Sofia terpekur di meja belajar. Laptop di hadapannya masih menampilkan surat resmi dari sebuah universitas terkemuka di Jepang, menyampaikan bahwa Sofia diterima sebagai mahasiswa baru jenjang S2 dengan beasiswa penuh. Orang tua Sofia belum mengetahui kabar bahagia tersebut. Mereka masih sibuk menyiapkan beberapa hal sebab keesokan harinya sudah berangkat ke tanah suci untuk melaksanakan ibadah umroh sekeluarga. Tadinya Sofia hendak berdoa di depan Ka’bah agar bisa diterima, tapi ternyata Tuhan menjawab doanya lebih cepat.Gadis itu senang, teramat senang. Namun, kenyataan bahwa nantinya dia harus berpisah dengan Adam untuk sementara waktu menghantui pikirannya.“Mas, kalau aku diterima sekolah di Jepang, Mas Adam berkenan mempercepat tanggal pernikahan dan ikut aku ke sana?” tanyanya pada suatu ketika.“Papa saya sudah tidak ada, Sof. Kalau saya pergi, apalagi ke luar negeri, siapa yang akan menjaga Mama saya?” jawab Adam.Dia mengaku merasa berat jika harus berjauhan dengan Bu Ami.
Adam dilanda dilema. Berbagai pertimbangan menyerbu pikirannya. Dia ingin sekali memberi jawaban saat itu juga. Selain agar semuanya bisa segera lebih jelas, dia juga tidak ingin membuat Sofia menunggu lebih lama. Sofia berhak hidup bahagia dan mempersiapkan keberangkatan umrohnya dengan lebih khusyuk.Masalahnya, Adam benar-benar tidak tahu harus menjawab apa. Jika bicara soal cinta, dia memang belum memiliki perasaan apa-apa terhadap gadis itu. Sofia pun tahu. Namun, Adam juga tidak setega itu untuk menolaknya.“Dengar, Mas. Aku memang ingin bersama dengan Mas Adam, tapi aku enggak mau egois. Kalau ditolak, yah, aku pasti akan sedih. Tapi lebih sedih mana coba dibanding menjalani pernikahan seumur hidup dengan seseorang yang tidak mencintaiku?”Adam bisa merasakan ketegaran dan kepasrahan dari nada bicara gadis itu. Sebagai laki-laki yang usianya tujuh tahun lebih tua, Adam sungguh malu. Pemikiran Sofia lebih dewasa sedangkan dirinya tidak lebih dari seorang pengecut.“Sebentar, ya,
Sabrina tersedak saat makan ketika melihat unggahan terbaru Sofia di Instagram. Pada foto yang diunggah delapan menit yang lalu itu, Adam dan Bu Ami tampak akrab berfoto bersama keluarga besar Sofia. Keramaian Bandara Soekarno Hatta menjadi latar belakang foto orang-orang yang memakai seragam batik tersebut. Gadis itu membubuhkan caption, “Yang selalu disemogakan (emoji love) Bismillah, lancar semuanya.”Alifa menepuk-nepuk punggung Sabrina kemudian menyodorkan segelas air putih. Dengan ekspresi datar, gadis cilik itu mengingatkan sang ibu.“Makanya, kalau lagi makan jangan sambil main HP. Lagian Mama lihat apa, sih, sampai batuk begitu?”Sabrina merasa tertohok oleh celetukan anaknya. Dalam hati dia menggerutu kepada dirinya sendiri. Coba kalau dia tidak main ponsel, pasti hatinya akan baik-baik saja.Tak bisa dimungkiri, Sabrina merasa iri atas kelapangan rezeki yang dimiliki oleh keluarga Sofia. Mereka terlihat begitu mudah berangkat umroh sekeluarga menggunakan jasa travel kenamaa
Venny, seorang kenalan Sabrina dari kursus menjahit, kini telah menjadi distributor mesin jahit untuk pabrik garmen dan konveksi. Dia sering update status dan story tentang produk keluaran terbaru. Sekali waktu, Sabrina penasaran dan mengajaknya mengobrol. Perempuan berusia kepala tiga itu mengirimi gambar mesin jahit rumahan model terbaru. Kata Venny, mesin itu menggunakan teknologi yang lebih canggih sehingga lebih mudah digunakan dan hemat waktu, tetapi harganya masih tergolong ekonomis. Sabrina ingin sekali menabung untuk membeli produk tersebut.Pesanan jahit dan vermak sebenarnya terbilang stabil, ada saja yang masuk setiap hari Namun, Sabrina sering mengalami kendala. Pesanan jahit tidak bisa diselesaikan dalam waktu cepat sebab mesin jahit yang ada di rumahnya kini sudah usang. Ada saja bagian yang butuh diperbaiki sehingga tidak semua pesanan bisa dikebut.Sabrina juga pernah melihat produk serupa dari iklan Facebook dan Instagram. Awalnya dia ragu, masak dengan harga segit
Sabrina mematung ketika bertemu pandang dengan seseorang yang memanggilnya di parkiran warung bakso. Orang itu tersenyum lebar kemudian berjalan lenggak-lenggok untuk menghampiri Sabrina.“Temanmu, Sab?” tanya Venny.“Mantan tetanggaku, Mbak.” Sabrina menjawab tanpa menoleh, tanpa berkedip.Aroma wangi yang memusingkan langsung memenuhi indra penciuman begitu Miskah tiba di hadapan Sabrina. Wanita yang rambutnya bergelombang itu melepas kacamata lalu menyematkannya di atas kepala.“Halo, Mbak Janda. Lama enggak ketemu,” sapa Miskah dengan nada mengejek. Dia berdadah-dadah sambil menggerakkan jemari. Seolah-olah ingin menunjukkan kepada lawan bicara bahwa ada sebuah cincin berhias permata rubi di jari manisnya.“Kirain hidupmu udah enak setelah belagak sombong menolak lamaran orang. Ternyata masih gini-gini aja.”Miskah tertawa melengking. Sabrina menutup telinganya dengan telunjuk. Venny langsung merasa tidak nyaman mendengar ucapan Miskah. Dia tidak bisa berdiam diri melihat temannya
Alifa membawa pulang balon dan berbagai snack setelah menampilkan pertunjukan baca puisi di sekolah. Banyak yang terharu setelah mengetahui bahwa puisi yang dia bacakan adalah buatan ibunya sendiri dan berkisah tentang ayahnya yang sudah tiada. Beberapa orang tua memberinya hadiah sebagai apresiasi ada keberanian dan ketegarannya. Tidak sedikit pula yang merekam momen itu dan membagikannya di media sosial.Sabrina menganggap itu sebagai sebuah berkah. Tidak punya suami bukanlah hal yang memalukan. Dia sungguh berharap, orang-orang itu berbuat baik bukan atas dasar kasihan. Dengan tersebarnya video Alifa di media sosial, Sabrina ingin menunjukkan bahwa anak yatim pun bisa tumbuh dengan baik dan tidak kekurangan kasih sayang.“Halo, Alifa cantik!” seru Kayla saat keduanya memasuki rumah.“Loh, kok ke sini enggak bilang-bilang, Kay?” Sabrina cukup terkejut dengan kedatangan gadis itu. “Udah lama nunggunya?”“Belum, Mbak, baru sekitar sepuluh menit.”Sabrina meletakkan tas Alifa di lantai
Gadis cantik berhidung mancung itu duduk termangu di depan hotel tempatnya menginap. Bias-bias cahaya yang menghiasi keindahan langit sore Turki tetap tidak mampu mengobati kerinduannya pada Indonesia. Matanya hanya mengamati lalu lalang turis dan penduduk lokal yang asyik mengobrol bersama keluarga atau sahabat. Di satu sudut hatinya, ada ruang kosong yag terasa hampa."Andaikan Mas Adam ikut ke sini," gumamnya pelan.Sofia terlonjak ketika sebuah tangan memegang bahu kanannya. Ketika menoleh, dia mendapati sang nenek sedang tersenyum hangat."Cucu Nenek yang paling cantik lagi mikirin apa?" Bu Rum yang merupakan nenek Sofia lantas duduk di sebelahnya."Eh ... Emm, bbukan apa-apa, kok, Nek." Sofia tersenyum kikuk. Jelas sekali dia sedang menyembunyikan sesuatu."Barusan Nenek dengar nama Adam disebut. Tua-tua gini pendengaran Nenek masih bagus, lho."Sofia terkekeh. Memang susah mau main rahasia-rahasiaan dengan orang yang telah merawatnya saat masih kecil."Kalian lagi berantem?"Pe
Adam berinisiatif mengajak Bu Ami untuk menjemput Sofia sekeluarga di Bandara. Meski belum ada benih-benih cinta di hatinya, dia berharap semoga usaha itu membuatnya jadi terbiasa.Dia tidak mau menikah hanya karena dorongan orang tua sebab sudah cukup umur. Sebisa mungkin, dia ingin menjadikan pernikahan itu sebagai salah satu ikhtiarnya membangun rumah tangga sakinah hingga ke surga."Mama seneng karena kamu akhirnya mau buka hati buat Sofia, Dam," ucap Bu Ami. Senyum tak lekang dari bibirnya yang dipulas lipstik warna nude."Insyaa Allah, ini yang terbaik, Ma.""Aamiin. Kamu bawa sesuatu untuk dikasih ke Sofia?"Adam terkekeh. "Ma, yang baru pulang dari safar itu mereka. Mestinya mereka yang bawain kita oleh-oleh.""Ya bawain bunga, kek. Atau apa gitu. Ih, kamu mah nggak romantis pisan!""Loh, itu lebih aneh lagi. Sejak kapan ada orang pulang umroh dikasih bunga? Sofia habis ibadah, Ma, bukan wisudaan." Adam sampai tertawa terpingkal-pingkal.Mulut di Ami komat-kamit karena mengger