PoV ArsyaAku sangat teledor saat menjaga Manda. Setelah turun dari panggung, aku masih menggandeng tangannya. Namun, entah sejak kapan, dia sudah tidak ada di samping saat aku sudah selesai mengobrol dengan beberapa kolega bisnis. Aku pun mencari keberadaannya, mungkin saja dia ke toilet, tapi dia tidak ada. Aku kemudian mencarinya ke luar, mungkin bersama Afkar, tapi dia juga tidak ada bersama putra kami. Ada ketakutan yang tiba-tiba datang. Saat mengedarkan pandangan, aku mendapati Manda bersama seorang laki-laki di belakangnya dan dia seperti dipaksa untuk masuk ke mobil hitam. "Manda!" Aku sontak berlari, tapi mobil yang membawa Manda langsung tancap gas. "Mar, ambil mobil! Mbak Resti, jaga Afkar dan mendekat ke petugas keamanan!" teriakku, kemudian berusaha mengejar mobil yang membawa Manda. Tak lama, sebuah mobil pun berhenti setelah beberapa kali membunyikan klakson. Itu mobilku dan Damar ada di dalamnya. "Belok kiri, Mar. Cepat!" Aku harus berpacu dengan waktu. Jangan sa
Drama. Mungkin banyak orang mengira kisahku mirip dengan drama sinetron yang membosankan. Namun, semua yang terjadi adalah suatu ketetapan takdir yang harus dijalani tanpa mengeluh. Lelah? Mungkin iya, tapi aku tidak bisa berhenti, bukan? Semua pasti bisa terlewati jika dihadapi bersama-sama. Aku sangat tidak paham kenapa bisa Tedi Bagaskara menjadi dalang penculikanku. Kami sudah lama tidak bertemu dan yang kutahu, dia dulu melanjutkan kuliah di luar Jogja. Ya, lagi-lagi takdir yang menentukan arah angin, bukan? Aku cukup merasakan embusannya dan berusaha bertahan jika angin pelan berubah menjadi badai. Tedi? Dia memang sempat menyatakan perasaan lebih dari satu kali. Setelah kuingat-ingat lagi, dia pertama kali melakukan itu saat kami masih duduk di bangku kelas satu SMA. Saat itu, tentu Mas Danu masih bersekolah di tempat yang sama denganku, tapi sudah menginjak kelas tiga. Semua siswa-siswi di sekolah sangat paham bagaimana Mas Danu menjagaku. Hampir tidak ada laki-laki yang b
PoV ArsyaAku memerintahkan kepada semua satpam rumah untuk memperketat penjagaan dan tidak memberi izin bertamu selain keluarga saat aku tidak di rumah. Pun dengan kiriman paket atau makanan, tidak boleh dibawa masuk sebelum diperiksa isinya. Aku tidak mau kecolongan lagi. Untuk kali ini, ada Danu, tapi dia bilang akan menginap dua hari saja. Kedatangannya secara tiba-tiba itu hanya untuk melihat kondisi Manda. Dia juga akan membantu mencari tahu tentang Tedi Bagaskara di sekitaran Jogja. Untuk daerah Puncak dan sekitar, pihak berwajib sudah dikerahkan. Pagi ini, saat aku akan berangkat bekerja, Manda tampak sangat lesu. Dia seperti tidak mau melepasku pergi. Namun, setelah beberapa nasihat kuberikan, dia pun menurut. Perempuan itu terlalu perasa dan berpikir terlalu jauh.Sampai di kantor, aku langsung mendapat laporan mengenai resort dari Kenan, manager operasional yang kutugaskan mengelola resort. Dia sengaja datang ke kantor Bekasi untuk menemuiku karena katanya ada orang yang
PoV ArsyaSelagi masih ada Danu, aku akan memintanya menemani ke Jakarta. Aku tidak ingin ada orang lain tahu jika Manda sementara akan menginap di rumah Mama dan Papa, termasuk Bi Narti, Damar, dan semua satpam. Jika aku sendiri, takut jika sewaktu-waktu ada yang mengadang di jalan dan malah membahayakan Manda dan Afkar. Tanpa memberitahu tujuan, aku meminta Manda menata beberapa pakaian. Juga Mbak Resti yang kuminta menyiapkan semua keperluan Afkar. Ini demi kebaikan, sehingga akan lebih baik jika sedikit yang tahu. Untuk Mbak Resti, aku akan mewanti-wantinya untuk tidak menghubungi siapa pun nantinya sebelum keberadaan Tedi diketahui. "Mas kenapa pake rahasia lagi? Jawab dulu," desak Manda. "Kalau aku bilang, namanya bukan kejutan, Sayang." Kutangkup wajahnya dengan kedua tangan. "Mas gitu, sih? Aku padahal lagi males pergi-pergi. Masih takut." Ekspresi Manda terlihat menyimpan kekhawatiran. "Ada aku sama Danu. Nggak akan terjadi apa-apa," kataku lagi, mencoba menenangkan. Ma
PoV ArsyaAku baru ingat kalau ponselku tadi jatuh di mobil saat kaca yang tiba pecah. Pasti Mama kebingungan karena aku belum memberi kabar juga. Ini sudah sekitar satu jam dari kejadian tadi. Kupinjam ponsel Damar untuk menghubungi Mama. Namun, sampai beberapa kali panggilan, tidak juga diangkat. Mungkin Mama tidak berani mengangkatnya karena pasti di ponsel beliau terlihat panggilan dari nomor baru. Akhirnya, kukirim pesan terlebih dahulu. Setelah itu, suara perempuan pun menyapa dan mencerocos panjang. "Arsya nggak pa-pa, Ma. Cuma luka sedikit. Manda lagi apa?" Aku mengalihkan pembicaraan. "Manda lagi tidur. Kalau urusan sudah selesai, cepat pulang," jawab Mama. Namun, aku merasa kalau ada yang sedang beliau sembunyikan. "Nggak ada yang Mama tutupi dari Arsya, kan? Mama tahu kalau aku—""Cepat pulang saja!" Mama menyela dengan cepat. Kemudian, dia memutuskan panggilan telepon secara sepihak. Sudah jelas, pasti ada yang Mama sembunyikan, tapi apa? Aku menjadi makin tidak tenan
PoV Arsya"Bapak mau ke mana? Apa sudah membuat janji?" tanya seseorang yang dari nickname tertulis Gusti Pradana. Dia mengadangku saat akan masuk ke kantor Cahaya Properties. Sepertinya, dia petugas keamanan di sini. "Saya belum membuat janji, tapi saya ingin bertemu dengan Bu Raras, pemilik perusahaan ini," kataku setenang mungkin. "Maaf, Pak. Bu Raras sudah memberikan perintah untuk tidak memperbolehkan siapa pun masuk, kecuali yang sudah membuat janji." Laki-laki berseragam hitam itu masih melarang. "Katakan saja, Pak Arsya ingin bertemu." Aku menegaskan nada bicara. Laki-laki berkumis tipis itu lalu merogoh saku celana dan mengeluarkan ponsel. Sepertinya dia akan menelepon seseorang. Aku tidak berniat menguping dan memilih mengobrol dengan Damar. Dia sementara akan merangkap pekerjaan, termasuk menggantikan Elma, dan menjadi asisten pribadiku. Petugas yang berjaga di pintu masuk kantor Cahaya Properties itu akhirnya menyuruhku masuk setelah meminta maaf beberapa kali. Dia j
PoV ArsyaBaru saja, Manda berteriak histeris dan membuatku terbangun dari tidur dengan jantung yang berdetak tak keruan. Dia tampak sangat ketakutan dan langsung memelukku sangat erat. Napasnya terdengar memburu dan tak lama kemudian terdengar isakan pelan. Sementara, kubiarkan dia tenang dalam pelukan. Kalaupun aku bertanya, dia pasti belum bisa menjawab. "Mas Arsya jangan pergi-pergi lagi," ucapnya sangat pelan. Dari ucapannya, aku tahu kalau Manda mungkin terbawa mimpi dengan kejadian akhir-akhir ini. Aku sangat tidak tega melihatnya seperti itu. "Aku di sini, Sayang. Tenanglah." Kuusap lembut kepalanya. Aku tidak bisa berjanji kepadanya untuk tinggal karena memang banyak yang harus diselesaikan di luar rumah. Pekerjaan sedang menanti dan masalah demi masalah karena Tedi sangat menguras pikiran. Serangan darinya belum bisa diselesaikan. Pelukan dari Manda mulai renggang dan dia kemudian menatapku dengan sorot yang sangat sendu. "Aku nggak mau kehilangan Mas Arsya. Aku takut .
PoV ArsyaDua hari sudah, aku hanya terbaring di tempat tidur. Tubuh menggigil dan perut yang sangat tidak nyaman membuatku sulit untuk menerima makanan sehingga tubuh terasa makin lemas saja. Untungnya ada Manda yang merawatku dengan sangat telaten. Dia sama sekali tidak meninggalkanku. Ternyata, aku bisa tumbang juga. "Mas sarapan dulu, ya." Manda sudah siap dengan satu piring bubur di tangan. Meskipun sebenarnya malas makan, aku tidak pernah bisa menolak saat Manda akan menyuapi. Aku tidak ingin menambah kekhawatirannya dan ingin lekas sembuh. Lagi pula, saat melihat senyumnya, makanan yang rasanya hambar, bisa begitu nikmat. Lagi pula, aku memang harus mengisi lambung setelah setengah jam yang lalu minum obat yang dianjurkan sebelum makan. "Aku sempet mikir. Apa lebih baik Mas Arsya sakit aja kayak gini biar nggak bisa ke mana-mana? Tapi, aku pikir-pikir lagi, nggak enak kalau Mas di rumah dan nggak bisa ngapa-ngapain. Bahkan, cium aku aja jarang banget sekarang." Tiba-tiba, Ma