Aku pun memutuskan memakai pengacara keluarga Ibu Indri, pengacara yang aku sewa rekomendasi Nadia belum juga ada kabar kejelasannya. Aku juga sudah memberikan berkas dan bukti perselingkuhan Mas Aksa. Semoga proses perceraian bisa cepat selesai.Mas Aksa tidak akan dapat harta gono-gini karena semua harta yang aku punya milik orang tuaku tidak termasuk ke dalam pembagian harta gono-gini. Sebenarnya bisa saja aku menuntut hak, sebab selama ini suamiku tidak memberikan nafkah layak selama kami menikah.Bersyukur aku belum memiliki anak dari Mas Aksa. Mungkin ini juga teguran untuk Mas Aksa karena telah menelantarkan anak dari wanita di masa lalunya. Sudah seminggu aku hidup tenang, aku juga sudah bilang ke Security perumahan agar melarang Mas Aksa dan keluarganya masuk ke dalam kompleks perumahan. Menurut Laras, Mas Aksa beberapa kali ke resto mencariku. Ibu Indri juga mengatakan suamiku sudah tidak lagi bekerja karena sudah di pecat. Aku yakin Mas Aksa dan keluarganya tidak akan dia
"Maaf, aku tidak bisa membantu kamu, Mas. Sebentar lagi kita akan jadi mantan, tunggu saja surat sidang pertama perceraian kita," tegasku."Bagus, Mbak Aira. Pria mokondo seperti itu harus dibuang." Tiba-tiba pengunjung disebelahku menyindir Mas Aksa. Kebanyakan pengunjung resto anak muda yang sedang nongkrong, karena menu resto tidak hanya ayam bakar madu saja tapi merambat menu yang sedang digandrungi anak muda.Suara riuh dan sorak dari pengunjung membuat wajah Mas Aksa memerah menahan malu, salah sendiri kenapa dia berlutut seperti itu."Ai, kita bisa perbaiki semuanya. Kamu masih mencintai mas, kan, Sayang," ucapnya tanpa memperdulikan omongan sumbang pengunjung resto.Tawaku seketika pecah. Cinta, dia bilang aku masih mencintainya? Hanya wanita bodoh setelah dikhianati masih mencintai suaminya. "Mas, jangan geer. Cintaku sudah terkikis saat kamu membawa Selena ke rumah. Jadi, jangan pernah mengatakan cinta," ujarku kesal."Huuuh! Mamam, tuh, cinta," celetuk seseorang dari belak
Kuluncurkan mobil menembus jalanan yang padat merayap. Selena duduk di bangku belakang sembari memangku kepala sang ayah. Wanita itu terus menangis melihat cinta pertamanya tidak merespon ucapan putrinya.Aku menyuruh Laras ikut denganku. Resto sementara di handle Roni. "Mbak, memangnya apa yang terjadi?" tanya Laras pelan."Ini semua karena bos kamu ingin membunuh papaku," sahut Selena lantang di jok belakang.Laras nampak kaget, aku yakin dia pasti berpikir apa yang dikatakan Selena benar."Nanti aku ceritakan, kamu jangan dengar omongan iblis di belakang," sahutku kesal. Laras menutup mulutnya, dia tidak berani bertanya lagi. Semoga Laras tidak terpengaruh dengan omongan Selena.Sebenarnya sisi jahatku mengatakan ingin menurunkan mereka di jalan tapi hati nuraniku tidak tega meninggalkan Pak Raja yang sedang bertarung nyawa. Masalahku dengan putrinya tidak boleh disangkut pautkan, anggap saja demi kemanusiaan aku menolong Pak Raja.Kendaraan roda empatku memasuki pelataran rumah
Setelah mempertimbangkan matang-matang, akhirnya aku mau menemui Mas Aksa. Ratu begitu bahagia karena aku mau menemui kakaknya. Kedatanganku kesana juga untuk menyampaikan salam perpisahan karena sebentar lagi kami akan menjadi mantan.Selama di mobil Ratu hanya diam, netranya terus menatap keluar kaca jendela mobil."Ratu, sebenarnya apa yang terjadi?" tanyaku memecah keheningan."Kami sudah jatuh miskin, Mbak. Semuanya tidak tersisa, sungguh aku menyesal sudah jahat dengan Mbak Aira," jawabnya tanpa mengalihkan pandangan menatap keluar jendela mobil."Syukurlah, kalau kalian sudah menyesali apa yang kalian lakukan. Oh, iya, Ratu. Mbak pernah melihat ibu di lampu merah depan sana," ucapku.Ratu mengalihkan pandangan menatapku kaget. "Mbak Aira, melihat ibu di lampu merah?" tanya Ratu balik bertanya."Iya, dua hari yang lalu. Ibu ada di sana." Aku menunjuk trotoar di samping lampu merah."Kami sedang mencari ibu, Mbak. Sudah tiga hari ibu meninggalkan kontrakan, ibu tidak terima karen
Pertengkaran pun tidak bisa terelakan. Ratu dan Selena tidak mau mengalah sampai seorang satpam rumah sakit menegur mereka karena sudah membuat keributan. Sengaja aku tidak menengahi mereka, aku hanya ingin melihat sampai mana mereka saling menyalahkan. "Sebaiknya kalian keluar," usir Pak Satpam karena mereka mengindahkan teguran untuk tidak membuat keributan."Suruh dia saja keluar, Pak. Aku mau di sini menunggu kakakku," timpal Ratu."Aku tidak akan pergi, di dalam sana suamiku, Pak," potong Selena.Pak Satpam terlihat pusing melihat Ratu dan Selena tidak mau mengalah. Aku meninggalkan mereka saat pintu ruang unit gawat darurat terbuka."Apa ibu keluarga pasien?" tanya dokter."Iya, Dok. Apa yang terjadi dengan Mas Aksa?" "Pasien harus di rawat karena terkena tipes dan ada masalah di lambungnya," jelas dokter."Lakukan perawatan terbaik, Dok.""Baik, kami akan lakukan yang terbaik untuk penyembuhan pasien."Setelah mengatakan keadaan Mas Aksa, dokter itu kembali masuk ke dalam rua
Dua netraku terbelalak mendengar ucapan Mas Sean. Seperkian detik pandangan kami tertumpu satu sama lain, seakan ada magnet menarikku agar menyelami mata hitamnya."Eheeem, maaf bibik menganggu," ucap Bik Surti seraya tertawa kecil. Aku terlonjak kaget melihat Bik Surti sedang menghidangkan minuman untuk Mas Sean. Cepat kualihkan pandangan kearah depan, menghindari tatapan Mas Sean."Terima kasih, Bik," ucap Mas Sean begitu manis."Sama-sama, Den," balas Bik Surti sembari membungkukkan tubuhnya lalu masuk ke dalam rumah."Di minum, Mas," ucapku."Aku minum, ya, Ai.""Silahkan, Mas."Mas Sean meneguk minuman sampai tandas, sepertinya pria itu sedang kehausan."Minuman ini manis sekali bisa-bisa aku diabetes, Ai," keluhnya sambil menggeleng-gelengkan kepala seraya menatap gelas di tangannya.Aku melirik dengan ekor mataku, melihat gelas di tangan Mas Sean sambil mengerut kening. Dia bilang manis sekali jelas-jelas itu minuman berwarna hitam dan rasanya sedikit pahit. Apa Bik Surti memb
Aku mengikuti Mas Sean karena penasaran dengan keadaan Nadia. Mobil Mas Sean meluncur ke sebuah kantor polisi. Aku menautkan kedua alis tidak mengerti, apa hubungannya Nadia dengan kantor polisi. "Mas, kenapa kita ke kantor polisi?" tanyaku bingung.Mas Sean menghentikan mobilnya di parkiran kantor polisi. "Ayo, kita turun, Ai," ajaknya."Tunggu, memangnya Nadia ada di dalam?" tanyaku lagi. Jujur aku takut terjadi sesuatu dengan Nadia."Iya, dia di dalam. Ayo turun, Ai."Aku menghela napas panjang sebelum turun dari mobil Mas Sean. "Ayo, Mas."Kami berjalan masuk ke kantor polisi, langsung disambut petugas berseragam coklat. Mas Sean berbincang sebentar dengan petugas itu sedangkan aku mengedarkan pandangan mencari keberadaan sahabatku."Ai, ayo. Kamu bisa bicara dengan Nadia," ajak Mas Sean.Aku masih belum mengerti dengan situasi ini, kenapa harus ketemu Nadia di kantor polisi seperti tidak ada tempat lain saja. Dari pada hanya bisa menebak, lebih baik aku mengikuti Mas Sean dianta
Seorang pelayan paruh baya membuka pintu. "Den Sean, sudah di tunggu Non Indri," ucapnya seraya membungkukkan tubuhnya memberi hormat.Mas Sean hanya menganggukkan kepala. "Ayo, Aira," ajaknya. Mas Sean menggengam jemariku kemudian menuntunku ke ruang makan di mana Ibu Indri sudah berkumpul.Sebuah senyum menyambut kedatanganku. "Aira," sapa Ibu Indri. Beliau menghampiriku seraya memelukku penuh sayang. "Apa kabar, Aira?" "Alhamdulillah baik, Bu," balasku. Beliau melepaskan pelukkannya lalu membimbingku menuju meja makan yang di atasnya sudah berisi beberapa masakan yang begitu mengunggah selera."Pa, ini yang nama Aira." Ibu Indri memperkenalkanku ke seorang pria dewasa yang sejak tadi tersenyum kearahku.Aku menjabat tangan suami Ibu Indri. "Kamu yang namanya Aira istri Aksara Wijaya?" tanya Pak Wicaksono."Iya, Pak. Saya istri Mas Aksa tapi sebentar lagi akan jadi mantan istrinya," jawabku sopan."Istri saya sudah cerita masalah kamu, Aira. Saya tidak tahu kalau Aksara melanggar p