Mas Danu, Ayah, dan Ibu kembali tanpa Kaniya. Saat kutanya, Mas Danu menjawab jika Kaniya ingin tinggal di Bandung beberapa hari lagi sehingga tidak ikut. Sementara kakakku itu harus mengantar Ayah dan Ibu kemari dulu. Apalagi, Mas Arsya hanya punya satu mobil. Jadi, dia tidak enak juga jika meminjam terlalu lama. Sebenarnya, berulang kali Mas Arsya bilang akan membeli mobil baru untukku, tapi selalu kutolak. Untuk apa tambah mobil kalau tidak pernah digunakan? Jadi, Mas Arsya pun tidak memaksa. Lagi pula, mobilnya sudah baru, hasil tukar-tambah dari mobil lamanya yang sering mogok. "Mas Danu langsung mau balik ke Bandung? Aku pesenin taksi," tawar Mas Arsya. Mas Danu memang masih di kamarku setelah memberikan kunci mobil kepada Mas Arsya. Sementara Ayah dan Ibu sudah pamit keluar untuk menengok Afkar yang sedang bersama Mbak Resti di kamar atas. "Aku di sini dulu, deh. Capek habis nyetir. Nanti, aku bisa pesen taksi sendiri." Mas Danu yang masih berdiri itu, kini memandangku deng
Ketakutanku saat tengah malam masih saja berlanjut. Namun, mimpi yang kualami sama sekali tidak bisa diingat. Untuk kali ini, aku membangunkan Mas Arsya karena suasana hati sangat tidak baik. Apalagi sejak setelah mendengar cerita dari Mas Danu. Itu masih saja membuat tanya. Meskipun kakakku itu sudah pergi siang tadi untuk menyusul Kaniya, nyatanya bayangannya masih melintas di benak. Aku merasa seperti akan ada hal buruk yang terjadi. Mas Arsya sudah terbangun dan dia langsung menyalakan lampu utama kamar ini sehingga suasana menjadi benderang. Aku pun langsung memeluknya sambil berusaka menenangkan diri. Detak jantung yang terpacu begitu cepat bersamaan dengan napas yang memburu, membuat keringat bercucuran meskipun AC kamar ini menyala. "Sayang kenapa?" Mas Arsya mengeratkan pelukan. "Aku takut, Mas. Aku takut ...." Hanya itu yang bisa kuucapkan. Namun, apa sebab ketakutan itu, aku juga tidak tahu. "Ada aku di sini. Jangan takut," ucapnya menenangkan.Setelah cukup tenang, ak
Aku ingin sekali ke Jogja untuk sekadar menjenguk dan memberi support untuk Mas Danu dan Kaniya, tapi kondisiku tidak memungkinkan untuk pergi. Mas Arsya juga sudah memberiku penjelasan agar tidak terlalu khawatir. Semua terjawab sudah. Ketakutanku setiap malam memang ada hubungannya dengan Kaniya. Aku tiba-tiba saja bisa mengingat apa yang terjadi dalam mimpi itu. Aku melihat Kaniya yang berlari kencang di jalan dalam keadaan gulita dan ada satu laki-laki yang mengejarnya. Namun, aku hanya bisa menjadi penonton dan entah kenapa tidak bisa menolong sama sekali. Aku hanya berharap, Mas Danu dan Kaniya bisa hidup bahagia setelah ini. Mungkin, aku tidak perlu menghubungi mereka karena hanya akan membuat hati Mas Danu terbagi. Biarlah mereka menyelesaikan masalah bersama dan akan membuat cinta mereka tumbuh bersama dengan berjalannya waktu. "Salat Magrib dulu, yuk! Sayang harus ingat, nggak boleh stress." Mas Arsya meraih tanganku dan kami berjalan bersama masuk ke rumah. Afkar juga s
Aku sangat kesal karena pagi ini, Mas Arsya susah sekali dibangunkan. Sejak tidur lagi selepas salat Subuh, dia seperti beruang yang sedang hibernasi. Padahal, sebelumnya dia tidak pernah seperti itu. Sedikit aneh memang. Entah tidur jam berapa dia semalam. Yang kutahu, Mas Arsya masih berkutat dengan laptop di sampingku saat jam di dinding sudah menunjuk pukul sepuluh malam. "Mas, bangun, dong! Anterin aku beli sayur!" seruku sambil mengguncang lengannya. "Masih ngantuk, Sayang. Sebentar lagi, ya." Setelah berucap, dia menutupkan bantal ke telinga. Menyebalkan, bukan? Aku pun memilih pergi sendiri dan meninggalkan pesan di aplikasi Whatsapp. Namun, semoga saja dia belum bangun sampai aku kembali. Lagi pula, aku hanya pergi sebentar ke warung penjual sayur di luar kompleks karena satu bahan yang aku cari stoknya kosong di kulkas. Ya, terpaksa aku pergi sendiri karena Bi Narti belum pulang dari pengajian Ahad pagi. Sementara Mbak Resti, masih sibuk mengurus Afkar. Untuk menyuruh sat
Waterboom terdekat dengan rumah menjadi tujuan Mas Arsya mengajakku dan Afkar. Suasananya cukup ramai di hari Ahad, tapi bisa kulihat Afkar yang sangat senang. Dua laki-laki beda usia itu berenang dengan tawa yang sangat lebar. Di usia Afkar yang masuk bulan kesepuluh, anak itu sudah terlihat cukup besar. Bahkan, dia sudah mulai belajar berjalan tanpa berpegangan. "Bunda!" Mas Arsya mencipratkan air ke arahku yang hanya duduk di tepian kolam. Tak apalah basah karena aku tidak berani masuk ke air kecuali hanya kaki. Aku masih ingat betul saat hamil Afkar dulu yang tiba-tiba justru terjadi kontraksi palsu. Di sini pun, aku bisa leluasa mengabadikan moment ayah dan anak di ponsel. Cukup lama kami tidak menghabiskan waktu bersama di luar rumah. Mas Arsya tampak mendorong pelampung bebek yang dinaiki Afkar mendekatiku. Tangan anak itu sesekali berkecipak di air sambil dia tertawa riang. "Seneng, ya, Nak?" kataku sembari menjawil pipi gembulnya saat sudah dekat. "Sayang sudah capek apa
Sudah dua hari ini aku menginap di vila karena Mas Arsya memaksa agar aku ikut menghadiri acara pembukaan resort esok hari. Selain itu, dia juga ingin memperkenalkanku kepada semua karyawan sebagai istrinya. Memang, selama ini, aku belum pernah sekali pun menunjukkan diri di perusahaannya. Ini juga salah satu rencananya sebagai hadiah ulang tahun untuk Afkar. Kali ini, Mbak Resti juga ikut karena kami memang membutuhkan bantuannya untuk menjaga Afkar yang sudah sangat aktif. Anak itu selalu berlarian tak kenal waktu saat membuka mata. Siang ini, Mas Arsya pergi ke resort bersama Damar. Katanya, ada pertemuan sesama pemilik resort di sekitaran Puncak juga. Entah akan membahas apa, aku juga tidak paham. Aku sedikit jenuh kalau sendirian seperti ini. Apalagi, Afkar sedang tidur bersama Mbak Resti di kamar lain. Bi Leha dan Mang Diki juga masih terlalu sungkan kuajak mengobrol. Mereka memilih menyibukkan diri dengan pekerjaan masing-masing. Aku akhirnya menyibukkan diri dengan bersela
PoV ArsyaAku sangat teledor saat menjaga Manda. Setelah turun dari panggung, aku masih menggandeng tangannya. Namun, entah sejak kapan, dia sudah tidak ada di samping saat aku sudah selesai mengobrol dengan beberapa kolega bisnis. Aku pun mencari keberadaannya, mungkin saja dia ke toilet, tapi dia tidak ada. Aku kemudian mencarinya ke luar, mungkin bersama Afkar, tapi dia juga tidak ada bersama putra kami. Ada ketakutan yang tiba-tiba datang. Saat mengedarkan pandangan, aku mendapati Manda bersama seorang laki-laki di belakangnya dan dia seperti dipaksa untuk masuk ke mobil hitam. "Manda!" Aku sontak berlari, tapi mobil yang membawa Manda langsung tancap gas. "Mar, ambil mobil! Mbak Resti, jaga Afkar dan mendekat ke petugas keamanan!" teriakku, kemudian berusaha mengejar mobil yang membawa Manda. Tak lama, sebuah mobil pun berhenti setelah beberapa kali membunyikan klakson. Itu mobilku dan Damar ada di dalamnya. "Belok kiri, Mar. Cepat!" Aku harus berpacu dengan waktu. Jangan sa
Drama. Mungkin banyak orang mengira kisahku mirip dengan drama sinetron yang membosankan. Namun, semua yang terjadi adalah suatu ketetapan takdir yang harus dijalani tanpa mengeluh. Lelah? Mungkin iya, tapi aku tidak bisa berhenti, bukan? Semua pasti bisa terlewati jika dihadapi bersama-sama. Aku sangat tidak paham kenapa bisa Tedi Bagaskara menjadi dalang penculikanku. Kami sudah lama tidak bertemu dan yang kutahu, dia dulu melanjutkan kuliah di luar Jogja. Ya, lagi-lagi takdir yang menentukan arah angin, bukan? Aku cukup merasakan embusannya dan berusaha bertahan jika angin pelan berubah menjadi badai. Tedi? Dia memang sempat menyatakan perasaan lebih dari satu kali. Setelah kuingat-ingat lagi, dia pertama kali melakukan itu saat kami masih duduk di bangku kelas satu SMA. Saat itu, tentu Mas Danu masih bersekolah di tempat yang sama denganku, tapi sudah menginjak kelas tiga. Semua siswa-siswi di sekolah sangat paham bagaimana Mas Danu menjagaku. Hampir tidak ada laki-laki yang b