TEUNGKU Fiah tertegur saat melihat rumahnya yang tinggal abu. Ia memang sudah mengetahui kondisi itu dari penghubung. Namun melihat kondisi tersebut dengan mata sendiri, tetap saja ia merasa sedih hati.
Dari kejauhan, Teungku Baka terlihat melambai. Lelaki itu hampir seumuran dengannya. Ia memberi isyarat bahwa anak dan istrinya ada di rumahnya. Teungku Fiah mengangguk.
Ia bergegas ke arah Teungku Imum Baka. Ia memeluk lelaki itu.
“Masuklah segera. Aku khawatir ada tentara yang melihatnya nanti,” ujar Teungku Baka. Teungku Baka menunjuk kamar kedua dari pintu.
“Anak dan istrimu ada disana. Beberapa hari ini, mereka selalu menangis mengenang Budi,” kata Teungku Baka lagi.
Saat Teungku Fiah membuka pintu, Sakdiah dan Haidar terlihat saling berpelukan. Mereka tertidur pulas. Istrinya itu terlihat sangat kurus dibandingkan setahun lalu, terakhir ia bersua dengannya. Demikian juga Haidar, anaknya terkecil, yang kini menjadi satu-
SAAT gelap menyelimuti Nicah Awe, beberapa pria bersenjata memasuki rumah Teungku Baka. Mereka adalah anggota pasukan nanggroe bekas didikannya yang kini dikomandoi oleh Mustafa.Teungku Fiah sendiri tak gentar. Ia membiarkan Mustafa masuk untuk menemuinya. Sementara Teungku Baka dan anak-anaknya menjauh ke dapur. Sementara Sakdiah dan Haidar mengurung diri di dalam kamar.Teungku Fiah keluar menemui Mustafa usai salat magrib. Ia siap jika harus dieksekusi karena melanggar peunutoh pimpinan. Namun Mustafa justru memeluknya erat-erat.“Aku mengira teungku telah tiada. Maafkan aku karena membiarkan teungku sendiri,” ujar Mustafa.“Kami diperintahkan oleh pimpinan untuk mencari teungku. Bukan untuk menangkap dan kembali memenjarakan teungku, tapi memastikan keselamatan teungku dan keluarga,” kata Mustafa lagi.Teungku Fiah menarik nafas lega.“Alhamdulillah. Terimakasih Mustafa,” ujarnya kemudian.&ldq
MELEWATI meunasah Nicah Awe, mobil yang disupiri Siwan belok kanan menuju ke arah Panton Labu. Mulut Teungku Fiah terlihat komat kamit membaca doa. Demikian juga dengan Mustafa. Sementara istri Mustafa, Sakdiah dan Haidar mulai tertidur lelap.Baik Teungku Fiah dan Mustafa, sadar bahwa perjalanan ini taklah semulus yang dibayangkan. Mereka khawatir jika ada razia dadakan dari tentara republic. Nyawa mereka dan keluarga jadi taruhan dalam perjalanan nanti.“Teungku tenang saja. Jika ada razia, biar aku yang berbicara nanti,” ujar Siwan menenangkan keduanya.Irwan sendiri tak begitu percaya dengan kalimat yang diucapkannya tersebut. Namun ia mencoba menguatkan hati kedua tentara nanggroe itu.Teungku Fiah tersenyum mendengar penjelasan Siwan. Ia telah berulangkali melewati perjalanan bersama pemuda itu. Berulangkali pula pemuda itu menyelamatkan nyawanya dari situasi yang tak menguntungkan. Kali ini, Teungku Fiah mengharapkan keberuntungan yang
MEMASUKI kawasan Krueng Geukuh, suasana kembali sepi. Hanya beberapa kendaraan roda empat yang melintas. Wajah Irwan terlihat sedikit tegang. Pasalnya, dari informasi yang didapatnya, dari kawasan tersebut hingga Krueng Mane, tentara republic sering menggelar razia kendaraan. “Bismillah,” ujarnya pelan tapi suaranya sampai juga ke telinga Teungku Fiah. “Isya Allah tuhan bersama kita, anakku. Isya Allah aman,” ujar Teungku Fiah tiba-tiba. Mendengar ucapan Teungku Fiah, Irwan justru merasa tak enak hati. Ia seolah menebar ketakutan kepada dua pasukan nanggroe dan keluarga yang sedang di antarnya tersebut. Keselamatan mereka bersama kini ada di tangannya. “Teungku mohon dibaca doapeurabunbeh. Masih ada ilmu di pesantren dulu kan,” ujar Irwan lagi mencoba bercanda. Teungku Fiah mengangguk. Ia terlihat berkomat kamit serius. Entah apa yang sedang dibacanya. Demikian juga Mustafa. Memasuki kawasan Bungkah, jalanan terlih
Ketiga tentara muda itu saling pandang. “Ya sudah kalau begitu. Kau jalan. Hati hati di jalan. Kalau ketemu dengan orang GAM, kasih tahu kami,” ujar salah seorang di antara mereka. Jantung Irwan yang awalnya berdetak cepat, tiba-tiba berubah plong. Irwan benar-benar tak menduga jika pemeriksaan terhadap dirinya berlangsung cepat. Terlebih lagi, para tentara juga tak memeriksa isi mobil. Irwan buru-buru mengangguk. Ia bergegas ke posisi sopir dan segera melaju dengan kecepatan sedang. Irwan tak ingin ketiga tentara tadi berubah pikiran dan memeriksa isi mobilnya lebih lama. Sedangkan Teungku Fiah dan Mustafa tak berbicara sedikit pun. Demikian juga Sakdiah dan gadis muda di sampingnya. Keduanya sempat berkeringat dingin ketika melihat ujung senjata milik tentara tadi. Sedangkan bocah dalam pelukan Sakdiah masih terlelap nyenyak. Mobil L300 itu kemudian melaju dengan kecepatan sedang meninggalkan kerumunan mobil yang masih menjalani peme
Darussalam, 2016 Haidar terdiam. Ia mengamati baju dan toga di depannya itu berulangkali. Beberapa hari lagi, ia akan mengenakan baju impian dari orangtuanya itu. Senat Umayah akan menarik tali di ujung toga itu sebagai tanda ia telah sarjana. Ini adalah harapan terakhir ayahnya semasa hidup. Pengorbanan dari ibunya yang selalu tersenyum tapi diam-diam menitihkan air mata dalam sujudnya di tengah malam. Ibu yang menanggung beban seorang diri pasca ditinggal syahid sang ayah di medan perang karena konflik. Mengingat almarhum ibunya, hati Haidar terasa sakit. Ia sempat membenci tuhan atas takdir yang mempermainkan hidupnya. Namun ia kemudian sadar bahwa ada banyak anak Aceh lainnya yang mengalami nasib serupa dengannya. Ada kampung janda, bukit tengkorak serta sejumlah tragedi mengerikan lainnya di kampung kampung seluruh Aceh. Namun itu masa lalu. Kini Aceh sudah damai. Haidar tak mau ia terjebak dengan masa lalu Aceh yang begi
SEJUMLAH pesan singkat mulai ke handphone sehari jelang wisuda. Pesan itu berisi undangan makan-makan bersama dari para calon sarjana. Haidar sendiri tak mengadakan acara makan-makan. Pertama, ia tak memiliki uang yang bisa digunakan untuk pesta keci-kecilan dalam rangka kelulusan. Sedangkan yang kedua, ia juga tak seperti calon sarjana lainnya yang memiliki keluarga. Sementara kawan-kawannya memiliki hajatan masing-masing. Haidar melihat sejumlah pesan singkat yang masuk ke handphone dalam kamar asrama. Termasuk pesan dari Rina yang juga akan diwisuda sepertinya. Beberapa hari terakhir, Haidar memang lebih banyak menghabiskan waktu dalam kamar. Haidar bimbang antara datang ke Mbak Moel untuk memenuhi undangan Rina atau tidak. Ia ingin meminta maaf pada gadis itu karena menjaga jarak dengannya selama ini. Mungkin, hajatan kecil yang dibuat Rina adalah pertemuan terakhir mereka. Karena setelah wisuda nanti, mereka akan sulit bertemu. Haidar sen
“Sefti,” gumam Haidar.Haidar mendekat dengan penuh keraguan. Ia takut jika kehadirannya justru menganggu komunikasi antara Insani dan gadis itu. Haidar menduga jika Insani adalah pria misterius yang selama ini membuat Sefti tak menghubunginya.Namun ia sudah palang tanggung. Kehadirannya sudah dilihat oleh kedua sosok itu.Haidar mencoba bersikap tenang. Wajahnya kemudian menyorot seisi kantin. Ada beberapa orang asing di sana tapi tak satupun dikenalnya. Ia mencoba mencari orang yang dibilang oleh Gunawan ingin ketemu dengannya. Namun di luar Insani, hanya Sefti yang dikenalnya di sana.“Mungkinkah Sefti yang mencariku?” gumam Haidar dalam hati. Ia kemudian berjalan untuk mendekati meja tempat Insani dan Sefti duduk.“Hai San. Hai Sefti, apa kabar. Sorry jika aku menganggu nie. Tadi Gunawan bilang ada yang cari aku. Makanya ke kantin,” ujarnya pelan. Ada rasa cemburu dalam kalimatnya itu.Insani paham de
USAI Salat Subur, Haidar mulai merapikan diri. Ia memakai baju putih dan celana kain hitam. Ada juga sepatu dan jas hitam yang dipinjam dari Insani. Hari ini ia berpenampilan beda dari biasanya. Meskipun sepatu bermerek yang dipakaiannya adalah pinjaman belaka. Haidar mematung beberapa lama di depan kaca. Ia hampir tak mengenali dirinya sendiri. “Cukup ganteng. Mudah-mudahan setelah hari ini, garis hidupmu berubah, Dar,” ujar Insani tiba-tiba. Sosok ini berdiri di pintu kamar. Ia terlihat tersenyum di samping Gunawan yang juga terlihat sedang memandanginya. Kedua sosok itu juga terlihat berpakaian rapi. Haidar memandingi kedua kawan se-asrama ini dengan alis berkerut. Kemudian ia tiba-tiba tersenyum. “Kalian ikut aku juga ke lokasi wisuda? Terimakasih Wak, Dek Gun. Kalian temanku yang sangat baik,” ujar Haidar senang. Ia tidak memiliki keluarga kandung di hari wisuda, tapi ia masih memiliki sahabat. Insani tersenyum. Demikian juga deng