Di rumah sebesar ini, aku kembali kesepian. Mas Arsya sibuk dengan pekerjaan dan Ibu sudah pulang ke Jogja. Beliau bilang kalau kangen dengan Ayah dan tidak tega membayangkan Ayah yang sendirian di rumah. Aku sebenarnya tidak rela Ibu pulang, tapi kembali lagi alasan jika Ayah tidak ada teman menjadikanku melepas kepergian beliau ke tanah kelahiran. "Masmu jarang pulang, Nak. Ibu kasihan sama Ayah. Nggak ada yang masakin juga. Di sini, kamu sudah ada Afkar dan suamimu sangat perhatian. Ibu sudah lega karena melihat kamu bahagia." Begitu perkataan Ibu saat memberitahuku keinginannya untuk pulang kampung. Memang benar aku sudah bahagia dengan Mas Arsya dan Afkar, tapi nyatanya ada yang hilang dari hidupku. Ibu tidak ada gantinya sama sekali oleh apa pun dan siapa pun. Aku sudah sangat merindukan beliau meskipun baru sekitar lima hari tidak melihat sosok cantik itu. Aku mulai menyibukkan diri saat Afkar tidur. Entah membereskan kamar, menyapu, bahkan mengepel lantai. Tidak peduli jik
"Pinjem handphone-mu!" pinta Mas Arsya tiba-tiba saat baru saja pulang bekerja. Wajahnya tampak tegang. Hari Sabtu ini memang dia izin untuk ke kantor sampai jam makan siang. Padahal, dia sudah janji untuk mengajakku ke spa. "Ada apa, sih, Mas? Tumben pengen pinjen handphone-ku?" Aku yang baru saja menidurkan Afkar, sontak mengerutkan kening. Tidak biasanya Mas Arsya bersikap seperti itu Suaranya pun terdengar tidak bersahabat. Apa aku sudah melakukan kesalahan? Entahlah? "Mana handphone-mu?" desaknya dengan nada datar, tapi memaksa. Aku pun segera mencari ponsel. Ah, aku lupa pula meletakkan benda itu di mana. Di kasur, bawah bantal, nakas, laci nakas, meja rias, di semua tempat itu tidak ada. "Loh, handphone-ku di mana, ya, Mas? Kok, nggak ada?" Aku sedikit bingung karena ponsel dengan wallpaper wajah Afkar itu belum ketemu juga. "Jangan pura-pura. Cepet bawa sini!" ucapnya ketus. Mas Arsya tampak menahan marah. "Nggak ada, Mas. Aku—""Mulai pandai berbohong kamu, Nda?" Mas A
Aku terus bersin-bersin sejak bangun tidur pagi ini. Aku sepertinya mengalami flu. Memang sejak kemarin, aku sudah merasa kurang nyaman di kerongkongan. Rupanya, pertanda aku akan terkena flu. Untuk urusan Afkar, kuserahkan sepenuhnya kepada Mas Arsya karena tidak ingin anak itu tertular. Namun, aku juga meminta tolong kepada Bi Narti untuk mengawasi. Mas Arsya tidak bisa diandalkan saat Afkar buang air. Aku pun berpindah ke kamar atas dan berusaha untuk istirahat setelah minum obat. Namun, gelisah justru membuat kedua mata enggan memejam. Aku waswas dengan cara Mas Arsya menjaga Afkar. "Sayang demamnya tinggi banget," ucap Mas Arsya saat baru saja menarik termometer dari ketiakku. "Sampe tiga sembilan koma lima ini. Kita ke dokter saja, ya. Obat flu biasa takutnya nggak mempan." Mas Arsya lantas memegangi keningku. Dia juga tampak khawatir. "Nggak usah, nanti juga sembuh kalau buat istirahat. Mas fokus aja sama Afkar. Aku nggak pa-pa," jawabku sembari menaikkan selimut. Aku kedin
"Aku takut ketemu Mbak Eni sama Pak Jamal, Mas. Di rumah cuma ada Bi Narti. Gimana kalau mereka mulai macem-macem," keluhku saat Mas Arsya akan pergi bekerja. "Di rumah sudah dipasang CCTV. Sayang nggak usah takut. Nanti, aku bakal awasin terus dari tempat kerja. Sayang nggak usah keluar-keluar kamar. Semua perlengkapan buat susu Afkar, bawa ke kamar semua. Terus buat makan siang, aku akan minta Bi Narti yang bawa ke kamar aja." Mas Arsya mencoba menenangkanku. Sungguh, aku takut dan khawatir sekarang. Apalagi, kondisiku belum seratus persen pulih dari flu kemarin. Masih sedikit pilek. Afkar juga pasti bosan di kamar terus. Saat siang, aku biasanya mengajak bocah itu bermain di ruang tengah sambil menonton televisi. Aku pun menurut dengan perintah Mas Arsya untuk tidak keluar dari kamar. Laki-laki berkulit sawo matang itu juga terus mengirim pesan untukku setiap satu jam atau saat dia longgar. Hingga tengah hari, aku merasa semua baik-baik saja karena tidak ada suara mencurigakan
Hasil penyelidikan pihak berwajib, orang-orang yang ditangkap kemarin itu tidak ada satu pun yang membuka mulut tentang siapa yang menjadi dalang. Namun, pelacakan Edo tentang orang yang membajak nomor Whatsapp-ku sudah ditemukan dan mau mengakui jika yang memerintah adalah perempuan. Dan kalian tahu siapa itu? Sheren orangnya. Mas Arsya dan Edo menduga jika perempuan itu tidak terima jika semua kerja sama dengan perusahaannya digantikan oleh perusahaan Pak Zaidan. Ya, persaingan bisnis memang sekejam itu. Bahkan, cara kriminal pun ditempuh. Mas Arsya juga mengira jika dalang penyerangan kemarin adalah Sheren. "Lalu, apa Sheren akan keseret hukum, Mas?" tanyaku penasaran. "Dia punya uang, Sayang. Kemungkinan, dia lolos." Mas Arsya menerangkan dengan nada biasa saja. "Ah, enak, ya, Mas, kalau orang berduit dan punya kuasa. Apa-apa bisa diselesaikan pakai uang," selorohku kesal. Rasanya tidak terima jika orang jahat tidak menerima hukuman dari yang dilakukan. "Jangan kaget. Aku sek
Pak Jamal bersimpuh di lantai dengan Mbak Eni di sampingnya. Satpam itu mengiba, meminta belas kasihan serta maaf untuk sang istri kepadaku dan Mas Arsya. Rupanya, perempuan berusia empat puluh tahunan itu menghilang saat lima orang laki-laki yang menyerang rumah ini datang. Dia mengendap-endap menghindari pantauan CCTV depan rumah. Itu sebabnya keberadaannya tidak terendus. Mbak Eni mengaku disuruh oleh perempuan cantik dan seksi untuk mengambil ponselku hanya untuk mengetahui nomorku. Mas Arsya langsung menebak satu nama, Sheren. "Aku harus ketemu sama Adam. Aku yakin Adam bukan orang jahat. Semua pasti hanya akal-akalan Sheren dan dia hanya menggunakan Adam sebagai alat." Mas Arsya terlihat sangat geram. Tangan kanannya mengepal dan sempat meninju sisi sofa. Mas Arsya pun memutuskan untuk memberhentikan Mbak Eni, tapi masih mempertahankan Pak Jamal. Satpam itu tidak terlibat dan dia juga menjadi korban saat kejadian penyerangan itu. Jadi, Mas Arsya masih mempertimbangkan. Mulai
Bahagia tentu saja melihat Mas Danu akhirnya mendapatkan tempat melabuhkan hati. Kakak terbaik di dunia versiku memang pantas mendapatkan gadis sebaik Kaniya. Mereka seharusnya cocok jika sudah saling mencintai. Paling tidak, aku tahu cinta Kaniya untuk Mas Danu. Gadis itu pasti bisa meluluhkan Mas Danu secepatnya. Aku dan Mas Arsya ingin pamit, tapi Mas Danu melarang. Dia mungkin masih sungkan dengan keluarga baru karena malam ini harus menginap di rumah sang istri. Namun, rupanya keluarga Kaniya yang lain pun melarang kami pergi. Kata mereka, ini sudah malam dan kasihan dengan Afkar. Aku pun menunggu keputusan Mas Arsya. Dia pasti akan memilih opsi terbaik. Lagi pula, ada Damar juga. Di mana dia akan tidur? "Kami akan menginap di hotel saja, Pak, Bu," ucap Mas Arsya kemudian. "Kalau begitu, boleh titip anak saya? Kalau di rumah, mereka mungkin akan malu-malu. Bawa Kaniya dan suaminya ke hotel. Biar mereka bisa lebih dekat dan segera memberi saya cucu." Ayah Kaniya berucap sangat
"Ehm, maaf, Bu Manda ... boleh saya tanya sesuatu?" Damar membuka obrolan. Mungkin dia jenuh juga menyetir dan butuh teman bicara. "Eh, iya, Mas Damar. Mau tanya apa? Silakan saja," jawabku ramah. Beberapa saat, Damar justru terdiam. Namun, dia lantas bertanya lagi. "Apa Bu Manda berasal dari Jogja?""Memangnya kenapa?" Aku balik bertanya. "Nggak apa-apa, Bu. Cuma Bu Amanda seperti teman saya waktu SMA. Namanya Amanda juga, tapi kami beda kelas. Awalnya, saya ragu, tapi sejak lihat Mas Andar, saya yakin kalau saya nggak salah orang," ucap Damar ragu-ragu. Mas Andar? Dia kenal Mas Danu dengan sebutan Andar? Hanya teman sekolah Mas Danu yang memanggil kakakku dengan nama itu. Lalu, siapa Damar? Aku tidak bisa mengingatnya. "Bu Amanda mungkin lupa sama saya. Kita memang nggak kenal dekat, cuma saya tahu Bu Amanda." Damar menjelaskan. Aku masih mencoba mengingat-ingat. Sepertinya, memang aku cukup familier dengan nama Damar. "Damar yang pernah maju olimpiade Fisika bareng aku, bukan