Aku sangat kesal karena pagi ini, Mas Arsya susah sekali dibangunkan. Sejak tidur lagi selepas salat Subuh, dia seperti beruang yang sedang hibernasi. Padahal, sebelumnya dia tidak pernah seperti itu. Sedikit aneh memang. Entah tidur jam berapa dia semalam. Yang kutahu, Mas Arsya masih berkutat dengan laptop di sampingku saat jam di dinding sudah menunjuk pukul sepuluh malam. "Mas, bangun, dong! Anterin aku beli sayur!" seruku sambil mengguncang lengannya. "Masih ngantuk, Sayang. Sebentar lagi, ya." Setelah berucap, dia menutupkan bantal ke telinga. Menyebalkan, bukan? Aku pun memilih pergi sendiri dan meninggalkan pesan di aplikasi Whatsapp. Namun, semoga saja dia belum bangun sampai aku kembali. Lagi pula, aku hanya pergi sebentar ke warung penjual sayur di luar kompleks karena satu bahan yang aku cari stoknya kosong di kulkas. Ya, terpaksa aku pergi sendiri karena Bi Narti belum pulang dari pengajian Ahad pagi. Sementara Mbak Resti, masih sibuk mengurus Afkar. Untuk menyuruh sat
Waterboom terdekat dengan rumah menjadi tujuan Mas Arsya mengajakku dan Afkar. Suasananya cukup ramai di hari Ahad, tapi bisa kulihat Afkar yang sangat senang. Dua laki-laki beda usia itu berenang dengan tawa yang sangat lebar. Di usia Afkar yang masuk bulan kesepuluh, anak itu sudah terlihat cukup besar. Bahkan, dia sudah mulai belajar berjalan tanpa berpegangan. "Bunda!" Mas Arsya mencipratkan air ke arahku yang hanya duduk di tepian kolam. Tak apalah basah karena aku tidak berani masuk ke air kecuali hanya kaki. Aku masih ingat betul saat hamil Afkar dulu yang tiba-tiba justru terjadi kontraksi palsu. Di sini pun, aku bisa leluasa mengabadikan moment ayah dan anak di ponsel. Cukup lama kami tidak menghabiskan waktu bersama di luar rumah. Mas Arsya tampak mendorong pelampung bebek yang dinaiki Afkar mendekatiku. Tangan anak itu sesekali berkecipak di air sambil dia tertawa riang. "Seneng, ya, Nak?" kataku sembari menjawil pipi gembulnya saat sudah dekat. "Sayang sudah capek apa
Sudah dua hari ini aku menginap di vila karena Mas Arsya memaksa agar aku ikut menghadiri acara pembukaan resort esok hari. Selain itu, dia juga ingin memperkenalkanku kepada semua karyawan sebagai istrinya. Memang, selama ini, aku belum pernah sekali pun menunjukkan diri di perusahaannya. Ini juga salah satu rencananya sebagai hadiah ulang tahun untuk Afkar. Kali ini, Mbak Resti juga ikut karena kami memang membutuhkan bantuannya untuk menjaga Afkar yang sudah sangat aktif. Anak itu selalu berlarian tak kenal waktu saat membuka mata. Siang ini, Mas Arsya pergi ke resort bersama Damar. Katanya, ada pertemuan sesama pemilik resort di sekitaran Puncak juga. Entah akan membahas apa, aku juga tidak paham. Aku sedikit jenuh kalau sendirian seperti ini. Apalagi, Afkar sedang tidur bersama Mbak Resti di kamar lain. Bi Leha dan Mang Diki juga masih terlalu sungkan kuajak mengobrol. Mereka memilih menyibukkan diri dengan pekerjaan masing-masing. Aku akhirnya menyibukkan diri dengan bersela
PoV ArsyaAku sangat teledor saat menjaga Manda. Setelah turun dari panggung, aku masih menggandeng tangannya. Namun, entah sejak kapan, dia sudah tidak ada di samping saat aku sudah selesai mengobrol dengan beberapa kolega bisnis. Aku pun mencari keberadaannya, mungkin saja dia ke toilet, tapi dia tidak ada. Aku kemudian mencarinya ke luar, mungkin bersama Afkar, tapi dia juga tidak ada bersama putra kami. Ada ketakutan yang tiba-tiba datang. Saat mengedarkan pandangan, aku mendapati Manda bersama seorang laki-laki di belakangnya dan dia seperti dipaksa untuk masuk ke mobil hitam. "Manda!" Aku sontak berlari, tapi mobil yang membawa Manda langsung tancap gas. "Mar, ambil mobil! Mbak Resti, jaga Afkar dan mendekat ke petugas keamanan!" teriakku, kemudian berusaha mengejar mobil yang membawa Manda. Tak lama, sebuah mobil pun berhenti setelah beberapa kali membunyikan klakson. Itu mobilku dan Damar ada di dalamnya. "Belok kiri, Mar. Cepat!" Aku harus berpacu dengan waktu. Jangan sa
Drama. Mungkin banyak orang mengira kisahku mirip dengan drama sinetron yang membosankan. Namun, semua yang terjadi adalah suatu ketetapan takdir yang harus dijalani tanpa mengeluh. Lelah? Mungkin iya, tapi aku tidak bisa berhenti, bukan? Semua pasti bisa terlewati jika dihadapi bersama-sama. Aku sangat tidak paham kenapa bisa Tedi Bagaskara menjadi dalang penculikanku. Kami sudah lama tidak bertemu dan yang kutahu, dia dulu melanjutkan kuliah di luar Jogja. Ya, lagi-lagi takdir yang menentukan arah angin, bukan? Aku cukup merasakan embusannya dan berusaha bertahan jika angin pelan berubah menjadi badai. Tedi? Dia memang sempat menyatakan perasaan lebih dari satu kali. Setelah kuingat-ingat lagi, dia pertama kali melakukan itu saat kami masih duduk di bangku kelas satu SMA. Saat itu, tentu Mas Danu masih bersekolah di tempat yang sama denganku, tapi sudah menginjak kelas tiga. Semua siswa-siswi di sekolah sangat paham bagaimana Mas Danu menjagaku. Hampir tidak ada laki-laki yang b
PoV ArsyaAku memerintahkan kepada semua satpam rumah untuk memperketat penjagaan dan tidak memberi izin bertamu selain keluarga saat aku tidak di rumah. Pun dengan kiriman paket atau makanan, tidak boleh dibawa masuk sebelum diperiksa isinya. Aku tidak mau kecolongan lagi. Untuk kali ini, ada Danu, tapi dia bilang akan menginap dua hari saja. Kedatangannya secara tiba-tiba itu hanya untuk melihat kondisi Manda. Dia juga akan membantu mencari tahu tentang Tedi Bagaskara di sekitaran Jogja. Untuk daerah Puncak dan sekitar, pihak berwajib sudah dikerahkan. Pagi ini, saat aku akan berangkat bekerja, Manda tampak sangat lesu. Dia seperti tidak mau melepasku pergi. Namun, setelah beberapa nasihat kuberikan, dia pun menurut. Perempuan itu terlalu perasa dan berpikir terlalu jauh.Sampai di kantor, aku langsung mendapat laporan mengenai resort dari Kenan, manager operasional yang kutugaskan mengelola resort. Dia sengaja datang ke kantor Bekasi untuk menemuiku karena katanya ada orang yang
PoV ArsyaSelagi masih ada Danu, aku akan memintanya menemani ke Jakarta. Aku tidak ingin ada orang lain tahu jika Manda sementara akan menginap di rumah Mama dan Papa, termasuk Bi Narti, Damar, dan semua satpam. Jika aku sendiri, takut jika sewaktu-waktu ada yang mengadang di jalan dan malah membahayakan Manda dan Afkar. Tanpa memberitahu tujuan, aku meminta Manda menata beberapa pakaian. Juga Mbak Resti yang kuminta menyiapkan semua keperluan Afkar. Ini demi kebaikan, sehingga akan lebih baik jika sedikit yang tahu. Untuk Mbak Resti, aku akan mewanti-wantinya untuk tidak menghubungi siapa pun nantinya sebelum keberadaan Tedi diketahui. "Mas kenapa pake rahasia lagi? Jawab dulu," desak Manda. "Kalau aku bilang, namanya bukan kejutan, Sayang." Kutangkup wajahnya dengan kedua tangan. "Mas gitu, sih? Aku padahal lagi males pergi-pergi. Masih takut." Ekspresi Manda terlihat menyimpan kekhawatiran. "Ada aku sama Danu. Nggak akan terjadi apa-apa," kataku lagi, mencoba menenangkan. Ma
PoV ArsyaAku baru ingat kalau ponselku tadi jatuh di mobil saat kaca yang tiba pecah. Pasti Mama kebingungan karena aku belum memberi kabar juga. Ini sudah sekitar satu jam dari kejadian tadi. Kupinjam ponsel Damar untuk menghubungi Mama. Namun, sampai beberapa kali panggilan, tidak juga diangkat. Mungkin Mama tidak berani mengangkatnya karena pasti di ponsel beliau terlihat panggilan dari nomor baru. Akhirnya, kukirim pesan terlebih dahulu. Setelah itu, suara perempuan pun menyapa dan mencerocos panjang. "Arsya nggak pa-pa, Ma. Cuma luka sedikit. Manda lagi apa?" Aku mengalihkan pembicaraan. "Manda lagi tidur. Kalau urusan sudah selesai, cepat pulang," jawab Mama. Namun, aku merasa kalau ada yang sedang beliau sembunyikan. "Nggak ada yang Mama tutupi dari Arsya, kan? Mama tahu kalau aku—""Cepat pulang saja!" Mama menyela dengan cepat. Kemudian, dia memutuskan panggilan telepon secara sepihak. Sudah jelas, pasti ada yang Mama sembunyikan, tapi apa? Aku menjadi makin tidak tenan