;-0 maaf baru up ...
Kepala Shifa mengangguk kaku dengan menggembungkan pipinya. Sedang kedua matanya membelalak terkejut. Dan ekspresiku juga tidak berbeda jauh dengan keterkejutan yang Shifa rasakan. Lalu aku buru-buru membalikkan badan dan pura-pura membetulkan cadar yang tidak mengapa.Astaga ... Malu sekali aku!Ini jauh lebih memalukan dari pada jatuh terpeleset di depan banyak orang."Ning, aku mau keluar bentar ya?" ucapku.Mumpung stand belum ada pengunjung, aku pun berniat menjauh sementara untuk menyembunyikan muka. "O ... oke, Mbak."Ning Shifa pun tampak canggung menjawab pertanyaanku. Sepertinya kami memiliki pikiran yang sama. Dan minimarket yang berada tidak jauh dari toko Ning Shifa itu menjadi tujuanku. Usai membeli sekaleng kopi dingin, aku duduk di teras minimarket lalu melepas cadar. "Malu banget kedengeran Gus Kahfi kalau aku sengaja pakai cadar buat dia. Semoga aja Gus Kahfi nggak tersinggung."Lalu aku meneguk kopi dingin itu sampai habis. Dan rasa malu ini sepertinya sudah bis
Baru saja aku tiba di asrama usai bekerja di tokonya Shifa, ponselku langsung berdenting. Aku pun urung berganti pakaian dan langsung membuka pesan darinya. Siapa tahu itu pesan penting tentang toko.[Pesan dari Shifa : Mbak, jangan lupa bilang ke orang tua dulu kalau ada lelaki yang pengen serius ngajak nikah.]Aku menghela nafas panjang setelah membaca pesan darinya. Perihal itu, tadi Shifa tidak mau mengatakan padaku siapa nama lelaki yang mau mengajakku menikah. Aneh kan?! Lagi pula, tidak ada letupan bahagia ketika ada lelaki yang diam-diam menyukaiku. Seolah-olah ada sesuatu yang membuat hatiku mati rasa dengan cinta yang ditawarkan lelaki lain. Kemudian aku memutuskan untuk menghubungi Shifa. "Ya, Mbak?""Ning Shfa, aku benar-benar nggak mikirin jodoh dulu."Shifa menghela nafas lalu berucap ..."Seenggaknya, kasih laki-laki itu kesempatan untuk bilang apa yang jadi keinginannya, Mbak. Setelahnya, Mbak Jihan boleh kasih jawaban apapun. Dia siap sama jawaban terburuknya. Ka
"Kamu benar-benar masih sendiri atau ada lelaki lain yang ingin melamarmu?"Kali ini keterkejutanku tidak bisa dibendung lagi seraya menatap Gus Kahfi dari samping. Masalahnya, untuk apa Gus Kahfi bertanya hal seperti itu? Mengapa bukan Gus Fikri sendiri yang bertanya dari awal kalau memang ingin menikahiku?Dari sini saja, aku sudah menaruh rasa ragu pada Gus Fikri. 'Masih kenalan aja nggak gentleman. Gimana kalau jadi istrinya?!' Batinku berseloroh. Lalu Gus Kahfi memanggil namaku ulang. "Han?""Eh ... nggak ada, Gus."Kepala Gus Kahfi mengangguk dengan seulas senyum bahagia lalu tangan Gus Fikri menoel lengan Gus Kahfi. Untuk apa menoel Gus Kahfi? Apa minta dibantu melamarkan juga?Sedang Shifa seperti menahan tawa dengan pipi bersemu malu. Aneh, aku yang akan dilamar tidak merasa ada letupan di dada tapi mengapa tingkah Shifa bertingkah malu-malu. "Ayo, Gus Kahf," ucap Gus Fikri. Nah, mengapa jadi Gus Fikri yang menyemangati Gus Kahfi sih?!Sebenarnya ketidakberesan yang ku
"Masa akhir cicilan rumah untuk bulan lalu dan bulan ini akan habis tiga hari lagi, Jihan. Kalau kamu masih nunggak lagi, dengan terpaksa kami akan menyitanya dan kamu rugi sendiri." Ini masih pagi dan bagian administrasi pihak pengembang sudah memperingatkan melalui sambungan telfon. Dua bulan ini aku menunggak pembayaran karena belum ada biaya.Niat hati ingin menyicil properti berupa rumah sederhana dan isinya untuk kedua orang tua di kampung halaman. Setelah rumah mewah keluargaku disita bank. Namun, tujuan baikku itu kini mengalami kendala karena pengeluaran bulan ini terlalu banyak."Tolong beri saya waktu sedikit lagi, Pak." Mohonku, mencoba terdengar memelas agar pihak administrasi memberikan kelonggaran. Tapi bagian administrasi justru berdecak kesal lalu kembali berucap. "Kamu itu termasuk yang paling longgar aturannya, Jihan. Customer yang lain nggak dikasih kelonggaran nunggak kayak gini. Khusus kamu, saya tangguhkan dua bulan karena dulu kenal baik sama Papamu."Sungguh
Ya Tuhan, mengapa harus manajerku sendiri yang menyewaku sebagai pacar sewaan? Lalu ingatanku kembali ke kejadian siang tadi saat Pak Akhtara memarahiku di hadapan staff yang lain. Beliau adalah sosok atasan yang disiplin, tegas, dan tidak banyak tersenyum di depan karyawan."I ... iya, Pak. Saya … memakai nama samaran Dara sebagai pacar sewaan," jawabku gugup dengan posisi berdiri.Lalu Pak Akhtara melihat penampilanku dari atas hingga bawah dengan seksama melalui kacamata bening yang membingkai kedua matanya lalu kepalanya menggeleng pelan. "Well. Saya nggak nyangka kalau ... "Pak Akhtara tidak melanjutkan ucapannya. Entah apa yang beliau pikirkan tentangku sekarang ini. Namun ekspresi wajahnya masih menampilkan keterkejutan."Silahkan duduk dulu, Han." Kepalaku mengangguk pelan lalu mengambil duduk di hadapan beliau. Membiarkan cardigan hijau tua yang kukenakan tetap membungkus tubuh yang telah mengenakan dress malam terbaik.Pikiranku pun akhirnya berkelana, apa Pak Akhtara hob
"Kok ... beda ya, Tar? Kayak bukan Sabrina." Mamanya Pak Akhtara masih meragu jika aku bukanlah Sabrina yang asli. Aduh! Bagaimana ini? Jangan sampai terbongkar!Kemudian Pak Akhtara merubah genggaman di tangan dan berpindah ke pundak kiriku begitu saja. Hingga pundakku menyentuh dadanya yang bidang. "Hanya perasaan Mama aja. Dia ini Sabrina, Ma. Mungkin karena efek diet dan ganti warna rambut aja makanya kayak ... orang lain." Untung saja Pak Akhtara luwes sekali berdrama di hadapan keluarganya. Apakah beliau memiliki bakat berbohong yang terpendam?Keluarga besar Pak Akhtara menunjukkan keraguan itu dengan saling tatap. Lalu tanpa diduga, beliau mengeluarkan jurus selanjutnya yang membuatku merasa geli sendiri. Seperti bukan Pak Akhtara yang dingin, tegas, dan berwibawa. "Sayang, duduk dulu," ucapnya dengan senyum tulus yang dibungkus kepalsuan. Lalu Pak Akhtara menarik sebuah kursi untuk kududuki kemudian beliau ikut mengambil duduk di sebelahku. Sedang kakinya kembali memberi
"Yang penting kalian nyambung menjalani hubungan?" tanya Papanya Pak Akhtara memastikan dengan menatapku lekat. Hingga kedua alisnya berkerut seperti mencari pembenaran atas apa yang beliau dengar."Eh ... iya, Om. Yang penting ... kami bisa memahami kekurangan satu sama lain," jawabku gugup dan seadanya. "Itu artinya kalian menjalani hubungan ini dengan landasan yang nggak tepat, Sabrina. Orang kalau mau menikah itu nggak cuma butuh perasaan saling nyambung aja, tapi saling melengkapi, tahu satu sama lain, dan penuh kasih sayang. Bukan asal memahami kekurangan tapi nggak ada cinta." Aduh! Apa lagi ini? Berbicara cinta itu bukanlah prioritasku! Sungguh yang kubutuhkan saat ini adalah uang! Bukan cinta! Karena itu tidak akan membuatku keyang atau bisa melunasi cicilan rumah! Benar kan?!Juga, aku malas memiliki hubungan serius dengan lelaki manapun sehingga tidak mengerti apa yang papanya Pak Akhtara katakan. "Tara, bisa kamu jelasin apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan Sab
Lalu angin malam berhembus di parkiran tempat resepsi pernikahan adiknya. Pak Akhtara hanya menghela nafas kesal sambil menyugar rambut berulang kali. Kentara sekali jika manajerku itu memiliki rahasia yang tidak ingin dibagi. "Sudahlah, nggak usah bahas dia lagi. Bagi saya, hubungan kami udah selesai!" "Menurut Bapak udah selesai, tapi gimana nasib saya? Gimana ini, Pak? Pokoknya saya nggak mau menikah sama Bapak! Kesepakatan kita hanya jadi pacar sewaan aja! Nggak lebih! Karena saya nggak mau nikah sebelum punya ekonomi yang mapan!" "Kamu pikir saya mau nikah sama kamu? Yang nggak pernah saya ketahui seluk belukmu kayak apa? Asal kamu tahu, Han, yang pasti saya ngelakuin ini karena terpaksa!" Dinikahi lelaki mapan dan berkharisma seperti Pak Akhtara itu tidak ada salahnya. Dia menawan dengan kulit eksotisnya yang bersih. Belum lagi bulu-bulu halus yang memenuhi permukaan kulit tangannya. Tubuhnya tinggi dan ideal. Hanya saja di usianya hampir mendekati kepala empat. Sungguh buka