Seribu hari telah berlalu bagaikan satu detik bagi Zanna yang selalu diberikan kebahagiaan dan perlakuan lembut dari sang suami. Setiap saat dia akan menerima hadiah-hadiah istimewa.Beberapa kotak kado saja masih tersimpan rapi di dalam kamar bernuansa putih itu. Semenjak hamil, Zanna diminta tinggal bersama keluarga suami karena dia tidak tahu bagaimana mengurus diri sendiri mengingat Alyssa pindah ke Bandung setelah pernikahannya dua tahun yang lalu.Wanita berambut ikal itu mengulum senyum, menatap langit yang penuh dengan bintang-bintang. Kenangan beberapa bulan kemarin cukup menguras air mata. Memang ada hal yang tidak pantas kembali walau meminta maaf dan menyesali berulang kali.Menoleh pada tempat tidur berukuran besar itu, seorang bayi terlelap di sana. Dia sangat tampan, mirip dengan Akmal sang ayah. Namun, hati Zanna terluka kala mengingat hari di mana dia harus berjuang antara hidup dan mati demi kelahiran putra pertama yang diberi nama Alvino Atharrayhan.Sejumput nyeri
"Maaf." Akmal menunduk dalam.Lelaki itu memilih selalu mengalah pada sang istri karena tahu bahwa dia pernah mengalami luka di masa lalu. Jadi, Akmal harus membahagiakan dirinya.Tentu saja karena Akmal ingin spekulasi Zanna tentang 'semua lelaki adalah sama' harus dipatahkan. Lagi pula, dia tulus mencintai dan tidak mau kehilangan dalam keadaan apa pun.Akmal sadar bahwa anak yang dilahirkan bukan murni kesalahan Zanna semata. Mereka suami istri dan harus menanggung ujian itu berdua. Sebagai seorang suami, tugasnya adalah menghibur karena tidak mungkin hanya menonton. Mereka semestinya saling melengkapi bukan menyalahkan.Memang saat pertama kali melihat Alvino, dia terkejut melihat telinga kanan yang berbentuk menyerupai biji kacang dan tanpa lubang. Namun, setelah menerima nasihat dari seseorang, hatinya terbuka, merasa harus melapangkan dada."Kalau ada masalah, jangan dipendam sendirian. Sebaiknya dibicarakan. Butuh teman cerita? Insya Allah, aman." Seorang lelaki mendekati Akma
"Apa ini pakai bawa tas segala. Dari tadi Ibu perhatiin Akmal sibuk mondar-mandir ngangkat barang." Bu Siska menatap malas pada menantunya. "Kamu yang bujuk Akmal biar pergi dari sini?!""Bu, aku bukan anak kecil lagi. Sekarang pun sudah punya keluarga sendiri. Bukannya Ibu selalu maksa aku nikah? Setelah menikah, tentu punya rumah sendiri biar enak. Ada privasi, Zanna juga nggak sungkan kalau diam aja di kamar."Akmal harus membela sang istri karena tahu bagaimana sifat ibunya. Jika hanya diam, maka dia tentu saja tidak layak disebut sebagai suami.Bukan berarti Akmal ingin menjadi durhaka. Tidak. Dia hanya ingin melindungi istrinya tanpa harus menyakiti sang ibu. Namun, jika terdesak, maka lelaki itu tidak punya pilihan lain."Lihat adik kamu si Ricky. Dia betah tinggal di sini sama istrinya. Ya, kecuali sekarang karena mereka tinggal di rumah orang tua Nafiza lagi, gantian. Kalian ini malah mau pisah rumah. Mertua kamu nggak ada di Indonesia juga, 'kan?" Bu Desi mengerucutkan bibir
Suster Desi menggelengkan kepala berulang kali. Dia menatap sendu pada wanita berambut ikal itu, berharap masih diberi kesempatan. "Demi Allah, Bu. Saya nggak ada maksud menyinggung perasaan siapa pun. Saya ... saya menyayangi Alvino. Bu Za mungkin tahu bagaimana perasaan seorang istri yang tidak bisa menjadi ibu walau sekali.""Jadi, maksudmu ...?""Jangan pecat saya, Bu. Saya sangat butuh pekerjaan ini. Saya menatap takjub pada Alvino karena terlahir dari orang tua yang begitu sayang dan peduli padanya. Saya tidak ada maksud lain, Bu!" Wanita itu mengatup kedua tangan di depan dada.Zanna merasa kasihan. Tentu saja dia mengerti bagaimana rasanya seorang istri yang belum berkesempatan menjadi ibu. Dulu pun dia selalu mendapat hinaan karena tidak kunjung hamil, padahal kesalahan ada pantan suami.Mendengkus, Zanna menjawab, "baiklah. Lakukan pekerjaanmu dengan baik. Jangan coba-coba menyakiti Alvino!"Senyum tipis terbit di wajah Suster Desi. Dia mengangguk senang sekali sampai keperg
Bab 102Sebagai seorang wanita, Zanna tetap saja sama pada umumnya. Ketika tidak senang pada satu hal, kemudian merajuk, maka bisa berlangsung sampai dua atau tiga hari. Hal tersebut membuat Akmal bingung sendiri harus melakukan apa lagi.Setelah kisah di masa lalu, Zanna menjadi orang yang paling dicintai. Berbagai cara telah dia lakukan agar sang istri tidak lagi memanyunkan bibir atau mendelik kesal ketika Akmal mencoba melontarkan rayuan maut.Hari ke empat, lima bahkan enam pun telah berlalu dan wanita itu masih tetap pada pendirian. Di kantor, Akmal selalu berusaha fokus dan tetap mengirim kabar pada sang istri walaupun tidak menerima respon. Sekarang, mengajak liburan pun mendapat penolakan dengan alasan Alvino harus di rumah."Selamat datang, Nafiza!" sambut Zanna melebarkan senyum ketika melihat sepasang suami istri mengikuti langkah Mbok Sumi. "Ternyata ada tamu istimewa. Kenapa nggak ngabarin kalau mau ke sini? Biar dimasakin apa gitu.""Nggak, Mbak. Takutnya merepotkan. Ak
"Harus banget, ya, ngusir mereka?" Zanna bertanya kesal karena pembicaraannya dengan Nafiza harus berakhir."Kalau kamu jadi aku, mungkin akan memukul atau membunuh Ricky.""Maksudmu?"Akmal menghela napas panjang. Hubungan antara dia dengan sang istri masih belum baik dan adiknya malah datang memperkeruh keadaan. Namun, itu tidak bisa dibiarkan. Jika Akmal hanya diam, maka solusi tidak akan pernah datang dan Zanna semakin tenggelam dalam kesalahpahaman.Tangan kekarnya menarik lembut Zanna menuju kamar di mana Alvino berada. Anak yang tampan, dia bahkan bisa tenang ketika ada masalah antara mama dan papanya."Tadi, waktu kamu sama Nafiza mengobrol di kamar, aku mau menyusul, tetapi Ricky bilang mau membicarakan sesuatu yang penting. Akhirnya, kita berdua duduk di ruang tamu dan kamu tahu apa yang disampaikan bajingan itu?!"Zanna memicingkan mata, mencoba mencari kebohongan pada diri suaminya. Akan tetapi, nihil sehingga dia memilih menggeleng. Meski demikian, tetap saja timbul rasa
Zanna menggeleng tidak percaya. Wajah itu baru sekali dia temui seumur hidup, sedikit kemungkinan mereka ada hubungan di masa lalu. Akan tetapi, apakah di dunia yang begitu luas tersebut memiliki kemungkinan dua orang dengan suara serupa bahkan sangat mirip?Dulu, Zanna punya saudara sepupu kembar tiga. Masing-masing dari mereka berbeda suaranya. Jadi, sekalipun mirip hampir seratus persen, tetapi bisa dibedakan dengan suara. Orang yang memakai niqab di luar sana pun bisa dikenal hanya dengan mendengarnya berbicara. Lantas, apa sekarang suatu kebetulan atau kehendak Tuhan?"Kenapa? Kamu nggak percaya kalau kita akan bertemu dengan cara seperti ini?" Wanita itu semakin mengikis jarak, sedangkan Zanna memilih mundur."Sekarang kamu takut?" Dia tersenyum miring. "Tenang saja, aku nggak niat balas dendam.""Nila. Kamu Nila, 'kan?" tebak Zanna masih ragu.Siapa sangka, dia mengangguk. Ada banyak perbedaan dari rupanya. Hidung menjulang dengan
Pukul delapan malam, Zanna sudah tiba di depan tempat berkumpulnya para wanita malam. Ada keraguan di dalam hati, tetapi demi bisa menemukan jawaban, dia harus datang langsung ke tempat itu.Melewati pintu utama, Zanna disambut oleh pemandangan yang ... tentu saja tidak enak dipandang. Beberapa wanita berpakaian seksi tengah bergelayut manja pada lelaki yang tentu saja bukan suaminya. Namin, bukan itu tujuan Zanna ke sana."Halo, Cantik!" Seorang wanita paruh baya tersenyum ramah padanya.Bibir merah menyala dengan pakaian minim menampilkan belahan dada. Zanna mundur selangkah untuk memberi jarak. Bukan karena dia merasa sebagai manusia paling suci di dunia, melainkan merasa risih saat dagunya dicolek."Ada perlu apa? Butuh bantuan Mami? Biasanya wanita yang datang ke sini itu selalu nyari Mami, minta bantuan. Ketemu Mami nggak semudah tersenyum loh, Sayang. Katakan, kamu mau apa?""Iya, aku mau ketemu Mami. Mami tahu nama-nama pelanggan dan siapa yang dia pesan, 'kan?""O jelas." Wan