Minggu pagi. Aku tersentak kala mendengar suara ribut-ribut dari luar kamar. Ramai suara gaduh yang bersahut-sahutan seperti masyarakat yang hendak memukuli maling. Suara itu sudah tak asing lagi di telinga, dan aku hafal betul nada dan gaya bicara mereka."Ada apalagi, Bu?" Aku mengucek mata dan merapikan sedikit rambutku. Ayah dan Paman seperti dua orang terdakwa yang tersudut karena serangan Ibu. "Siapa laki-laki ini, Sarah? Kenapa kalian bisa berada di sini?" Desak Ibu begitu melihatku. "Kau tidak berhak lagi mencampuri urusan kami, Risma. Segeralah kau angkat kaki dari rumah ini!" Ayah tak lagi terlihat lemah seperti biasanya. "Kenapa kau biarkan mereka masuk, Harun?" Paman Harun diam saja tak menjawab. Mungkin tak berani terlalu mencampuri urusan keluarga kami. "Abang tega menjual anakku, agar supaya bisa hidup enak? Laki-laki seperti apa Abang ini?" Lagi-lagi Ibu melawan. Dara masih memasang wajah angkuhnya, memperhatikan Paman dari atas sampai bawah. Mungkinpun mereka pi
"Kenapa kau biarkan mereka lama-lama di rumah ini, Sarah? Harun tak akan pulang kalau mereka tak segera pergi. Kau tak ingin melihat Pamanmu itu marah, kan?" Ayah keluar dari kamar tempat persembunyiannya tadi, enggan berlama-lama melihat mereka.Paman memang pergi tak tahu kemana setelah kejadian tadi. Sepertinya dia juga menghindari sosok Ibu dan Dara yang sudah mengusir aku dan Ayah dari rumah kami dulu. Sejak awal, Paman memang marah dan ingin segera mengadu kepada Nenek, namun karena aku meminta sedikit waktu agar bisa memperbaiki semuanya, Paman mengalah dan memilih ikut merahasiakannya. .Aku menyiapkan makan malam untuk kami nikmati. Puluhan pesan dari Andar menghiasi ponselku memberitahukan bahwa dia sudah tak sabar ingin datang. Paman terus memasang wajah tak suka dari sore tadi. Padahal saat kemarin di kafe, dia yang mendatangi meja Andar. Walaupun hanya diam sembari memperhatikan apapun yang diperbuat laki-laki yang telah membuat keponakannya jatuh hati tersebut. "Pama
"Kau tidak lihat? Ada dua buah tindik di masing-masing telinganya. Apa kau tidak berpikir kalau dulunya dia itu wanita jadi-jadian?" "Hish... Paman bicara apa? Dia juga pernah muda dan mungkin salah dalam pergaulan. Yang penting kan sekarang sudah berubah." Aku mencoba membelanya. Seperti yang Andar katakan, dia pernah berada di titik terendah dalam hidupnya. Dia bahkan pernah mencoba ingin mengakhiri hidupnya sendiri. Namun hal itu dia urungkan, karena tiba-tiba terbayang wajah Ibunya yang menangis dan menghiba memohon sesuatu."Kau percaya ceritanya begitu saja?" Lagi-lagi Paman mencoba mempengaruhiku. "Ah, sudahlah. Paman bicara apa? Aku hanya menyukainya, itu saja." Aku mempertegas ucapanku. Raut wajah Paman seketika berubah."Kita kembali saja ke ruang tamu!" Aku menyudahi pembicaraan sambil membawa nampan berisi teh manis dan sepiring bika Ambon yang kupesan saat Paman keluar tadi. "Mana Andar, Yah?" Kulihat Ayah sudah duduk seorang diri. Tatapannya kini terlihat kosong samb
Liburan semester telah tiba. Kali ini Paman melarangku bekerja fulltime di Kafe Hana."Jaga saja Ayahmu, nanti kutambahi lagi uang sakumu!" perintahnya yang dengan senang hati aku turuti. Satu bulan telah berlalu dari perpisahanku dengan seseorang yang menjadi cinta pertamaku. Selama itu pula aku sudah berusaha untuk melupakan semuanya. Aku bahkan tak pernah lagi menyebut namanya di depan Ayah, terlebih lagi Paman. "Bukankah sudah kukatakan, ha?" sindirnya merasa benar tentang penilaiannya terhadap Andar. ."Hei, jomblo! Sudah banyak duit kau sekarang, ya? Sampai-sampai tak mau lagi lembur di tempatku," protes Hana. Seperti dia pernah punya pacar saja memanggilku seperti itu. "Sori, Bos. Terpaksa!" elakku. "Kau tak mau kalau sampai Paman Harun mengusirku karena melawan perintahnya, kan?" Aku berusaha membela diri. "Sejak kapan kau jadi penurut, ha? Alasan saja.""Ayolah, Bos. Jangan marah. Ini kesempatanku punya banyak waktu untuk merawat Ayah." Aku merayu dengan memijat-mijat pu
Aku dan Paman masuk secara bersamaan untuk melihat siapa yang datang. Wajah Paman tampak gusar. Sepertinya dia sudah bisa menebak siapa-siapa saja pemilik alas kaki dari berbagai macam bentuk, warna dan ukuran tersebut.Mungkinpun aku juga sudah bisa menduganya. Keluarga mana lagi yang akan datang mengunjungi Paman selain..."Mak!" Paman segera mendekati dan mencium tangan orang tua yang sudah berdiri di ambang pintu melihat kami. "Kapan Mak sampai? Kenapa tak kasi kabar sama Harun?" Paman tampak bergelayut manja dengan Nenek. Nenek juga tak sungkan untuk memeluk pria yang kini menjadi anak bungsunya tersebut. Matanya mengintip dari balik badan Paman menatapku. Ditariknya ujung jari telunjuk dan digerakkan maju mundur, menandakan sebuah ajakan atau tepatnya sebuah perintah "kemari kau".Dengan langkah yang ragu dan masih belum bisa membaca situasi, aku mendekati mereka yang baru saja saling terlepas dari pelukan. Dengan mengikuti gerakan Paman tadi, aku bermaksud meraih tangan Nenek
"Tidak usah dicari!" Nenek seolah-olah tahu apa yang sedang ku takutkan. "Sudah kuusir dia."Aku dan Paman tersentak kaget. Tak terasa mataku kembali berkaca-kaca. Bayangan penolakan dari Nenek terpampang nyata dan kini benar-benar terjadi. Dengan wajah marah aku bangkit berdiri hingga mengagetkan kedua Undeku dan anak-anaknya. Paman berjalan mendekatiku, menyuruhku untuk tenang. Namun bagaimana mungkin aku bisa tenang dengan keadaan yang seperti ini? "Kenapa Nenek mengusir Ayah Sarah?" teriakku sambil terus menangis. Tak tahu lagi harus mengatur kata-kata seperti apa agar Nenek bisa mengerti."Kau diam saja!" perintah Paman. "Kenapa membentak orang tua?" Paman berusaha menenangkanku."Bagaimana aku bisa tenang, Paman? Kemana Ayah akan pergi? Bagaimana aku bisa mencarinya sedangkan Ayah tidak punya hape untuk dihubungi," aku semakin kesal dan berusaha mencari Ayah keluar dari rumah. Namun seketika itu pula Paman menghentikan aku dan memegangi lenganku."Tenang saja dulu," lagi-lagi
Tatapan matanya kosong, seperti tak mengerti bahwa aku benar-benar akan mengabaikan hubungan darah kami demi Ayahku yang saat ini entah bagaimana keadaannya."Ini sudah takdir, Nek. Sarah memang sudah terlahir sebagai anak Ayah. Bahkan Sarah tidak bisa mengingat bagaimana wajah anak Nenek," ucapku jujur. Dia terduduk lemas saat Unde Tiwi dan Unde Limah menangkapnya dan membopongnya menuju sofa. Aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan saat tubuh ini tak bisa berpindah karena ditahan oleh Paman. "Jadi kau lebih memilih pergi?" dia meyakinkan jawabanku tadi. "Maafkan Sarah, Nek."Aku menatap wajah Paman yang kini tengah berhadapan denganku tanpa jarak. Aku terus memohon tanpa kata-kata agar dia membiarkanku pergi. Paman terus menggeleng, seolah bisa mendengar isi hatiku. Dia terus saja berusaha agar aku tak beranjak pergi dari sisinya. Sesaat kudengar suara isak tangis dari balik punggung Paman. Suara itu, isakan itu, bukankah...Aku mengintip dari balik tubuhnya, yang diikuti Pam
"Paman, Paman masih marah padaku?" aku berteriak di telinganya saat motor melaju kencang. Dia masih diam tak menjawab. Sejak kemarin dia terus tak mau bicara padaku. "Aku hanya emosi Paman. Aku pikir Nenek benar-benar mengusir Ayah," lagi-lagi aku membujuknya. Dia terus tak menggubris ucapanku. "Nanti aku traktir es susu pisang kesukaan Paman, ya?" hening. "Kentang goreng juga.""Bagaimana kalau spageti? Mau tidak?""Hish.. " Dia masih saja bergeming. Kata Unde Paman memang suka merajuk seperti anak kecil. Terkadang juga Unde Tiwi dan Unde Limah juga didiamkan hanya karena mereka bilang Paman Harun sama sekali tidak mirip dengan Kakek dan Nenek. Maksudnya hanya ingin menggoda dan berseloroh dengannya. Namun Paman Harun yang saat itu sudah kelas tiga smp menanggapinya dengan serius dan memilih mendiamkan mereka yang sudah cukup dewasa itu. Hingga kini sikap perajuk itu masih melekat, ditambah lagi Paman menjadi anak bungsu yang selalu dimanja oleh orang tua dan kakak-kakaknya.Ka