:-/
Menangis untuk kedua kalinya karena putus cinta.Jika dulu aku berpisah dengan lelaki masa lalu karena pria itu ternyata sudah memiliki istri dan anak, maka sekarang aku berpisah dengan Mas Hadza karena kesalahpahaman.“Han, lo kenapa?” Tanya Vita, teman satu kubikelku.Kepalaku hanya menggeleng sembari menunduk dengan kedua siku tangan sebagai tumpuan di atas meja.Laptop yang sedari tadi menyala dan menunjukkan notifikasi inputan dari gudang, kubiarkan saja tanpa mengolahnya.“Lo sedih karena apa sih?! Gue perhatiin dari tadi lo nggak semangat,” ucapnya dengan menyentuh pundakku.Kembali aku hanya menggeleng tanpa mau bersuara. Atau air mata ini akan jatuh membasahi pipi.“Sekarang udah jam sembilan, Han. Kalau lo tetap kayak gini ntar pelaporan data ke Pak Akhtara nggak selesai. Orangnya bisa marah.”Nah ini ….Pak Akhtara adalah atasanku. Beliau yang akan menerima laporan audit gudang yang kukerjakan. Maka dari itulah, aku sedikit tidak memperdulikan pekerjaan ini karena beranggapa
[Pesan dariku : Pak, jadi jemput saya jam berapa?][Pesan dari Pak Akhtara : Satu jam-an lagi, sayang. Kenapa?]Aku menimbang-nimbang balasan pesan dari Pak Akhtara lalu kembali membalasnya.[Pesan dariku : Pengen martabak yang enak.][Pesan dari Pak Akhtara : Saya belikan. Ada lagi?][Pesan dariku : Kabari kalau udah dekat stand ya, Pak? Biar saya langsung ke depan.][Pesan dari Pak Akhtara : Oke, sayang.]Usai mendapat balasan dari Pak Akhtara, jantungku bertalu-talu tidak karuan sambil menatap ke arah jalanan. Tidak sadar aku meremas ponsel dengan kaki berjalan ke utara lalu ke selatan, kembali lagi ke utara lalu ke selatan lagi. Sedang kedua mataku tidak lepas dari menatap satu demi satu kendaraan yang melewati jalanan depan stand. Hingga ..."Mbak Jihan?"Aku terkejut setengah mati lalu menatap ketiga karyawanku yang sudah bersiap pulang. "Astaga!" ucapku dengan menegusap dada."Maaf, Mbak, ngagetin. Kami mau izin pulang dulu. Stand udah bersih."Kepalaku mengangguk lalu berkata
Kriingg ....Aku buru-buru membasuh wajah ketika panggilan dari ponselku mengalun keras. Usai mengusap wajah yang basah itu dengan tisyu, aku segera mengangkat panggilan."Halo.""Sayang, saya udah di depan."“Tunggu bentar, Pak."Aku segera mematikan lampu dapur lalu meraih tas kerja dan ....Mataku menatap paper bag berlogo pastry ternama berisi kue red velvet yang dibelikan Mas Hadza. Haruskah aku membawanya pulang?Tapi ....Ah, ya sudahlah. Lebih baik kubawa pulang saja kue ini dari pada dimakan semut.Aku segera menyambar paper bag itu lalu bergegas keluar dari stand. Lalu memasukkan kunci ke dalam tas usai memastikan pintu terkunci rapat.Mobil sedan hitam Pak Akhtara sudah terparkir di seberang jalan lalu aku menuruni tiga anak tangga teras menuju bahu jalan. Kemudian pintu bagian kemudi mobil terbuka, menampilkan Pak Akhtara yang masih memakai dasi dan kemeja biru bergarisnya.Beliau memberiku kode dari seberang agar aku tidak menyeberang. Kemudian beliau menyeberangi jalanan
Ada yang berbeda dengan Pak Akhtara hari ini.Belum selesai aku mencetak laporan inputan gudang, Vita yang baru saja keluar dari ruangan beliau terlihat menundukkan wajah sambil berjalan ke arah kubikel. Dengan membawa laporan di tangan."Kenapa, Vit?" Tanyaku setelah dia mendudukkan pantatnya di kursi.Lalu jemarinya membuka laporan yang dikerjakan hingga terpampang banyak sekali coretan."Baru kali ini gue kerja lalu dapat coretan sebanyak ini, Han.""Kok bisa?" Tanyaku heran."Nah itulah. Padahal gue ngerjainnya kayak biasanya. Tapi kenapa bisa salah di depan Pak Akhtara? Padahal biasanya gue ngerjain model kayak gini juga nggak masalah. Aneh kan beliau?"Aku berpikir sejenak sembari mencerna ucapan Vita."Masak sih Pak Akhtara kayak gitu?" Tanyaku memastikan."Lha ini buktinya."Lalu Vita melihat mesin pencetak hasil laporanku yang hampir selesai."Coba aja lo masuk sama bawa laporan. Dan rasakan omelannya Pak Akhtara! Keriting kuping gue denger orangnya ngomel hari ini. Heran dah!
Usai menghadiri acara makan-makan bersama keluarga besarnya, aku dan Pak Akhtara kemudian undur diri kembali ke rumah. Sepanjang perjalanan, beliau lebih banyak diam dan hanya fokus mengemudi. Begitu tiba di rumah pun, beliau langsung masuk kamar dan membersihkan diri. Sedang aku memilih menuju dapur untuk membuatkannya minuman dingin.Pikirku, jika mendekati Pak Akhtara dengan membuatkannya segelas minuman dingin lalu bisa mencairkan suasana, mengapa tidak?Bukankah dengan beliau merasa nyaman dengan perhatianku, maka rahasianya bisa kukorek lebih dalam.Aku meletakkan segelas es teh di meja rias lalu memeluk Pak Akhtara dari belakang. Wangi sabun dan shampo menguar dari tubuhnya yang sudah sangat segar. Lalu tangannya bergerak melepas eratan tanganku dan memutar tubuhnya hingga menghadapku. "Saya buatin es teh biar Bapak nggak sepaneng. Dari tadi saya perhatiin Bapak kayak banyak masalah."Beliau mengambil kedua tanganku dan digenggam. Sedang aku mendongak untuk menatap kedua matan
Biasanya, stand-ku menjual seratus porsi makanan. Tapi hari ini aku menaikkannya menjadi seratus dua puluh lima porsi. Aku tidak mau mengembalikan pelanggan dan akan memenuhi permintaan mereka.Dan keputusan ini kuambil berdasarkan penilaian pribadiku. Tidak meminta pertimbangan Pak Akhtara atau Qhiyas yang lebih berpengalaman di dunia bisnis kuliner ini.Ah … untuk apa?Jika pelanggan banyak akan terus kutambahi porsi yang ada. Jika pelanggan kurang dari seratus dua puluh lima orang, aku akan menyuruh karyawan untuk tidak terus menyajikan menu bila tidak ada orderan.Bukankah bila rezeki datang itu tidak boleh ditolak?“Kalau ada yang pesan, baru kalian gorengin dulu. Pokoknya jangan ada menu yang tersisa. Kalian paham?”“Tapi asistennya Mas Qhiyas nggak ngasi info nambah porsi tuh, Mbak?”“Udah lah. Nurut sama aku. Kan yang punya bisnis ini aku. Kenapa mesti nurut sama asistennya Qhiyas?”Ketiga karyawanku mengangguk paham lalu aku membuat segelas espresso dingin. Ada seseorang yang
Aku segera menyembunyikan ponsel di belakang tubuh dan memasang senyum senatural mungkin di depan Mas Hadza."Yang nelfon Papa lah, Mas."Kemudian aku mengutak atik ponsel dan melakukan panggilan ke nomer Papa. Namun sebelum panggilan itu berubah 'berdering', aku segera menekan tombol merah. Dan jadilah, nomer Papa terpampang paling atas. Lalu aku menunjukkan layar ponselku padanya. "Tuh kan, aku ditelfon Papa."Mas Hadza nampak berpikir lalu aku segera menggandeng lengannya untuk naik ke lantai dua. "Ambil tas dulu yuk. Aku pengen nonton, Mas."Yang terpenting, aku bisa mengalihkan perhatian Mas Hadza terkait siapa yang baru saja menghubungiku. Jangan sampai dia mengetahui rahasia terbesarku yang sebenarnya telah menikah dengan atasannya. Dan Pak Akhtara yang nun jauh disana, pasti sedang kelimpungan karena aku mematikan ponsel sepihak tanpa salam apapun.Aku terlalu bodoh karena menerima panggilan darinya dengan posisi membelakangi anak tangga. Akhirnya aku tidak mengetahui kedat
Tidak berjumpa denganku baru setengah bulan saja Pak Akhtara sudah seperti singa kelaparan.Begitu tiba di rumah, beliau langsung menarikku ke kamar lalu menuntaskan kerinduannya. Beliau melepas seluruh pakaianku dengan sedikit tergesa-gesa lalu memimpin permainan halal itu.Meski sedikit tergesa-gesa namun tetap lembut dan aku menikmatinya. Meski saat bercinta dengan Pak Akhtara, yang ada di mataku adalah Mas Hadza.Usai mendapatkan ronde pertama, Pak Akhtara kembali melanjutkan kerinduannya padaku."Sayang, jangan capek dulu ya?"Bagaimana aku merasa capek jika sedari tadi Pak Akhtara lah yang paling banyak bergerak. Aku hanya menerima apa yang beliau lakukan padaku hingga ronde kedua berakhir dengan begitu manis."Sayang, ini benar-benar luar biasa."Kemudian Pak Akhtara menurunkan selimut yang kami pakai untuk menutupi raga kami saat bercinta. Lalu membaringkan tubuhnya di sebelahku dan menyelimuti raga kami berdua."Kamu benar-benar racun yang bikin saya mati kalau nggak nyentuh k