"Lalu, kenapa? Sandra itu bukan urusan aku. Lagi pula kamu yang tidur sama dia, ya kamu tanggungjawab. Mau pamer kalau sekarang kamu bakal jadi ayah? Perbuatan haram gitu dibanggain!" cetusku berusaha agar tidak teriak. Ternyata di zaman sekarang, polos dan bodoh itu beda tipis. Sudah banyak perempuan yang mengaku cinta, kemudian menyerahkan kehormatannya cuma-cuma saat lelaki membujuk rayu meminta bukti kesetiaan dengan janji akan dinikahi. "Kan, nanti aku juga yang bakal jadi suami kamu. Untuk apa takut nggak perawan?" "Ini supaya kamu nggak nyari yang lain. Aku takut ditinggal kamu." "Sayang, sekarang atau nanti apa bedanya? Toh, aku juga yang bakal ngambil di malam pertama kita." "Bukti cintaku sama kamu. Bukti cinta kita. Biar kayak suami istri benaran, jadi susah kalau mau putus karena pasti mikir dua kali." Seperti itulah kiranya ketika lelaki sudah menginginkan hubungan suami istri di luar pernikahan dengan kekasihnya, lalu seorang perempuan akan mudah luluh dan percaya.
Suasana tiba-tiba hening. Mereka tenggelam dalam pikiran sendiri. Zanna menghela napas, akhirnya dia mengungkapkan fakta bahwa dirinya bukanlah anak yatim piatu yang miskin dan juga tidak pernah menjadi wanita simpanan siapapun. Itu melegakan, minimal dia bisa menjadi diri sendiri ke depannya. Zanna berharap Alyssa tidak marah karena membongkar identitas lebih awal."Jangan mengarang cerita. Nama kamu memang Zanna Amani Z, tapi bukan putri Arsenio Zaroun. Seorang wanita simpanan akan selamanya jadi simpanan, bukan jadi anak!" Emosi Bu Tika meluap. Dia masih belum mau menerima kenyataan mengingat kelakuannya selama ini pada Zanna.Bu Tika tahu kalau dirinya bisa saja mendapat pembalasan dendam. Arsenio Zaroun sangat terkenal dengan sifatnya yang tidak mudah memberi maaf. Namun, Bu Tika dan juga Dimas terlalu ceroboh, telat menyadari semuanya."Mengarang cerita biasanya dilakukan sama ibu waktu aku masih jadi menantu. Ibu dan juga Nila sering menghasut Mas Dimas, memfitnah aku agar cint
Mata Zanna terpaku pada undangan pernikahan yang sejak tiga hari lalu dia letakkan di nakas. Sebuah undangan yang dibuatkan khusus oleh Dimas demi sang mantan. Zanna belum bisa menebak tujuan lelaki sialan itu selain karena ingin pamer bahwa dia bisa menikah tanpa bantuan darinya dan juga memiliki pengganti dalam waktu singkat.Tentu saja karena mereka telah menjalin hubungan bahkan ketika Zanna masih menjadi istrinya. Luka di dalam hati terbongkar begitu dahsyat ketika serpihan kenangan menggunung di depan mata. Bukan tidak bisa move on, tetapi terkadang memang butuh waktu untuk bisa pulih dari luka.Bukan hanya Zanna, tetapi beberapa orang di luar sana merasakan hal serupa. Baik itu laki-laki maupun perempuan. Ketika memberi cinta yang besar dan tulus kepada pasangan, maka mereka dengan mudah menyakiti. Meski sudah bertahun-tahun lamanya, tetap saja ada setitik luka di hati.Zanna berharap segera menemukan pengganti agar bisa melupakan Dimas sepenuhnya. Bukan hanya tentang cinta, te
Jantung Nila berdegup semakin cepat, kedua kaki terasa lemas seperti kehilangan tulang saja. Tangannya berpegang pada dinding, memutar otak bagaimana cara terlepas dari kematian.Gadis itu menyesali keputusannya untuk ikut dengan Zanna. Sungguh, dia tidak menduga sama sekali bahwa Zanna benar-benar sudah berubah. Padahal tadi dia tersenyum dan bersikap baik, hal itu berhasil membuat Nila percaya."Nila, jangan ketakutan begitu. Di rumah hitam ini hanya ada dua opsi." Zanna melirik sekilas pada kakaknya sebelum melanjutkan, "Pertama, mati perlahan. Kedua, tetap hidup, tetapi seperti mati.""Mbak Za jangan bercanda. Itu pilihan yang nggak masuk akal, Mbak!""Terserah, karena nggak ada opsi ke tiga. Kalaupun ada, itu nggak berlaku buat kamu."Alyssa mengangguk setuju mendengar ucapan sang adik. Meskipun rumah hitam itu milik Alyssa, dia memberi kekuasaan pada adiknya juga demi membalaskan dendam. Dia pun memberi isyarat pada Zanna untuk membuka tirai hitam yang berada satu meter dari mer
"Zanna!" teriak Dimas di depan rumah besar dan megah itu ketika berhasil melewati security dengan mudah.Hari semakin gelap, tetapi Dimas tidak peduli asal bisa menemukan Nila kembali. Kehilangan sang adik di hari pernikahan adalah sesuatu yang mustahil dia bayangkan. Padahal Dimas sudah mencoba menerima garis kehidupan yang Tuhan tentukan, tetapi semesta seolah berbalik melawannya."Zanna, keluarlah! Aku tahu kamu ada di dalam. Jangan sembunyi, Pengecut!"Pintu terbuka lebar. Zanna berdiri dengan tatapan yang sulit diartikan. Dalam beberapa detik, senyum terbit di wajah perempuan itu. Menatap lekat, seperti tidak ada masalah di antara mereka. Ya, Zanna telah meyakinkan hatinya bahwa dia bisa berdiri tanpa orang baru."Eh, ada pengantin baru. Harusnya kamu istirahat di kamar sama Sandra, Mas. Apalagi dia sedang hamil anak kamu, kok malah datang ke sini?""Nila mana? Kamu sembunyikan Nila di sini, kan?""Nila? Kenapa aku harus menyembunyikan adikmu di sini? Memang dia berguna?" Zanna m
Dua hari telah berlalu, tetapi Dimas masih belum bisa menemukan Nila. Ibunya memang khawatir, tetapi hanya sebatas kata karena tidak ada usaha untuk ikut mencari. Sandra pun sama, dia lebih memilih menghabiskan waktu di rumah sambil menonton televisi seolah kepergian Nila bukanlah masalah besar.Stress, itu yang dialami oleh Dimas. Berulang kali dia meminta bantuan Zanna, tetapi selalu ditolak. Ketika memaksanya mengakui kesalahan sebagai pelaku yang menyembunyikan Nila, dia bersikeras mengelak sebisa mungkin. Dimas yang malang, merasa sendiri menghadapi masalah.Kemarin, Zanna menyarankan padanya untuk melaporkan masalah itu pada pihak berwajib. Namun, saat Dimas menyampaikan usulan tersebut pada Sandra, justru mendapat penolakan."Mas, lapor ke polisi itu gak semudah yang kita pikir. Pakai duit juga. Terus gimana kalau misal Nila ketemu tahu-tahu sama cowoknya? Jaman sekarang anak gadis itu suka gak punya batas sama pacarnya. Udahlah, cari mandiri aja. Malu kalau tetangga tahu apala
"Mas, bukan Mbak Za. Aku justru berhutang nyawa sama dia, Mas." Nila menjelaskan sambil berusaha duduk di kursi ruang tamu.Keadaannya masih lemah, selain kurang makan, dia juga kurang tidur. Napasnya sedikit memburu. Di saat yang sama sang ibu datang dan langsung membawa Nila dalam pelukan. Rindu, tetapi tidak ada usaha menemukan seperti yang Dimas lakukan selama dua hari terakhir."Kalau bukan dia, lalu siapa? Waktu nikahan mas, dia yang terakhir bicara sama kamu, kan? Dia itu memusuhi keluarga kita, Nil. Jangan membelanya atau kamu sedang diancam?""Mas!" Suara Nila sedikit meninggi. "Mbak Za nggak pernah memusuhi kita, kitalah yang memusuhi dia selama ini. Memang benar, sebelum aku menghilang, Mbak Za yang terakhir bicara sama aku, tapi bikan dia. Ada anak kecil yang entah datang dari mana, dia melambaikan tangan. Seperti dihipnotis, aku mengikutinya. Entah apa yang terjadi, saat aku membuka mata malah berada dalam ruangan sempit tanpa jendela."Zanna tersenyum menatap Nila penuh
Semua mata kini tertuju pada Sandra. Perempuan yang tengah mengandung itu menggelengkan kepala kuat. Dia ingin lari masuk kamar begitu melihat tatapan tajam dari Dimas. Akan tetapi, kakinya terlalu sulit untuk melangkah.Sandra tidak pernah menduga tuduhan itu akan beralih padanya. Dia memang tidak menyukai Nila, tetapi bukan berarti harus menculik, begitu pikirnya. Sial karena lidah terasa kelu sampai sekarang Dimas telah mencengkram tangannya."Aku mungkin mencintai kamu, tetapi kesalahan seperti ini tidak bisa ditolerir. Sandra, ken–""Mas, kamu percaya sama omongan adik kamu? Bisa aja kan dia ngarang. Ngomong tanpa bukti itu jatuhnya fitnah, Mas. Jangan berpikir sempit dong. Aku mana ada waktu dan uang buat ngurus penculikan. Lagi pula Nila tahu dari mana coba kalau orang-orang itu suruhan aku?!""Laki-laki itu yang bilang. Katanya, dia disuruh Sandra Chandrawinata." Nila menimpali, menatap kesal pada kakak ipar yang dulu dia banggakan di depan Zanna. Sekarang, semua berbeda dan u