Aku tidak bisa bebas bergerak karena kaki yang sempat cedera. Meskipun gips sudah dilepas, aku masih belum bisa berjalan normal dan masih harus pelan-pelan. Pun, untuk menggendong Afkar, masih dilarang oleh dokter, apalagi Mas Arsya. Padahal, sudah dua pekan dari kejadian jatuh itu. Tersiksa? Pasti iya. Aku rindu bisa bercanda bebas dengan Afkar, juga melayani Mas Arsya saat akan berangkat dan pulang kerja. Melihat Mas Arsya yang akhir-akhir ini melakukan semuanya sendiri, aku seperti istri yang tidak ada gunanya. Untuk masalah dengan Fahira, aku akan pikirkan ulang bagaimana cara akan berdamai dengan orang itu. Bagaimanapun, dia adalah saudara tiri Mas Arsya, yang berarti iparku juga. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Afkar masih tidur dengan Mama Astri di lantai atas. Semuanya masih takut jika anak itu tidur denganku, yang ada malah insiden terjadi lagi karena kaki yang belum pulih sempurna.Aku duduk selonjoran di tempat tidur sambil menyilangkan kedua tangan di depa
Hari pernikahan Mas Danu dan Kaniya pun tiba. Aku merasa sangat bahagia sekarang. Kakak dan sahabatku akhirnya benar-benar bisa bersatu dan hanya senyum mereka yang ingin kulihat seterusnya. Keduanya orang baik dan dijodohkan dengan sangat baik oleh Sang Pencipta. Ballroom sebuah hotel bintang lima tertata sangat megah dengan dekorasi dominan bunga lili putih. Yang kutahu, itu memang bunga kesukaan Kaniya sejak kecil. Mas Danu bahkan menyiapkan semuanya dengan sempurna. Setelah usai akad nikah ulang di depan penghulu dan wakil dari KUA setempat, acara memang dipindahkan ke hotel untuk resepsi. Banyak tamu undangan yang datang karena rupanya, nama Mas Danu sudah dikenal banyak orang, terutama pelanggan EO miliknya. Kebanyakan pula para tamu itu dari kalangan menengah ke atas. Semua tetangga di rumah pun diundang tak pandang bulu. Mas Danu memang sangat low profile orangnya, sehingga banyak yang belum tahu kalau kakakku itu sudah menjadi pengusaha sukses. "Aku minta maaf, ya," ucap M
Aku mengeratkan pelukan pada laki-laki di samping. Pagi di Puncak rasanya sangat dingin. Bahkan, tanpa AC pun, hawanya sudah melebihi menggunakan AC saat di rumah. Bergemul selimut memang sangat nyaman untuk sekarang. Namun, bunyi alarm ponsel membuatku harus memaksakan diri untuk bangkit. "Sayang mau ke mana? Dingin ini." Mas Arsya kembali menarik tanganku saat baru saja akan duduk. Dia juga mengeratkan pelukan hingga aku kesulitan bergerak. "Udah masuk waktu subuh ini, Mas. Nanti, ketiduran lagi kalau aku ikut rebahan," sanggahku sambil sedikit memberontak. Namun, tidak membuahkan hasil. "Sebentar lagi, Sayang. Masih pewe," ucapnya manja. Ah, tidak ada gunanya melawan. Tenagaku jelas kalah total dengannya. Aku pun meniup-niup wajah yang masih memejam di hadapan dengan harapan bisa lepas dari jeratan suami. Namun, Mas Arsya justru memajukan wajah dan tampak bibirnya dimonyongkan. Aih, seperti bebek yang mau nyosor makanan! Aku menahan tawa sambil sebisa mungkin menjauhkan kepala
Aku sedikit bingung dengan datang bulan kali ini. Saat aku buang air sore hari, bekas darah di pembalut hanya sedikit. Padahal, aku yakin tadi keluar darah cukup banyak saat mandi. Apa maksudnya? Lagi pula, tubuh juga lemas seperti sedang anemia dan pinggang masih terasa nyeri. Pun keram di bagian perut bawah seperti biasanya saat sedang haid. Kepalaku kembali pusing saat memikirkan itu. Apa aku sakit? Namun, sakit apa? Mungkin saat Mas Arsya pulang nanti, aku akan minta diantar untuk periksa selagi Mama Astri dan Papa Farhan akan menginap. Jadi, aku bisa meninggalkan Afkar dengan oma dan opanya. Aku tidak ingin sakit. Aku tidak ingin selalu merepotkan orang lain. Tepat saat aku keluar dari kamar mandi, Mas Arsya sudah berada dalam kamar. Dia sepertinya baru saja pulang. Saat aku memanggil, dia langsung menoleh dan mendekat. Disentuhnya keningku, lalu dia berkata, "Iya, sekarang agak demam. Sayang tadi nggak ngapa-ngapain lagi, 'kan? Gendong-gendong Afkar, nggak?"Aku menggeleng se
Setelah satu pekan aku bedrest total, hari ini aku memberanikan diri keluar dari kamar. Rasa rindu dengan Afkar membuatku tidak betah terus berbaring saja. Meskipun Mas Arsya atau Mama selalu membawa Afkar menemuiku saat anak itu terbangun, tetap saja kurang puas. Aku dikejutkan dengan kedatangan Ibu dan Ayah yang tiba-tiba. Namun, ternyata tidak hanya mereka. Ada juga Mas Danu dan Kaniya yang mengikuti. Empat orang yang kusayangi itu tersenyum lebar melihatku dan Afkar yang sedang bermain di ruang tengah. Gegas aku berdiri untuk menghampiri mereka. Namun, kepala terasa pusing dan berputar-putar saat akan melangkah. Kedua tangan refleks memegang sandaran sofa. "Kamu kenapa, Nda?" Mas Danu sudah ada di samping sambil memegangi kedua lenganku. "Mas Danu kayak Ninja Hatori aja, cepet banget jalannya," kataku mengalihkan perhatian. "Malah bahas Ninja Hatori, sih? Kamu sakit?" sahutnya sedikit kesal. "Manda kenapa, Nak? Iya, wajahmu pucet, Nak. Suamimu mana?" Ibu ikut-ikutan cemas ja
Mas Danu, Ayah, dan Ibu kembali tanpa Kaniya. Saat kutanya, Mas Danu menjawab jika Kaniya ingin tinggal di Bandung beberapa hari lagi sehingga tidak ikut. Sementara kakakku itu harus mengantar Ayah dan Ibu kemari dulu. Apalagi, Mas Arsya hanya punya satu mobil. Jadi, dia tidak enak juga jika meminjam terlalu lama. Sebenarnya, berulang kali Mas Arsya bilang akan membeli mobil baru untukku, tapi selalu kutolak. Untuk apa tambah mobil kalau tidak pernah digunakan? Jadi, Mas Arsya pun tidak memaksa. Lagi pula, mobilnya sudah baru, hasil tukar-tambah dari mobil lamanya yang sering mogok. "Mas Danu langsung mau balik ke Bandung? Aku pesenin taksi," tawar Mas Arsya. Mas Danu memang masih di kamarku setelah memberikan kunci mobil kepada Mas Arsya. Sementara Ayah dan Ibu sudah pamit keluar untuk menengok Afkar yang sedang bersama Mbak Resti di kamar atas. "Aku di sini dulu, deh. Capek habis nyetir. Nanti, aku bisa pesen taksi sendiri." Mas Danu yang masih berdiri itu, kini memandangku deng
Ketakutanku saat tengah malam masih saja berlanjut. Namun, mimpi yang kualami sama sekali tidak bisa diingat. Untuk kali ini, aku membangunkan Mas Arsya karena suasana hati sangat tidak baik. Apalagi sejak setelah mendengar cerita dari Mas Danu. Itu masih saja membuat tanya. Meskipun kakakku itu sudah pergi siang tadi untuk menyusul Kaniya, nyatanya bayangannya masih melintas di benak. Aku merasa seperti akan ada hal buruk yang terjadi. Mas Arsya sudah terbangun dan dia langsung menyalakan lampu utama kamar ini sehingga suasana menjadi benderang. Aku pun langsung memeluknya sambil berusaka menenangkan diri. Detak jantung yang terpacu begitu cepat bersamaan dengan napas yang memburu, membuat keringat bercucuran meskipun AC kamar ini menyala. "Sayang kenapa?" Mas Arsya mengeratkan pelukan. "Aku takut, Mas. Aku takut ...." Hanya itu yang bisa kuucapkan. Namun, apa sebab ketakutan itu, aku juga tidak tahu. "Ada aku di sini. Jangan takut," ucapnya menenangkan.Setelah cukup tenang, ak
Aku ingin sekali ke Jogja untuk sekadar menjenguk dan memberi support untuk Mas Danu dan Kaniya, tapi kondisiku tidak memungkinkan untuk pergi. Mas Arsya juga sudah memberiku penjelasan agar tidak terlalu khawatir. Semua terjawab sudah. Ketakutanku setiap malam memang ada hubungannya dengan Kaniya. Aku tiba-tiba saja bisa mengingat apa yang terjadi dalam mimpi itu. Aku melihat Kaniya yang berlari kencang di jalan dalam keadaan gulita dan ada satu laki-laki yang mengejarnya. Namun, aku hanya bisa menjadi penonton dan entah kenapa tidak bisa menolong sama sekali. Aku hanya berharap, Mas Danu dan Kaniya bisa hidup bahagia setelah ini. Mungkin, aku tidak perlu menghubungi mereka karena hanya akan membuat hati Mas Danu terbagi. Biarlah mereka menyelesaikan masalah bersama dan akan membuat cinta mereka tumbuh bersama dengan berjalannya waktu. "Salat Magrib dulu, yuk! Sayang harus ingat, nggak boleh stress." Mas Arsya meraih tanganku dan kami berjalan bersama masuk ke rumah. Afkar juga s