi nyatanya dia tak merasakan apa pun. Da
Dayu tersenyum dan melambaikan tangannya saat Nala menyambaikan bahwa dokter koas itu akan pergi untuk menemui ketiga adiknya lagi, tentu saja setelah mengantar Dayu mengunjungi Dimas. Nala mengatakan bahwa Dimas sudah dipindahkan ke ruang rawat karena perkembangan kondisinya yang meroket naik satu jam yang lalu, saat Dayu masih berada di tapal batas bersama Nala.Hal yang Dayu belum bisa pahami adalah waktu yang terlewat begitu cepat. Saat dia mengalami kecelakaan bersama Anto dan dibawa ke rumah sakit, hari masih terang. Baru jam tiga sore kalau dia tak salah ingat. Tapi, setelah berada di tapal batas, waktu seperti berlari jauh lebih cepat dari apa yang bisa Dayu sadari. Sekarang, saat dia meneriksa jam tangan di pergelangan kirinya, sudah menunjukkan lewat pukul sepuluh malam. Padahal, Dayu ingat benar dia hanya bercakap sebentar saja dengan Nala di sana.Gadis itu belum mengetuk pintu saat seseorang sudah terlebih dahulu membuka papan sewarna dinding itu dari dalam."Oh, Dayu. Ap
"Dayu!"Panggilan dari Bambang membuat Dayu tersentak. Sulur-sulur hitam yang menjulur dari celah pintu itu akhirnya menghilang, tapi Dayu sudah terlanjur ketakutan dan tak bisa menhembunyikan raut terkejutnya.Dayu tak yakin apakah ketakutannya telah menciptakan ilusi sampai sejauh itu, ataukah efek dari bantuan yang diberikan oleh Naya telah menghilang sehingga dia bisa kembali melihat hal-hal yang tak seharusnya bisa dilihat oleh matanya."Oh, maaf. Saya baru saya terpikirkan kembali mengenai kecelakaan yang saya alami." Dayu beralasan, lantas memperhatikan kembali kertas foto-foto yang disodorkan oleh polisi muda itu."Sapu tangan ini, dan juga ini ... saya mengenali benda ini tapi saya tidak yakin dimana saya pernah melihatnya!" Dayu menunjuk sebuah benda lusuh dan bernoda lumpur.Bambang memperhatikan benda yang Dsyu tunjuk, lantas mengangguk-angguk. Dia lalu menjelaskan bahwa benda yang Dayu tunjuk adalah gantungan kunci. Akan tetapi, gantungan kunci itu dipasang pada semacam k
Dayu mencoba untuk mengatur pernapasannya. Petang akan semakin dekat dan hari ke sebelas akan terlewati begitu hari berganti. Waktunya untuk bisa melepaskan diri dari jerat Danyang akan berkurang sehari lagi, dan Dayu tak bisa memungkiri dia sangat khawatir mengenai hal itu.Oh, siapa yang tak ketakutan saat menghitung hari-hari menuju kematiannya. Dayu seperti dipaksa bersiap untuk menyerah, tapi di saat yang sama, dia tak bisa menenangkan dirinya untuk membayangkan apa yang akan terjadi setelah hari ke seratus. Dayu tak sudi mati dengan cara seburuk itu, menjadi tumbal untuk kontrak antara Danyang dengan manusia laknat yang bersekutu dengan makhluk ghaib itu."Sialan!" Dayu menggerutu tanpa sadar.Gadis itu mengacak rambutnya kasar lalu membasuh wajahnya. Dia tak bisa mencuci bersih kepalanya agar semua bayangan buruk dan pikiran negatif meluncur turun dan terbawa air. Setidaknya, dia masih ingin membuka matanya dan menikmati beberapa hari yang indah sebelum mati.Oh, itu terdengar