Bahagia tentu saja melihat Mas Danu akhirnya mendapatkan tempat melabuhkan hati. Kakak terbaik di dunia versiku memang pantas mendapatkan gadis sebaik Kaniya. Mereka seharusnya cocok jika sudah saling mencintai. Paling tidak, aku tahu cinta Kaniya untuk Mas Danu. Gadis itu pasti bisa meluluhkan Mas Danu secepatnya. Aku dan Mas Arsya ingin pamit, tapi Mas Danu melarang. Dia mungkin masih sungkan dengan keluarga baru karena malam ini harus menginap di rumah sang istri. Namun, rupanya keluarga Kaniya yang lain pun melarang kami pergi. Kata mereka, ini sudah malam dan kasihan dengan Afkar. Aku pun menunggu keputusan Mas Arsya. Dia pasti akan memilih opsi terbaik. Lagi pula, ada Damar juga. Di mana dia akan tidur? "Kami akan menginap di hotel saja, Pak, Bu," ucap Mas Arsya kemudian. "Kalau begitu, boleh titip anak saya? Kalau di rumah, mereka mungkin akan malu-malu. Bawa Kaniya dan suaminya ke hotel. Biar mereka bisa lebih dekat dan segera memberi saya cucu." Ayah Kaniya berucap sangat
"Ehm, maaf, Bu Manda ... boleh saya tanya sesuatu?" Damar membuka obrolan. Mungkin dia jenuh juga menyetir dan butuh teman bicara. "Eh, iya, Mas Damar. Mau tanya apa? Silakan saja," jawabku ramah. Beberapa saat, Damar justru terdiam. Namun, dia lantas bertanya lagi. "Apa Bu Manda berasal dari Jogja?""Memangnya kenapa?" Aku balik bertanya. "Nggak apa-apa, Bu. Cuma Bu Amanda seperti teman saya waktu SMA. Namanya Amanda juga, tapi kami beda kelas. Awalnya, saya ragu, tapi sejak lihat Mas Andar, saya yakin kalau saya nggak salah orang," ucap Damar ragu-ragu. Mas Andar? Dia kenal Mas Danu dengan sebutan Andar? Hanya teman sekolah Mas Danu yang memanggil kakakku dengan nama itu. Lalu, siapa Damar? Aku tidak bisa mengingatnya. "Bu Amanda mungkin lupa sama saya. Kita memang nggak kenal dekat, cuma saya tahu Bu Amanda." Damar menjelaskan. Aku masih mencoba mengingat-ingat. Sepertinya, memang aku cukup familier dengan nama Damar. "Damar yang pernah maju olimpiade Fisika bareng aku, bukan
"Maunya Sayang gimana? Sayang minta aku untuk terima tawaran Papa. Lalu, saat aku terima, Sayang nggak ikhlas karena ada Fahira. Setelah itu, nama aku alihkan ke Sayang dan Sayang nggak mau kerja sama dengan Fahira. Aku harus gimana? Sepertinya, semua opsi salah di mata Sayang." Mas Arsya seperti sebisa mungkin menahan emosi. Dia pasti sudah tahu bagaimana akhirnya jika meluapkan marah kepadaku. "Aku nggak tahu." Aku pun mulai terisak. Sangat perih rasanya jika harus berhubungan dengan mantan istri suamiku. Itu seperti menggores lagi luka yang baru saja mengering. Aku tidak munafik karena memang rasanya sesakit itu. Meskipun Mas Arsya sudah mencintaiku, hati ini tidak bisa berbohong untuk baik-baik saja. Apalagi, aku mengetahui rahasia itu karena tidak sengaja dan dari mulut perempuan itu, bukan dari awal sebelum menikah dengan Mas Arsya. Aku yang baper, aku yang lebay, dan aku yang egois. Mungkin julukan itu memang tepat untukku. Cemburu ini membutakan dan membuat semua yang berka
Aku tidak bisa bebas bergerak karena kaki yang sempat cedera. Meskipun gips sudah dilepas, aku masih belum bisa berjalan normal dan masih harus pelan-pelan. Pun, untuk menggendong Afkar, masih dilarang oleh dokter, apalagi Mas Arsya. Padahal, sudah dua pekan dari kejadian jatuh itu. Tersiksa? Pasti iya. Aku rindu bisa bercanda bebas dengan Afkar, juga melayani Mas Arsya saat akan berangkat dan pulang kerja. Melihat Mas Arsya yang akhir-akhir ini melakukan semuanya sendiri, aku seperti istri yang tidak ada gunanya. Untuk masalah dengan Fahira, aku akan pikirkan ulang bagaimana cara akan berdamai dengan orang itu. Bagaimanapun, dia adalah saudara tiri Mas Arsya, yang berarti iparku juga. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Afkar masih tidur dengan Mama Astri di lantai atas. Semuanya masih takut jika anak itu tidur denganku, yang ada malah insiden terjadi lagi karena kaki yang belum pulih sempurna.Aku duduk selonjoran di tempat tidur sambil menyilangkan kedua tangan di depa
Hari pernikahan Mas Danu dan Kaniya pun tiba. Aku merasa sangat bahagia sekarang. Kakak dan sahabatku akhirnya benar-benar bisa bersatu dan hanya senyum mereka yang ingin kulihat seterusnya. Keduanya orang baik dan dijodohkan dengan sangat baik oleh Sang Pencipta. Ballroom sebuah hotel bintang lima tertata sangat megah dengan dekorasi dominan bunga lili putih. Yang kutahu, itu memang bunga kesukaan Kaniya sejak kecil. Mas Danu bahkan menyiapkan semuanya dengan sempurna. Setelah usai akad nikah ulang di depan penghulu dan wakil dari KUA setempat, acara memang dipindahkan ke hotel untuk resepsi. Banyak tamu undangan yang datang karena rupanya, nama Mas Danu sudah dikenal banyak orang, terutama pelanggan EO miliknya. Kebanyakan pula para tamu itu dari kalangan menengah ke atas. Semua tetangga di rumah pun diundang tak pandang bulu. Mas Danu memang sangat low profile orangnya, sehingga banyak yang belum tahu kalau kakakku itu sudah menjadi pengusaha sukses. "Aku minta maaf, ya," ucap M
Aku mengeratkan pelukan pada laki-laki di samping. Pagi di Puncak rasanya sangat dingin. Bahkan, tanpa AC pun, hawanya sudah melebihi menggunakan AC saat di rumah. Bergemul selimut memang sangat nyaman untuk sekarang. Namun, bunyi alarm ponsel membuatku harus memaksakan diri untuk bangkit. "Sayang mau ke mana? Dingin ini." Mas Arsya kembali menarik tanganku saat baru saja akan duduk. Dia juga mengeratkan pelukan hingga aku kesulitan bergerak. "Udah masuk waktu subuh ini, Mas. Nanti, ketiduran lagi kalau aku ikut rebahan," sanggahku sambil sedikit memberontak. Namun, tidak membuahkan hasil. "Sebentar lagi, Sayang. Masih pewe," ucapnya manja. Ah, tidak ada gunanya melawan. Tenagaku jelas kalah total dengannya. Aku pun meniup-niup wajah yang masih memejam di hadapan dengan harapan bisa lepas dari jeratan suami. Namun, Mas Arsya justru memajukan wajah dan tampak bibirnya dimonyongkan. Aih, seperti bebek yang mau nyosor makanan! Aku menahan tawa sambil sebisa mungkin menjauhkan kepala
Aku sedikit bingung dengan datang bulan kali ini. Saat aku buang air sore hari, bekas darah di pembalut hanya sedikit. Padahal, aku yakin tadi keluar darah cukup banyak saat mandi. Apa maksudnya? Lagi pula, tubuh juga lemas seperti sedang anemia dan pinggang masih terasa nyeri. Pun keram di bagian perut bawah seperti biasanya saat sedang haid. Kepalaku kembali pusing saat memikirkan itu. Apa aku sakit? Namun, sakit apa? Mungkin saat Mas Arsya pulang nanti, aku akan minta diantar untuk periksa selagi Mama Astri dan Papa Farhan akan menginap. Jadi, aku bisa meninggalkan Afkar dengan oma dan opanya. Aku tidak ingin sakit. Aku tidak ingin selalu merepotkan orang lain. Tepat saat aku keluar dari kamar mandi, Mas Arsya sudah berada dalam kamar. Dia sepertinya baru saja pulang. Saat aku memanggil, dia langsung menoleh dan mendekat. Disentuhnya keningku, lalu dia berkata, "Iya, sekarang agak demam. Sayang tadi nggak ngapa-ngapain lagi, 'kan? Gendong-gendong Afkar, nggak?"Aku menggeleng se
Setelah satu pekan aku bedrest total, hari ini aku memberanikan diri keluar dari kamar. Rasa rindu dengan Afkar membuatku tidak betah terus berbaring saja. Meskipun Mas Arsya atau Mama selalu membawa Afkar menemuiku saat anak itu terbangun, tetap saja kurang puas. Aku dikejutkan dengan kedatangan Ibu dan Ayah yang tiba-tiba. Namun, ternyata tidak hanya mereka. Ada juga Mas Danu dan Kaniya yang mengikuti. Empat orang yang kusayangi itu tersenyum lebar melihatku dan Afkar yang sedang bermain di ruang tengah. Gegas aku berdiri untuk menghampiri mereka. Namun, kepala terasa pusing dan berputar-putar saat akan melangkah. Kedua tangan refleks memegang sandaran sofa. "Kamu kenapa, Nda?" Mas Danu sudah ada di samping sambil memegangi kedua lenganku. "Mas Danu kayak Ninja Hatori aja, cepet banget jalannya," kataku mengalihkan perhatian. "Malah bahas Ninja Hatori, sih? Kamu sakit?" sahutnya sedikit kesal. "Manda kenapa, Nak? Iya, wajahmu pucet, Nak. Suamimu mana?" Ibu ikut-ikutan cemas ja