“Di Malaya, ada banyak anak Soegi sepertimu yang berkumpul di sana.”
“Di sana, kita atur ulang perjuangan nanggroe yang telah dijual para pemimpin di Aceh ini. Aku harap kamu bisa ikut kami ke sana,” kata Lemha.
Haidar terdiam. Ia yakin jika kedua pria di depannya itu sedang berkata jujur terkait perjuangan Aceh saat ini. Namun perjuangan bersenjata bukanlah pilihan terbaik dalam kondisi Aceh hari ini.
Ia tidak mau menyalahkan siapa-siapa. Haidar juga masih mengingat wasiet dari ayahnya semasa hidup.
“Jangan pernah kau mengikuti langkah ayahmu ini untuk memegang senjata, nak. Aku tak mau kau mewariskan dendam ini. Biar dendam ini terputus pada ayahmu ini. Tugasmu adalah sekolah yang tinggi.”
Kalimat itu masih terdengar jelas di telinga Haidar meski bertahun-tahun telah berlaku.
“Saya hargai maksud teungku-teungku mengajak saya ke Malaya. Jujur, dulu saya sempat berpikir yang sama usai ayah syahid dal
“Bang ke kantin yuk. Sefti traktir. Ada hal yang mau Sefti diskusikan,” ujar Sefti.Haidar tahu jika apa yang disampaikan Sefti tadi adalah alasan agar mereka bisa ngobrol. Namun ia nyaman bercerita dengan gadis itu. Bukan karena gadis itu cantik, tapi ia cukup santun dan menghargai lawan bicaranya.Sementara jadwal kuliah masih akan berlangsung sekitar satu jam lagi. Masih terlalu lama untuk menunggu di ruang.Ruang kuliah di depannya itu masih kosong. Hanya beberapa mahasiswa yang terihat duduk di sana. Itu pun mayoritas perempuan.“Baiklah. Di kantin samping biro aja ya. Di sana lebih nyaman,” ujar Sefti.Sefti mengangguk. Ia tak sengaja melambai ke arah ruang kuliahnya. Di dalam sana, teman seangkatannya membalas sambil tersenyum. Kini Haidar paham mengapa Sefti tahu betul jadwal kuliahnya. Maka keberadaan Sefti yang selalu berpaspasan dengannya selama ini tentu bukan kebetulan belaka.Haidar mempercepat langkahny
BAGI Haidar, obat mujarab bagi Aceh saat ini adalah keikhlasan. Perang hanya melahirkan luka dan dendam tak berujung.Ia tak menyalahkan orang-orang seperti sahabat ayahnya tersebut yang masih terluka. Karena pemerintah di tanah Jawa sendiri masih memainkan politik tarik ulur dengan Aceh.Dari sejarah yang dipelajarinya, masa damai di Aceh itu hanya bertahan sekitar 20 tahun. Kemudian konflik kembali berulang.Penyebabnya cuma satu. Pemerintah di tanah Jawa tak benar-benar tulus dalam merealisasi apa yang dijanjikan dengan pejuang Aceh. Dari masa Daud Beureueh hingga Hasan Tiro.Padahal, penduduk negeri ini telah memberikan apapun untuk negara ini sejak lepas dari Belanda dan Jepang. Bahkan bisa dibilang, Aceh adalah ibu dari Indonesia. Dari daerah ini, Indonesia kemudian ada. Saat tanah Jawa bermesra-mesraan dengan para kompeni, pejuang Aceh justru mengangkat rencong.Bahkan, demi Indonesia, perang saudara terbesar terjadi di Aceh. Perang cumbok a
Haidar membantu Seti memungut pecahan gelas yang berada di dekat meja mereka. Si Abang kantin datang dan kemudian mengambil alih.“Tidak apa-apa. Biar saya bersihkan. Kalian lanjut saja,” kata pelayan muda itu.Sementara Sefti sendiri terlihat masih shock dengan pengakuan Haidar soal tentara. Jika lelaki di depannya itu menolak Rina karena memiliki ayah yang berstatus tentara, maka nasib yang sama akan dideritanya jika lelaki itu mengetahui bahwa ayahnya juga seorang tentara republik.Sefti terdiam. Sementara Haidar juga tak banyak berkata-kata.“Kenapa bang Haidar benci dengan tentara?” ujar Sefti kemudian. Kalimat itu terdengar datar. Tak lagi seantusias tadi.Haidar terdiam. Dia mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk diungkapkan.“Aku mencoba berdamai dengan masalalu-ku sejak umur 10 tahun. Namun hingga kini semua ingatan di masa lalu masih membekas. Untuk itu, aku tak bisa pura-pura,” ujar Haidar k
“Tapi Rina bukan tentara. Hanya ayahnya yang tentara. Apakah itu tidak terlalu kejam baginya,” ujar Sefti tiba-tiba menimpali.Sefti berharap persepsi Haidar soal traumanya di masa lalunya itu tak mendalam. Itu membuka peluang baginya untuk mendapatkan hati lelaki di depannya itu. Status Rina sama seperti dirinya. Jika Haidar menjauhi Rina karena ayahnya yang tentara, maka hal yang sama juga berlaku baginya.Di sisi lain, ia juga berharap Haidar tak benar-benar menyukai Rina.“Ya, mungkin ini terlalu kejam baginya. Aku menyukainya sebagai teman. Tak lebih. Kemudian traumaku muncul ketika mengetahui ayahnya seorang tentara. Aku hanya sedikit menjauh dari posisi teman menjadi kenalan,” ujar Haidar kemudian.Penjelasan Haidar ini benar-benar membuat Sefti serba salah. Ia kini tahu bahwa Rina pernah menyatakan cinta pada pria di depannya itu. Meski Sefti kini mengetahui bahwa Haidar cuma menganggap Rina teman. Kini, seperti kata Haidar
Sefti benar-benar tak dapat tidur ketika malam hari tiba. Berkali-kali ia mencoba memejamkan mata, tapi tak juga tertidur. Curhatan hati Haidar membuatnya gelisah. Ia sadar peluangnya untuk bisa bersama pria Aceh itu kian tipis. Sefti tak mungkin menghindari ayah kandungnya sendiri. Hubungan ayah dan anak akan abadi. Ia bahkan rela meninggalkan seribu lelaki demi ayahnya itu. Konon lagi, ayahnya adalah satu-satunya orangtua yang kini ia dimiliki. Ayahnya-lah yang menjaganya ketika ibunya meninggal dunia usai melahirkan. Ia dirawat dengan penuh kasih sayang meskipun untuk melahirkannya, nyawa sang ibu melayang. “Haruskah aku berbohong hanya untuk memikat hati pria itu? Atau lebih baik aku menjauhi-nya sebelum rasa ini bertambah. Aku tak ingin ia terluka ketika mengetahui ayahku juga seorang tentara,” gumam Sefti dalam hati. Namun hatinya benar-benar sakit. Ia sangat kecewa. Ia juga tak bisa menyalahkan Ibnu atas masalalunya yang kelam s
Nicah Awe, Maret 1997JALAN Medan-Banda Aceh relative sepi dari biasanya. Perang besar baru saja reda di Julok. Sejumlah angkutan umum serta angkutan antar kota tertahan di Idi dan Lhoknibong. Beberapa yang nekat menerobos kini tinggal rangka.Angkutan itu dibakar. Para wartawan menyebutnya dengan istilah oknum.Kini jalanan sepi seperti kota mati. Hanya suara mobil reo yang meraung di jalan raya itu. Mereka hilir mudik seolah sedang mencari lawan guna membalas dendam atas tragedy di Julok, sekitar 3 jam lalu.Kejadian itu diamati diam-diam oleh sekelompok pria di balik kebun sawit. Mereka berjumlah 12 orang. Mereka bersenjata. Enam memegang senjata AK buatan Rusia. Selebihnya bersenjata rakitan.Seorang pria paruh baya bangkit dari tempatnya duduk. Tanpa aba-aba, ia langsung menampar satu persatu para anggotanya itu.“Tap, tup.”Tak hanya cukup menampar, ia juga berkali-kali menendang para anggotanya itu.
USAI salat, Mustafa mencoba mendekati pria tua yang sedang berzikir di posisi imam. Mustafa ingin memastikan jika sosok itu tak lagi marah kepadanya. Selain itu, ia juga memperoleh informasi dari penghubung bahwa anak tertua dari pimpinannya itu sedang berada di kawasan Nicah Awe. Anak tertua dari pimpinannya itu hampir seumurannya dengannya. Dia juga Tentara Nanggroe tapi berada dalam kelompok gerilya yang terpisah. “Teungku,” sapanya pelan. Namun pria tua di depannya tak merespon. “Teungku Fiah,” katanya lagi. Kali ini pria itu menoleh ke arahnya. “Maaf menganggu zikir, teungku. Penghubung tadi menyampaikan jika anakmu, Rahman, ada di Nicah Awe,” kata Mustafa lagi dengan hati-hati. Pria tua itu tertegur. Namun dia kemudian justru menutup mata. Ia melanjutkan zikirnya. Mustafa sendiri merasa serba salah. Dia hendak turun dari balai agar tak kembali jadi sasaran kemarahan pimpinannya itu. Namun baru hendak bergerak, pimpinannya itu justru mena
“Mustafa, apakah kau membenciku karena menerapkan aturan terlalu ketat kepada kalian?” ujar pria tua itu sambil melepaskan pelukannya. Mustafa menggeleng berulangkali. Ia tahu bahwa sikap kerasnya tetua itu adalah untuk kebaikan mereka semua. Jika seandainya mereka tidak disiplin serta bergerak sesuai peunutoh, mungkin sudah lama ia dan rekan-rekannya tewas di medan pertempuran. “Tidak teungku. Kami yang salah. Kami yang berulangkali melanggar peunutoh dari teungku. Saya merasa bersalah atas kejadian tadi pagi,” ujar Mustafa. Ia benar-benar shock ketika mengetahui Si Cah dan Si Lah meninggal. “Sudahlah. Ini mungkin kesalahanku juga,” ujar tetua itu. “Aku tahu ketika kalian turun ke kampung semalam, tapi aku tak mencegahnya. Apalagi ketika aku mengetahui ketika kau hendak melamar gadis pujaan hatimu,” katanya lagi. Mustafa tertunduk lesu. Tetua di depannya itu begitu arif dan bijaksana. Ia menyesal telah membuat tetua itu berulangkali kecewa.