Pertengkaran pun tidak bisa terelakan. Ratu dan Selena tidak mau mengalah sampai seorang satpam rumah sakit menegur mereka karena sudah membuat keributan. Sengaja aku tidak menengahi mereka, aku hanya ingin melihat sampai mana mereka saling menyalahkan. "Sebaiknya kalian keluar," usir Pak Satpam karena mereka mengindahkan teguran untuk tidak membuat keributan."Suruh dia saja keluar, Pak. Aku mau di sini menunggu kakakku," timpal Ratu."Aku tidak akan pergi, di dalam sana suamiku, Pak," potong Selena.Pak Satpam terlihat pusing melihat Ratu dan Selena tidak mau mengalah. Aku meninggalkan mereka saat pintu ruang unit gawat darurat terbuka."Apa ibu keluarga pasien?" tanya dokter."Iya, Dok. Apa yang terjadi dengan Mas Aksa?" "Pasien harus di rawat karena terkena tipes dan ada masalah di lambungnya," jelas dokter."Lakukan perawatan terbaik, Dok.""Baik, kami akan lakukan yang terbaik untuk penyembuhan pasien."Setelah mengatakan keadaan Mas Aksa, dokter itu kembali masuk ke dalam rua
Dua netraku terbelalak mendengar ucapan Mas Sean. Seperkian detik pandangan kami tertumpu satu sama lain, seakan ada magnet menarikku agar menyelami mata hitamnya."Eheeem, maaf bibik menganggu," ucap Bik Surti seraya tertawa kecil. Aku terlonjak kaget melihat Bik Surti sedang menghidangkan minuman untuk Mas Sean. Cepat kualihkan pandangan kearah depan, menghindari tatapan Mas Sean."Terima kasih, Bik," ucap Mas Sean begitu manis."Sama-sama, Den," balas Bik Surti sembari membungkukkan tubuhnya lalu masuk ke dalam rumah."Di minum, Mas," ucapku."Aku minum, ya, Ai.""Silahkan, Mas."Mas Sean meneguk minuman sampai tandas, sepertinya pria itu sedang kehausan."Minuman ini manis sekali bisa-bisa aku diabetes, Ai," keluhnya sambil menggeleng-gelengkan kepala seraya menatap gelas di tangannya.Aku melirik dengan ekor mataku, melihat gelas di tangan Mas Sean sambil mengerut kening. Dia bilang manis sekali jelas-jelas itu minuman berwarna hitam dan rasanya sedikit pahit. Apa Bik Surti memb
Aku mengikuti Mas Sean karena penasaran dengan keadaan Nadia. Mobil Mas Sean meluncur ke sebuah kantor polisi. Aku menautkan kedua alis tidak mengerti, apa hubungannya Nadia dengan kantor polisi. "Mas, kenapa kita ke kantor polisi?" tanyaku bingung.Mas Sean menghentikan mobilnya di parkiran kantor polisi. "Ayo, kita turun, Ai," ajaknya."Tunggu, memangnya Nadia ada di dalam?" tanyaku lagi. Jujur aku takut terjadi sesuatu dengan Nadia."Iya, dia di dalam. Ayo turun, Ai."Aku menghela napas panjang sebelum turun dari mobil Mas Sean. "Ayo, Mas."Kami berjalan masuk ke kantor polisi, langsung disambut petugas berseragam coklat. Mas Sean berbincang sebentar dengan petugas itu sedangkan aku mengedarkan pandangan mencari keberadaan sahabatku."Ai, ayo. Kamu bisa bicara dengan Nadia," ajak Mas Sean.Aku masih belum mengerti dengan situasi ini, kenapa harus ketemu Nadia di kantor polisi seperti tidak ada tempat lain saja. Dari pada hanya bisa menebak, lebih baik aku mengikuti Mas Sean dianta
Seorang pelayan paruh baya membuka pintu. "Den Sean, sudah di tunggu Non Indri," ucapnya seraya membungkukkan tubuhnya memberi hormat.Mas Sean hanya menganggukkan kepala. "Ayo, Aira," ajaknya. Mas Sean menggengam jemariku kemudian menuntunku ke ruang makan di mana Ibu Indri sudah berkumpul.Sebuah senyum menyambut kedatanganku. "Aira," sapa Ibu Indri. Beliau menghampiriku seraya memelukku penuh sayang. "Apa kabar, Aira?" "Alhamdulillah baik, Bu," balasku. Beliau melepaskan pelukkannya lalu membimbingku menuju meja makan yang di atasnya sudah berisi beberapa masakan yang begitu mengunggah selera."Pa, ini yang nama Aira." Ibu Indri memperkenalkanku ke seorang pria dewasa yang sejak tadi tersenyum kearahku.Aku menjabat tangan suami Ibu Indri. "Kamu yang namanya Aira istri Aksara Wijaya?" tanya Pak Wicaksono."Iya, Pak. Saya istri Mas Aksa tapi sebentar lagi akan jadi mantan istrinya," jawabku sopan."Istri saya sudah cerita masalah kamu, Aira. Saya tidak tahu kalau Aksara melanggar p
"Aira, gugatan cerai kamu sepertinya akan cepat di kabulkan hakim. Dari bukti yang kuat kamu akan menang, Aksa juga tidak akan dapat harta gono-gini," tutur Ibu Indri."Alhamdulillah," balasku. Seketika beban di dada terasa ringan. "Setelah bercerai apa rencana kamu, Aira? Ibu berharap setelah kamu sendiri, mau menerima Sean," pintanya.Aku diam sejenak, bingung harus menjawab apa. Karena, untuk saat ini aku belum memikirkan untuk menikah lagi. "Kak, aku tidak mau memaksa Aira. Lebih baik kita fokus dulu dengan proses perceraiannya. Jika memang kami berjodoh Aira pasti akan menjadi istriku, Kak," potong Mas Sean. Pria disampingku sepertinya sangat paham dengan situasi yang sedang aku hadapi."Ya sudah. Aira, ibu minta maaf, ya. Ibu terlalu bahagia karena ternyata orang yang selama ini Sean cintai itu adalah kamu. Ibu berharap kalian bisa bersatu, ibu yakin Sean bisa menjaga kamu dan menjadi suami yang baik untuk kamu, Aira," katanya dengan netra berembun. "Kamu wanita baik, seperti
Aku dan Mas Sean berjalan keluar dari ruangan kerjaku, membiarkan Laras beristirahat. Kasihan dia pasti sangat lelah, setelahnya aku akan memberi Laras cuti beberapa hari agar bisa memulihkan tenaganya."Ai, kamu masih ingat dengan perkataanku agar berhati-hati dengan orang terdekat kamu?" tanya Mas Sean.Kuhentikan langkah sejenak, menatap pria disampingku. "Ingat, Mas. Memangnya siapa orang yang mas curigai?" tanyaku penasaran.Mas Sean melihat keadaan sekitar. Kami masih berdiri di lorong antara ruang kerjaku dengan ruangan resto. Lorong ini sepi karena hanya karyawan yang di perbolehkan masuk ke dalam sini."Dia Laras," bisik Mas Sean membuatku sontak menutup mulut karena kaget.Laras? Apa alasan Laras ingin mencelakaiku? Tidak, aku yakin dugaan Mas Sean salah menuduh Laras sebagai dalang orang yang menyuruh preman untuk mencelakaiku."Tidak mungkin Laras, Mas. Kamu pasti salah," ujarku seraya menggeleng kepala tidak percaya.Aku tahu seperti apa Laras, walau papa mengambil Laras
"Sakit." Bergetar suara Selena meringis menahan sakit di bagian perut.Seketika aku teringat, Selena sedang mengandung. Ibu yang tadi bertengkar dengan Selena pun terkejut, saat dari pangkal paha Selena mengalir cairan kental berwarna merah. "Lihat pelakor itu sepertinya pendarahan, apa mungkin dia sedang hamil," celetuk salah satu gadis yang berada di dekat Selena seraya menatap ngeri karena darahnya mengalir sampai ke kaki putihnya."Selena," pekikku. Aku mendekati maduku yang masih duduk terlentang di bawah. "Mas Sean tolong sepertinya Selena pendarahan.""Biarkan saja, itu akibat merebut suami orang. Karmanya kontan." Salah satu ibu berpakaian glamor seperti toko mas berjalan berkata sinis. Walau aku membenci Selena, bayi di dalam perut Selena tidak berdosa. "Ayo, sudah biarkan saja. Lebih baik kita lanjutkan makan." Semua pengunjung resto kembali ketempat duduk mereka masing-masing, rasa empati mereka hilang karena bagi mereka pelakor adalah kejahatan paling kejam yang tidak b
Setelah rambut panjangku terlepas dari cengkraman Ratu. Aku membalikkan tubuh menatap tajam kearah calon mantan adik iparku.'Plak!'Kutampar pipi mulusnya, Ratu menatap kaget kearahku. Satu tangannya mengusap pipi kanannya yang terdapat cap lima jari milikku. Pasti dia tidak menyangka, kakak iparnya yang selama ini hanya diam diperlakukan seperti apapun kini menunjukkan taringnya."Sakit! Seharusnya dari dulu aku menampar kamu. Ingat jangan pernah kamu berani menyentuh bagian tubuhku lagi atau kamu akan menyesal!" ancamku.Gadis cantik itu mengepalkan tangan dengan rahang mengeras. "Aku tidak akan melakukan ini jika Mbak Aira mau membayar biaya rumah sakit Mas Aksa.""Kenapa kamu tidak meminta ke Selena, bukankah dia kakak ipar kebanggaan kamu, Ratu," sahutku sinis. "Mbak Selena tidak mau menanggung biaya rumah sakit Mas Aksa," balasnya.Aku terkekeh kecil. "Selena kemarin mengambil uang ganti rugi resto 50 juta, kamu minta uang itu untuk membayar biaya rumah sakit Mas Aksa," aduku.