POV INDAH
"Maya!" ujarku menghampirinya karena wanita itu tiba-tiba saja pingsan.
"Hendra! Edwan tolongin!" ujarku lagi. Namun Edwan dan Hendra malah diam saja.
"Pak tolong antar perempuan ini ke rumah sakit. Tolong carikan taksi biar kami mengikuti dari belakang," ucap Hendra membuat mataku membulat sempurna. "Kenapa gak kamu masukin ke mobil kamu saja, Hend? Lalu kita antar sama-sama ke rumah sakit," ucapku. Tiba-tiba saja merasa kasihan dan tidak tega pada Maya.
"Nggak deh, Ndah. Biar warga saja yang antar. Aku gak mau ngangkat-ngangkat Maya. Lagi pula ada hati yang harus dijaga. Terus juga banyak warga." Hendra menolak dengan memberikan alasannya. Aku pun mengangguk karena tidak berani untuk me
Indah terus termenung. Berdiam diri memikirkan Maya.Seharusnya Dokter tidak memberi tahu penyakit wanita itu di hadapan semua orang dan Maya sendiri.Karena bisa membuat kaget pasien dan akhirnya semakin drop. Seharusnya hanya keluarga yang diberi tahu sebagai privasi. Tapi Dokter seolah memiliki dendam pribadi pada Maya. Memberitahu penyakitnya tanpa bertanya apakah mereka adalah keluarganya atau tidak."Heh! Bengong aja. Kami pulang dulu ya?" Novi menepuk pundak Indah. Ada rasa tak rela teman-temannya pulang. Sebab wanita itu kembali merasakan sepi. "Hem… mau pulang ya? Baiklah," ucap Indah pasrah. Novi langsung memeluk Indah. "Iya pulang. Baik-baik jagain Adira. Semangat single mom!" ucap Novi seraya mengangkat tangan kanannya dan mengepalkan lima jarinya. "Semangat!" katanya lagi tersenyum. Indah sendiri mengangguk dan tersenyum. Kemudian mengantarkan ketiga temannya itu keluar dan
"Lif!" sapa seorang wanita cantik yang masih memakai pakaian dokter. Alif tengah duduk di kursi roda sambil memijat keningnya. Wajahnya muram terlihat sangat sedih."Aku bertemu wanita yang menjadi sumber masalahmu dan saat ini dia menjadi pasienku," katanya lagi sambil melepaskan jas putih khas dokternya."Maksud kamu?""Aku bertemu mantan istrimu! Dan dia positif HIV Aids. Melihat wajahnya aku sedikit kesal. Akhirnya pun saat ada yang bertanya perihal penyakitnya, kujelaskan saja di hadapan wanita itu. Supaya tahu rasa. Lagi pula aku aman. CCTV di ruangannya sedang mati dan belum sempat diperbaiki. Karena kerusakan itu sudah terjadi beberapa hari. Memberitahu penyakit pasien terang-terangan di depan banyak orang apalagi bukan keluarga kan bahaya. Sebab pe
"Kamu kasih saja, Yana. Untuk pelanggan tadi, kamu kasih diskon 5 persen, karena hati saya sedang gembira bertemu seorang sahabat yang paling baik," tekan Indah sembari menatap tajam mata Luna. Luna sendiri menelan liur tak percaya kalau Indah memiliki butik mewah. Seolah tak rela dan merasa sakit hati, wanita itu pun"Wah, beruntung sekali ibu itu," ucap karyawannya sembari meninggalkan Indah."Jadi, Indah benar-benar bosnya? Beruntung sekali dia." Luna membatin sambil menahan rasa malu. Namun, wanita itu tetap bersikap seolah Indah tidak ada apa-apanya dibandingkan dia.Indah mulai membolak balik pakaian yang sudah dibeli Luna. Sebuah gaun berwarna rose gold bermanik mutiara di bagian dada hingga bagian bawahnya itu benar-benar diperiksa cukup hati-hati karena
"Ngaco lo, Hend." Edwan menimpali. Kali ini wajahnya terlihat santai. "Kaya pernah ketemu aja kalian ini. Gue udah sibuk di bidang makanan dari dulu. Jadi mana ada waktu buat urus-urus perusahaan," lanjutnya lagi."Widih! Jangan salah. Jaman sekarang, uang yang bekerja. Apalagi kalau sudah punya orang kepercayaan. Bukan sombong nih, contohnya Adit. Gue yang urus semuanya," balas Hendra. Novi membenarkan ucapan suaminya."Jadi, benar kamu pemilik perusahaan itu?" Indah bertanya pada Edwan dengan sorot mata menatap tajam. Membuat laki-laki itu salah tingkah hingga menggaruk kepala yang mungkin saja tidak terasa gatal. "Edwannn!!! Jawab aku!" tekannya lagi masih menatap pria itu."B-bukan aku, Ndah. Novi sama Hendra ngarang itu. Mending kamu besok datang dan t
"Kamu," lirih Indah sedikit kesal. Buru-buru ia pun berjalan meninggalkan lelaki di hadapannya.Dengan langkah cepat ia berjalan menuju mobilnya."Indah," lirih Laki-laki yang tak lain adalah Reyhan. Reyhan datang ke perusahaan EI mencoba untuk melamar pekerjaan. Sebab ia tahu kalau perusahaan baru itu pasti masih membutuhkan tenaga kerja ahli.Lelaki itu masih berdiri termenung melihat punggung mantan istrinya yang berjalan ke arah mobil. "Dengan siapa dia sekarang ini?" gumamnya kemudian beranjak masuk ke kantor.Indah sendiri sebelum masuk mobil, ia kembali menoleh ke arah Reyhan yang sudah berjalan ke dalam kantor. "Aku pernah mencintai laki-laki yang tak memiliki hati itu," lirihnya kemudian mengusap air
"Indah," lirihnya sambil melihat ke arah tangan kami. "Elo? Ngapain? Nyasar?" Edwan bertanya. Membawaku ke mejanya melewati Reyhan. "Kamu duduk, Sayang," ucapnya sambil menarik kursi."Terima kasih," ujarku tersenyum. "Vita!"Edwan memanggil sekretarisnya. Wajah Reyhan terlihat panik. Terlihat sekali dia sangat ingin lekas pergi dari ruangan ini. "Tolong ambilkan bangkumu. Dan bawa ke sini," lanjut Edwan lagi. Vita menurut dan tak lama kemudian, bangku Vita berpindah di depan meja Edwan. Tepat di sampingku tentunya."Kalian ngapain di sini? Di mana Pak Ilham?" Reyhan bertanya."Ini kantor saya. Dan kamu sedang bertemu dengan pemilik perusahaan ini," tegas Edwan. Reyhan terdiam. "Vita! Tolong nama Ilham Utama diganti dengan Ilham Edwan Utama," perintahnya pad
Pov Reyhan "Aku abis nyari kerja. Jangan marah-marah. Suami baru pulang itu disambut!" kesalku menatap wajah Luna yang menyusulku ke kamar. Dengan tatapan sinis tentunya. Luna mendengus dan langsung duduk di sampingku. "Huh!" Wanita itu membuang nafas kasar. "Gimana? Dapat kerjaan nya? Aku dengar perusahaan EI group sedang membutuhkan tenaga ahli. Keterima kan kamu?" cerocosnya bertanya. "Bagaimana bisa aku kerja di sana kalau pemilik perusahaan itu Edwan?" jawabku balik bertanya. Luna terlihat kaget. "Edwan?" tanyanya. Aku mengangguk kemudian membaringkan tubuh di ranjang dengan kedua tangan kujadikan bantal. "Ya udah si kerja di perusahaan bapak aja. Keuangan kita semakin menipis. Kalau kamu gak kerja juga gimana, Mas?" "Enggak deh, Lun. Aku ingin menunjukkan pada Papa kalau aku bisa tanpa mereka." "Tapi faktanya untuk dapat rekan kerja untuk dapat investor aja kamu kesulitan, Mas. Ini tuh seperti permainan Papa kamu dan Haris! Mereka menghasut supaya tidak ada yang mau kerja sa
***Setelah menempuh perjalanan hampir satu jam karena macetnya kota jakarta, kami tiba juga di rumah kedua orang tuaku."Aku deg-degan. Takut sama Mama kamu," ucap Luna sedikit sewot."Kamu gak kaya Indah ya, bisa ambil hati keluargaku." Mata Luna membulat mendengar ucapan yang keluar dari mulutku."Kok kamu jadi banding-bandingin aku sama Indah, Mas?" tanyanya dengan nada penuh emosi. "Aku malas ribut. Sekarang turun," kataku sedikit kesal. "Cepat! Malah bengong!" sentakku. Dengan kesal Luna pun membuka sabuk pengaman. Kemudian kami turun secara bersamaaan.Ting … Nong ….! Kutekan bel beberapa kali.