;-0 maaf baru up. Author fokus idhul adha.
"Mending lo minta maaf ke Pak Akhtara, Han. Soalnya beliau itu korban utama yang paling banyak lo sakiti. Bener nggak sih omongan gue?"Dengan kepala menunduk, kemudian aku mengangguk pelan. "Pak Akhtara udah berkorban banyak buat kebahagiaan lo. Lalu lo sakiti kayak gitu. Apalagi posisinya waktu itu masih sah jadi suami lo. Wajar lah kalau karma yang lo dapat tuh nggak main-main."Aku menghela nafas lalu kembali menganggukkan kepala. Sikap ceplas ceplos Rara itu sudah bawaan lahir. Dan aku tahu, dia menasehatiku seperti itu pasti karena menyayangiku. Ingin mengoreksi kesalahanku."Emang lo udah minta maaf ke Pak Akhtara?""Belum, Ra.""Nunggu apa lagi?!""Gue nggak punya kontaknya. Nomer gue diblokir." Akuku. "Datang ke rumahnya lah, Han?! Kayak nggak ada solusi aja lo."Kepalaku menggeleng ketika Rara menyebut rumah Pak Akhtara."Kenapa? Takut mau bertandang ke rumahnya?! Cemen!""Bukan, Ra. Tapi ... rumahnya udah dijual."Rara menaikkan kedua alisnya dengan mulut membentuk huruf
"Pertemuan Pak Akhtara dan Mas Hadza?" Tanyaku kembali.Kemudian kepala Papa mengangguk pelan dengan mata menatapku lekat. "Apa maksudnya, Pa?""Maaf, Jihan. Papa minta maaf sebanyak-banyaknya. Begitu juga sama Mamamu. Kami berdua punya prinsip bahwa ... serapi apapun seseorang membungkus bangkai, pasti kelak akan tercium juga.""Pa, aku ... nggak ngerti. Memangnya Papa mau bilang apa?""Jihan, tanggung jawab orang tua berat. Nggak cuma sekedar menghidupi anaknya sampai dewasa. Tapi juga harus ngasih pendidikan yang baik. Memberi makan dari uang yang halal. Bahkan walau anaknya udah jadi janda, peran orang tua tetaplah utama. Jangan sampai anak perempuannya salah jalan.""Aku masih nggak paham sama ucapan Papa.""Han, batalnya pernikahanmu sama Hadza ... itu karena ulah Papa."Deg!!!Aku langsung membelalakkan mata tidak percaya. Bahwa yang menghancurkan pernikahan impianku dengan Mas Hadza adalah Papaku sendiri.Ini terdengar gila!Jika orang tua yang lain akan mendukung anaknya untu
"Memangnya mau pergi kemana?" Tanya Abah Yai.Aku, Papa, dan Mama sedang duduk di sofa ruang tamu rumah Abah Yai."Mau saya ajak jalan-jalan sebentar, Abah," ucap Papa santun.Kemudian Abah Yai tersenyum dengan tangan terus menggeser butir demi butir bulatan tasbih yang dipegang."Ya udah, aku izinin. Bentar aja, ya?"Lalu beliau memandangku."Soalnya hari ini ngaji kitabnya dimajuin jamnya. Kamu jangan telat datang."Kepalaku mengangguk pelan lalu berkata ..."Iya, Abah."Usai meminta izin keluar barang sejenak, Papa menarik tanganku menuju pintu masuk asrama."Han, ganti baju dulu." Perintah Papa.Lalu aku sedikit menaikkan alis mendengar perintah Papa lalu menatap gamis coklat yang kupakai."Kenapa mesti ganti, Pa? Gamis yang kupakai nggak apa-apa kok.""Ganti sama yang lebih bagus, Han.""Emangnya kita mau kemana sih, Pa? Kok aku disuruh ganti gamis segala?""Kamu ganti dulu. Nanti Papa jelasin kita mau kemana."Bukankah mendebat orang tua itu hal yang dilarang Tuhan? Jadi, tanpa b
Ketika Pak Akhtara menoleh dan mendapati kehadiranku, beliau seketika melebarkan kedua mata penuh keterkejutan. Aku pun sama terkejutnya melihat keberadaan beliau di restaurant ini. Untuk apa Pak Akhtara diundang kemari?Dan untuk apa melibatkan aku juga ke dalam urusan ini?"Ayo duduk dulu, Tar."Papa kemudian menarik sebuah kursi untuk Pak Akhtara yang ternyata saking terkejutnya dengan kehadiranku, beliau sampai lupa untuk duduk. Setelah kursi ditarik oleh Papa, barulah Pak Akhtara seperti tersadar dari keterkejutannya karena kehadiranku. Entah beliau terkejut melihat kehadiranku disini atau terkejut karena melihat penampilanku yang suda tertutup hijab dan gamis.Usai menduduki kursi, Pak Akhtara dengan cepat menguasai situasi. Beliau memasang wajah tenang tanpa mau menatapku. Penampilannya pun masih sama seperti dulu. Gagah.Berisi.Rapi. Bersih.Wangi.Dan ... bersahaja.Kemeja bergaris itu telah digulung sebatas siku. Hingga menampilkan kulit sawo matangnya. Celana kain hit
"Saya ... minta maaf untuk ... kesalahan-kesalahan saya dulu. Saya minta maaf, Pak Akhtara."Beliau hanya menganggukkan kepala tanpa memandangku."Saya harap, Bapak benar-benar tulus memaafkan saya. Walau itu terdengar mustahil. Karena kelakuan yang saya perbuat, sangat melukai hati Bapak. Tapi, saya ingin dimaafkan dengan tulus ikhlas."Beliau kembali menganggukkan kepala tanpa menatapku lalu memandang Papa."Pak Rusli, saya pamit dulu. Saya kebetulan sudah ada janji."Sebenarnya masih banyak hal yang ingin kukatakan pada Pak Akhtara. Tapi mulutku seperti terkunci rapat-rapat.Begitu Pak Akhtara berdiri, hatiku berteriak untuk menahannya. Karena benar apa kata Papa, jika aku belum tentu memiliki keberanian, waktu, dan kesempatan untuk bertemu Pak Akhtara lagi. Dan moment kali ini harus kumanfaatkan sebaik mungkin."Tara, makasih untuk semuanya. Makasih untuk maaf yang kamu berikan. Makasih udah mengikhlaskan rumah yang Jihan beli tapi di dalamnya ada uangmu juga.""Saya ikhlas, Pak. P
"Maaf, Mbak Jihan. Baru datang. Gara-gara si Abang nih!"Lalu Shifa mencubit perut lelaki yang berdiri di sampingnya hingga lelaki itu meringis."Sakit, Dek!"Aku mengangguk lalu melirik lelaki muda yang berdiri di sebelah Shifa. Tangannya dengan begitu enteng melingkar di pundak Shifa meski ada aku dihadapan mereka.Apakah ini kekasih Shifa?Lelaki itu memakai sarung warna hitam bermotif dan memakai baju koko warna biru muda berlengan pendek. Rambutnya sedikit panjang dengan ... mata kiri tidak sempurna.Tapi garis wajahnya lumayan tampan. Terutama bibirnya yang tipis dan hidungnya yang mancung. Ditambah warna kulitnya yang kuning bersih."Apa pak tukangnya nggak butuh apa-apa, Mbak Jihan?""Nggak, Ning. Kalau butuh apa-apa, aku pasti bilang ke Ning apa yang dibutuhkan."Kepala Shifa kembali mengangguk tapi lelaki itu masih melingkarkan tangannya di pundak Shifa sambil menatap pengerjaan interior di stand ini."Suka nggak, Bang?" Tanya Shifa pada lelaki itu."Suka. Bagus. Kayaknya bak
Shifa berhenti tertawa lirih lalu menatapku lekat."Nggak ada yang aneh dari pertanyaan Mbak Jihan. Wajar kok."Oh ... Jika Shifa berkata demikian, bukankah itu berarti jika dia dan Gus Kahfi memanglah sepasang kekasih?Kemudian aku memberanikan diri bertanya kembali."Kapan rencana pernikahan Ning Shifa dan Gus Kahfi digelar?"Shifa seketika kembali tertawa lirih dengan menutup mulut dengan kedua telapak tangan. Bahkan tawanya hingga bisa membuat matanya menyipit.Karena tawanya itu, aku berubah insecure. Memangnya apa aku salah berkata lagi?"Atau Ning Shifa sebenarnya udah menikah sama Gus Kahfi?"Kepala Shifa menggeleng dengan tawa sedikit lebih keras. Bahkan air keluar dari matanya.Selucu itukah pertanyaan dariku? Padahal aku sendiri merasa tidak ada yang lucu.Usai menghabiskan tawanya itu, Shifa berdehem sebentar lalu menatapku lekat."Mbak Jihan salah total!"Aku mengerutkan alis mendengar jawaban Shifa."Salah total yang gimana, Ning?!""Ya soal dugaan aku sama Abang Kahfi."
"Masa akhir cicilan rumah untuk bulan lalu dan bulan ini akan habis tiga hari lagi, Jihan. Kalau kamu masih nunggak lagi, dengan terpaksa kami akan menyitanya dan kamu rugi sendiri." Ini masih pagi dan bagian administrasi pihak pengembang sudah memperingatkan melalui sambungan telfon. Dua bulan ini aku menunggak pembayaran karena belum ada biaya.Niat hati ingin menyicil properti berupa rumah sederhana dan isinya untuk kedua orang tua di kampung halaman. Setelah rumah mewah keluargaku disita bank. Namun, tujuan baikku itu kini mengalami kendala karena pengeluaran bulan ini terlalu banyak."Tolong beri saya waktu sedikit lagi, Pak." Mohonku, mencoba terdengar memelas agar pihak administrasi memberikan kelonggaran. Tapi bagian administrasi justru berdecak kesal lalu kembali berucap. "Kamu itu termasuk yang paling longgar aturannya, Jihan. Customer yang lain nggak dikasih kelonggaran nunggak kayak gini. Khusus kamu, saya tangguhkan dua bulan karena dulu kenal baik sama Papamu."Sungguh