Aku mendengar tangis bayi berulang kali, tapi kedua mata ini sulit terbuka. Rasanya seperti ada batu besar yang menindih tubuh sehingga aku tidak bisa bergerak sama sekali. Namun, saat ada yang memanggil, mata ini sontak terbuka. Aku melihat pemandangan di hadapan. Hanya ada sesuatu yang menggantung, lalu bola lampu yang menyala. Aku tiba-tiba linglung, tidak tahu ini di mana, lalu kenapa bisa ada di tempat ini. "Manda! Sayang!"Aku berusaha menoleh ke arah suara. Wajah laki-laki yang sangat familier tampak tersenyum dan dia juga menggenggam tanganku. Namun, aku kesulitan mengenalinya. Aku kenapa? Dia siapa? Manda? Apa itu namaku? "Manda ... akhirnya kamu sadar juga, Sayang." Laki-laki itu seperti akan menangis. Aku bisa melihat matanya yang berkaca-kaca. Saat aku masih mencoba mengingat, dua orang perempuan berbaju putih mendekat dan memeriksaku. Mata, mulut, tangan, semuanya menjadi sasaran. Ah, aku mengenali pakaian putih itu. Dia pasti seorang dokter. "Bu Manda bisa melihat
Tiba di rumah, aku langsung mencari Afkar. Hanya anak itu yang membuatku bersemangat untuk segera sembuh dan bisa membersamainya setiap saat. Bayi menggemaskan itu ada dalam gendongan sang nenek dan menyambutku dengan hangat. Aku yang berjalan pelan setelah turun dari mobil dengan dipapah Mama Astri, tersenyum semringah bisa kembali menjejak rumah ini lagi. Rasanya ini seperti keajaiban. "Bunda pulang, Nak." Ibu berucap dengan binar cerah di wajahnya saat melihatku mendekat ke pintu rumah. "Assalamu'alaikum," ucapku pelan. Semua menjawab salamku dengan cepat. Mas Danu pun menerobos dari belakang Ibu dan memberikan usapan lembut di kepalaku. Dia tersenyum penuh arti. Aku masih bisa merasakan cinta yang berlebih dari sorot matanya. Namun, kuanggap itu cinta untuk seorang adik. "Selamat datang, Nyonya Arsya. Jangan lagi buat orang-orang yang sayang sama kamu khawatir, ya. Caramu itu kurang berkelas," ucap Mas Danu dengan senyum. "Emangnya, yang berkelas, yang kayak gimana, Mas?" sah
Menjadi orang pertama yang mengetahui setiap perkembangan Afkar memang sangat membahagiakan. Bayi berpipi gembul itu sekarang sudah bisa tengkurap di usia tiga bulan. Sampai sekarang pula, Ibu masih tinggal bersamaku di rumah Mas Arsya. Sementara Ayah sudah dua kali bolak-balik Bekasi-Jogja. Untuk Mas Danu, aku dan dia sedikit lebih jauh sekarang. Sejak pulang ke Jogja bersama Ayah, dia belum ke sini lagi. Bahkan, sekadar berkirim pesan juga tidak pernah. Aku dan Kaniya juga putus kontak. Dia tidak bisa dihubungi sejak terakhir berkunjung. Kondisiku pun sudah normal seperti sedia kala. Mas Arsya juga mulai sibuk di kantor meskipun jadwal kerjanya dibuat teratur. Berangkat pukul delapan pagi dan sampai rumah sebelum pukul lima sore. Kami punya banyak waktu untuk bersama. Bahkan, di hari Sabtu dan Ahad, dia membebaskan diri dari semua pekerjaan kantor. Seperti hari ini, Mas Arsya menemaniku membawa Afkar ke baby spa. Untuk kali ini, Ibu memilih tidak ikut, katanya sedikit lelah. Kare
Bayanganku tentang apa yang terjadi di sore hari tepat. Bahkan, lebih heboh. Mas Arsya berteriak-teriak memanggil namaku sambil sesekali hampir muntah. Seisi rumah pun menjadi ikut panik mendengar suara laki-laki itu. Kasihan sekali suamiku. Ibu pun menegur, sehingga aku langsung menggantikan tugas Mas Arsya untuk membersihkan Afkar, sekaligus memandikan bocah imut itu. Sementara Mas Arsya, dia sudah melarikan diri keluar dari kamar. Seharian tadi, aku juga tidak berdiam diri saja dan membiarkan Mas Arsya mengurus Afkar sendirian. Tetap aku menemani, tapi urusan menggendong bayi itu, kuserahkan kepada sang ayah. Selesai aku mendandani Afkar usai memandikannya, kubawa anak manis itu keluar dari kamar dan memberikannya kepada Mas Arsya. Aku akan membuatkan susu dulu karena memang setiap selesai mandi, Afkar akan menghabiskan satu botol susu. "Yey, anak ayah sudah wangi!" seru Mas Arsya sambil menerima tubuh gembul Afkar. Afkar pun tertawa dan entah mengatakan apa kepada sang ayah.
Di rumah sebesar ini, aku kembali kesepian. Mas Arsya sibuk dengan pekerjaan dan Ibu sudah pulang ke Jogja. Beliau bilang kalau kangen dengan Ayah dan tidak tega membayangkan Ayah yang sendirian di rumah. Aku sebenarnya tidak rela Ibu pulang, tapi kembali lagi alasan jika Ayah tidak ada teman menjadikanku melepas kepergian beliau ke tanah kelahiran. "Masmu jarang pulang, Nak. Ibu kasihan sama Ayah. Nggak ada yang masakin juga. Di sini, kamu sudah ada Afkar dan suamimu sangat perhatian. Ibu sudah lega karena melihat kamu bahagia." Begitu perkataan Ibu saat memberitahuku keinginannya untuk pulang kampung. Memang benar aku sudah bahagia dengan Mas Arsya dan Afkar, tapi nyatanya ada yang hilang dari hidupku. Ibu tidak ada gantinya sama sekali oleh apa pun dan siapa pun. Aku sudah sangat merindukan beliau meskipun baru sekitar lima hari tidak melihat sosok cantik itu. Aku mulai menyibukkan diri saat Afkar tidur. Entah membereskan kamar, menyapu, bahkan mengepel lantai. Tidak peduli jik
"Pinjem handphone-mu!" pinta Mas Arsya tiba-tiba saat baru saja pulang bekerja. Wajahnya tampak tegang. Hari Sabtu ini memang dia izin untuk ke kantor sampai jam makan siang. Padahal, dia sudah janji untuk mengajakku ke spa. "Ada apa, sih, Mas? Tumben pengen pinjen handphone-ku?" Aku yang baru saja menidurkan Afkar, sontak mengerutkan kening. Tidak biasanya Mas Arsya bersikap seperti itu Suaranya pun terdengar tidak bersahabat. Apa aku sudah melakukan kesalahan? Entahlah? "Mana handphone-mu?" desaknya dengan nada datar, tapi memaksa. Aku pun segera mencari ponsel. Ah, aku lupa pula meletakkan benda itu di mana. Di kasur, bawah bantal, nakas, laci nakas, meja rias, di semua tempat itu tidak ada. "Loh, handphone-ku di mana, ya, Mas? Kok, nggak ada?" Aku sedikit bingung karena ponsel dengan wallpaper wajah Afkar itu belum ketemu juga. "Jangan pura-pura. Cepet bawa sini!" ucapnya ketus. Mas Arsya tampak menahan marah. "Nggak ada, Mas. Aku—""Mulai pandai berbohong kamu, Nda?" Mas A
Aku terus bersin-bersin sejak bangun tidur pagi ini. Aku sepertinya mengalami flu. Memang sejak kemarin, aku sudah merasa kurang nyaman di kerongkongan. Rupanya, pertanda aku akan terkena flu. Untuk urusan Afkar, kuserahkan sepenuhnya kepada Mas Arsya karena tidak ingin anak itu tertular. Namun, aku juga meminta tolong kepada Bi Narti untuk mengawasi. Mas Arsya tidak bisa diandalkan saat Afkar buang air. Aku pun berpindah ke kamar atas dan berusaha untuk istirahat setelah minum obat. Namun, gelisah justru membuat kedua mata enggan memejam. Aku waswas dengan cara Mas Arsya menjaga Afkar. "Sayang demamnya tinggi banget," ucap Mas Arsya saat baru saja menarik termometer dari ketiakku. "Sampe tiga sembilan koma lima ini. Kita ke dokter saja, ya. Obat flu biasa takutnya nggak mempan." Mas Arsya lantas memegangi keningku. Dia juga tampak khawatir. "Nggak usah, nanti juga sembuh kalau buat istirahat. Mas fokus aja sama Afkar. Aku nggak pa-pa," jawabku sembari menaikkan selimut. Aku kedin
"Aku takut ketemu Mbak Eni sama Pak Jamal, Mas. Di rumah cuma ada Bi Narti. Gimana kalau mereka mulai macem-macem," keluhku saat Mas Arsya akan pergi bekerja. "Di rumah sudah dipasang CCTV. Sayang nggak usah takut. Nanti, aku bakal awasin terus dari tempat kerja. Sayang nggak usah keluar-keluar kamar. Semua perlengkapan buat susu Afkar, bawa ke kamar semua. Terus buat makan siang, aku akan minta Bi Narti yang bawa ke kamar aja." Mas Arsya mencoba menenangkanku. Sungguh, aku takut dan khawatir sekarang. Apalagi, kondisiku belum seratus persen pulih dari flu kemarin. Masih sedikit pilek. Afkar juga pasti bosan di kamar terus. Saat siang, aku biasanya mengajak bocah itu bermain di ruang tengah sambil menonton televisi. Aku pun menurut dengan perintah Mas Arsya untuk tidak keluar dari kamar. Laki-laki berkulit sawo matang itu juga terus mengirim pesan untukku setiap satu jam atau saat dia longgar. Hingga tengah hari, aku merasa semua baik-baik saja karena tidak ada suara mencurigakan