MASJID Rahmat, kawasan Kembang Kuning, Surabaya, mendadak ramai Minggu pagi. Beberapa petinggi Brawijaya terlihat hadir di sana. Mereka datang sebagai bentuk penghormatan kepada keluarga almarhum Sulaiman. Anak perempuannya menikah. Apalagi calon pengantinnya juga dari kesatuan yang sama.
Sementara bagi Praka Gusti sendiri, ini adalah hari yang special. Ia akan menikahi perempuan yang baru dijumpainya selama tiga kali.
Dua kali di Masjid Rahmat dan sekali di Ngawi. Ia dan sang gadis juga tak pernah pacaran. Tapi ia yakin jika sang gadis adalah perempuan yang tepat baginya.
Ia tidak pernah berpikir untuk menikah cepat. Namun ketika jodoh itu datang, ia tidak juga menolaknya.
Hari ini ia akan dinikahi oleh wali sang gadis yang datang dari Jakarta. Mereka adalah warga asal Aceh yang sudah lama menetap di Jakarta.
Keluarga besar dari almarhum ayah Nunik ternyata adalah perantau asal Aceh. Buyut mereka harus meninggalkan Aceh usai meletusnya perang Cumb
Haidar mengamati sekeliling. Ada hamparan sawah yang menguning sejauh mata memandang. Kemudian ada juga kios kecil di sisi kiri jalan yang relative sepi di sana.Lokasi ini terletak di dekat Bandara Blang Bintang, kabupaten Aceh Besar. Jauh dari keramaian. Hanya beberapa pengunjung di sana. Konon di lokasi inilah para sahabat dari almarhum ayahnya ingin bertemu.Saat Haidar memasuki warung, dua pria berdiri sambil tersenyum. Satu bertubuh kekar dan satu lagi kurus dengan kaki kiri pincang. Haidar yakin jika kedua pria inilah yang menghubunginya beberapa waktu lalu.“Saya Aneuk Meuruwa, dan ini Lemha. Kami pernah bersama ayahnya selama hidup. Terimakasih telah datang,” ujar pria bertubuh kekar.Haidar mengangguk.Pria itu kemudian bergantian memeluknya. Haidar membalas pelukan kedua pria tadi dengan hangat. Ia menghargai kedua pria itu karena mereka mengaku mengenal ayahnya semasa hidup. Setidaknya, itu kata mereka melalui handphone kepa
“Di Malaya, ada banyak anak Soegi sepertimu yang berkumpul di sana.”“Di sana, kita atur ulang perjuangan nanggroe yang telah dijual para pemimpin di Aceh ini. Aku harap kamu bisa ikut kami ke sana,” kata Lemha.Haidar terdiam. Ia yakin jika kedua pria di depannya itu sedang berkata jujur terkait perjuangan Aceh saat ini. Namun perjuangan bersenjata bukanlah pilihan terbaik dalam kondisi Aceh hari ini.Ia tidak mau menyalahkan siapa-siapa. Haidar juga masih mengingat wasiet dari ayahnya semasa hidup.“Jangan pernah kau mengikuti langkah ayahmu ini untuk memegang senjata, nak. Aku tak mau kau mewariskan dendam ini. Biar dendam ini terputus pada ayahmu ini. Tugasmu adalah sekolah yang tinggi.”Kalimat itu masih terdengar jelas di telinga Haidar meski bertahun-tahun telah berlaku.“Saya hargai maksud teungku-teungku mengajak saya ke Malaya. Jujur, dulu saya sempat berpikir yang sama usai ayah syahid dal
“Bang ke kantin yuk. Sefti traktir. Ada hal yang mau Sefti diskusikan,” ujar Sefti.Haidar tahu jika apa yang disampaikan Sefti tadi adalah alasan agar mereka bisa ngobrol. Namun ia nyaman bercerita dengan gadis itu. Bukan karena gadis itu cantik, tapi ia cukup santun dan menghargai lawan bicaranya.Sementara jadwal kuliah masih akan berlangsung sekitar satu jam lagi. Masih terlalu lama untuk menunggu di ruang.Ruang kuliah di depannya itu masih kosong. Hanya beberapa mahasiswa yang terihat duduk di sana. Itu pun mayoritas perempuan.“Baiklah. Di kantin samping biro aja ya. Di sana lebih nyaman,” ujar Sefti.Sefti mengangguk. Ia tak sengaja melambai ke arah ruang kuliahnya. Di dalam sana, teman seangkatannya membalas sambil tersenyum. Kini Haidar paham mengapa Sefti tahu betul jadwal kuliahnya. Maka keberadaan Sefti yang selalu berpaspasan dengannya selama ini tentu bukan kebetulan belaka.Haidar mempercepat langkahny
BAGI Haidar, obat mujarab bagi Aceh saat ini adalah keikhlasan. Perang hanya melahirkan luka dan dendam tak berujung.Ia tak menyalahkan orang-orang seperti sahabat ayahnya tersebut yang masih terluka. Karena pemerintah di tanah Jawa sendiri masih memainkan politik tarik ulur dengan Aceh.Dari sejarah yang dipelajarinya, masa damai di Aceh itu hanya bertahan sekitar 20 tahun. Kemudian konflik kembali berulang.Penyebabnya cuma satu. Pemerintah di tanah Jawa tak benar-benar tulus dalam merealisasi apa yang dijanjikan dengan pejuang Aceh. Dari masa Daud Beureueh hingga Hasan Tiro.Padahal, penduduk negeri ini telah memberikan apapun untuk negara ini sejak lepas dari Belanda dan Jepang. Bahkan bisa dibilang, Aceh adalah ibu dari Indonesia. Dari daerah ini, Indonesia kemudian ada. Saat tanah Jawa bermesra-mesraan dengan para kompeni, pejuang Aceh justru mengangkat rencong.Bahkan, demi Indonesia, perang saudara terbesar terjadi di Aceh. Perang cumbok a
Haidar membantu Seti memungut pecahan gelas yang berada di dekat meja mereka. Si Abang kantin datang dan kemudian mengambil alih.“Tidak apa-apa. Biar saya bersihkan. Kalian lanjut saja,” kata pelayan muda itu.Sementara Sefti sendiri terlihat masih shock dengan pengakuan Haidar soal tentara. Jika lelaki di depannya itu menolak Rina karena memiliki ayah yang berstatus tentara, maka nasib yang sama akan dideritanya jika lelaki itu mengetahui bahwa ayahnya juga seorang tentara republik.Sefti terdiam. Sementara Haidar juga tak banyak berkata-kata.“Kenapa bang Haidar benci dengan tentara?” ujar Sefti kemudian. Kalimat itu terdengar datar. Tak lagi seantusias tadi.Haidar terdiam. Dia mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk diungkapkan.“Aku mencoba berdamai dengan masalalu-ku sejak umur 10 tahun. Namun hingga kini semua ingatan di masa lalu masih membekas. Untuk itu, aku tak bisa pura-pura,” ujar Haidar k
“Tapi Rina bukan tentara. Hanya ayahnya yang tentara. Apakah itu tidak terlalu kejam baginya,” ujar Sefti tiba-tiba menimpali.Sefti berharap persepsi Haidar soal traumanya di masa lalunya itu tak mendalam. Itu membuka peluang baginya untuk mendapatkan hati lelaki di depannya itu. Status Rina sama seperti dirinya. Jika Haidar menjauhi Rina karena ayahnya yang tentara, maka hal yang sama juga berlaku baginya.Di sisi lain, ia juga berharap Haidar tak benar-benar menyukai Rina.“Ya, mungkin ini terlalu kejam baginya. Aku menyukainya sebagai teman. Tak lebih. Kemudian traumaku muncul ketika mengetahui ayahnya seorang tentara. Aku hanya sedikit menjauh dari posisi teman menjadi kenalan,” ujar Haidar kemudian.Penjelasan Haidar ini benar-benar membuat Sefti serba salah. Ia kini tahu bahwa Rina pernah menyatakan cinta pada pria di depannya itu. Meski Sefti kini mengetahui bahwa Haidar cuma menganggap Rina teman. Kini, seperti kata Haidar
Sefti benar-benar tak dapat tidur ketika malam hari tiba. Berkali-kali ia mencoba memejamkan mata, tapi tak juga tertidur. Curhatan hati Haidar membuatnya gelisah. Ia sadar peluangnya untuk bisa bersama pria Aceh itu kian tipis. Sefti tak mungkin menghindari ayah kandungnya sendiri. Hubungan ayah dan anak akan abadi. Ia bahkan rela meninggalkan seribu lelaki demi ayahnya itu. Konon lagi, ayahnya adalah satu-satunya orangtua yang kini ia dimiliki. Ayahnya-lah yang menjaganya ketika ibunya meninggal dunia usai melahirkan. Ia dirawat dengan penuh kasih sayang meskipun untuk melahirkannya, nyawa sang ibu melayang. “Haruskah aku berbohong hanya untuk memikat hati pria itu? Atau lebih baik aku menjauhi-nya sebelum rasa ini bertambah. Aku tak ingin ia terluka ketika mengetahui ayahku juga seorang tentara,” gumam Sefti dalam hati. Namun hatinya benar-benar sakit. Ia sangat kecewa. Ia juga tak bisa menyalahkan Ibnu atas masalalunya yang kelam s
Nicah Awe, Maret 1997JALAN Medan-Banda Aceh relative sepi dari biasanya. Perang besar baru saja reda di Julok. Sejumlah angkutan umum serta angkutan antar kota tertahan di Idi dan Lhoknibong. Beberapa yang nekat menerobos kini tinggal rangka.Angkutan itu dibakar. Para wartawan menyebutnya dengan istilah oknum.Kini jalanan sepi seperti kota mati. Hanya suara mobil reo yang meraung di jalan raya itu. Mereka hilir mudik seolah sedang mencari lawan guna membalas dendam atas tragedy di Julok, sekitar 3 jam lalu.Kejadian itu diamati diam-diam oleh sekelompok pria di balik kebun sawit. Mereka berjumlah 12 orang. Mereka bersenjata. Enam memegang senjata AK buatan Rusia. Selebihnya bersenjata rakitan.Seorang pria paruh baya bangkit dari tempatnya duduk. Tanpa aba-aba, ia langsung menampar satu persatu para anggotanya itu.“Tap, tup.”Tak hanya cukup menampar, ia juga berkali-kali menendang para anggotanya itu.