“Papi!” Emily langsung menghampiri Ansel yang datang ke ruang kerjanya. “Kenapa tidak memintaku ke ruangan Papi saja?” tanya Emily sambil merangkul lengan sang papi lantas mengajak duduk di sofa. “Kebetulan dari luar, jadi sekalian mampir untuk menyampaikan pesan mamimu,” jawab Ansel saat sudah duduk bersama Emily. Emily terkejut mendengar Ansel membahas sang mami, hingga kemudian bertanya, “Mami kenapa?” Emily langsung cemas jika menyangkut tentang ibunya. “Mami tidak kenapa-napa. Dia tadi bilang kalau kangen kamu makan malam di rumah. Kalau kamu dan Alaric ada waktu, mampirlah ke rumah,” ucap Ansel. Emily langsung sedih karena sudah membuat ibunya rindu. “Iya, Pi. Kami pasti akan ke sana,” balas Emily. Emily melihat sang papi yang memperhatikannya, membuat Emily salah tingkah. “Papi kenapa menatapku seperti itu?” tanya Emily melihat tatapan sang papi yang aneh. Ansel malah tersenyum mendengar pertanyaan putrinya itu. “Kamu terlihat lebih bahagia, pasti Alaric memperlakuka
Emily berbaring miring di ranjang dengan perasaan kesal. Meski tahu kalau pekerjaan lebih penting, tapi Alaric yang tak bicara sepatah kata pun kepadanya, membuat Emily semakin kesal.Bahkan saat suaminya pergi, Emily memilih diam saja di kamar. Sekarang sudah pukul sepuluh malam, belum ada tanda Alaric pulang membuat Emily masa bodoh dengan pria itu.“Dia menyebalkan, kenapa tidak berkata sesuatu sebelum pergi, setidaknya maaf atau apa.”Emily menggerutu, sampai-sampai tak bisa tidur karena kesal.Emily mengecek ponsel, tak ada pesan atau panggilan dari Alaric untuk sekadar mengabari, membuat Emily semakin diabaikan.Baru saja Emily meletakkan ponsel kembali ke nakas, terdengar kamar pintu terbuka. Emily langsung bangun, dia melihat Alaric yang baru saja pulang.“Kamu belum tidur?” tanya pria itu sambil melonggarkan dasi lantas melepasnya.Emily memperhatikan wajah Alaric yang agak menunduk. Pria itu sedang melepas jas.“Kamu mabuk?” tanya Emily karena wajah dan mata pria itu agak me
Emily masih memejamkan mata saat bibir mereka saling bertautan, hingga dia merasakan tangan Alaric yang menyentuh kancing piyamanya“Al.” Emily melepas pagutan sambil mencoba mencegah apa yang hendak dilakukan pria itu.Alaric menatap Emily yang baru saja melepas tautan bibir mereka.“Kenapa?” tanya Alaric sambil menatap wajah Emily yang bersemu merah.Emily mengulum bibir sambil menatap mata Alaric.“Aku belum siap,” ucap Emily langsung karena paham ke mana arah yang dilakukan Alaric.Alaric menatap Emily yang tampak takut. Dia pun mengecup kening istrinya itu dengan lembut.“Tidak apa, aku ke kamar mandi dulu. Tidurlah,” ucap Alaric lantas pergi meninggalkan Emily.Emily hanya menggigit bibir bawahnya. Dia benar-benar belum siap jika harus melakukan hubungan suami-istri secepat itu.Emily memilih kembali berbaring miring sambil membungkus tubuhnya dengan selimut. Dia tak bisa memejamkan karena takut tiba-tiba Alaric memaksanya.Beberapa saat kemudian. Emily mendengar suara pintu ter
“Ini terakhir?” tanya Alaric saat memberikan berkas yang baru saja ditandanganinya.“Iya, Pak. Ini sudah semua,” jawab Niko.Alaric hanya mengangguk mendengar jawaban Niko. Dia menutup laptopnya, lantas mengambil ponsel di meja.“Anda mau pulang cepat?” tanya Niko karena Alaric sudah membereskan meja.“Hm ….” Alaric hanya membalas dengan sebuah dehaman, lantas menatap Niko yang masih berdiri di depan mejanya.“Aku ada janji dengan Emi,” jawab Alaric lantas berjalan meninggalkan ruangan itu.Alaric pergi dari perusahaan lebih awal, bahkan dia mampir ke kafe yang disukai Emily untuk membeli es coklat.Siang tadi mereka tak bertemu karena Alaric datang ke acara lelang.Mobil Alaric sudah sampai di depan lobi perusahaan Emily. Dia melihat istrinya berjalan agak lesu menuju mobil.“Coklat.” Alaric memberikan es coklat itu ketika Emily baru saja masuk.Emily terkejut karena mendapat es coklat. Dia menatap Alaric dengan rasa tak percaya, lantas menerima cup es coklat itu.“Kamu mampir ke kaf
“Aku manis sejak kecil, kan?”Pertanyaan itu terlontar saat melihat Alaric yang sedang memandang fotonya saat kecil.Alaric menoleh Emily yang berjalan mendekat, hingga wanita itu duduk di sampingnya.“Luka di keningmu, apa memang sejak kecil?” tanya Alaric tiba-tiba penasaran dengan luka di dahi Emily.“Oh, ini. Masih terlihat jelas kalau dilihat dari jarak dekat, ya?” Emily langsung menyentuh dahi.“Ini karena aku jatuh saat masih TK. Terkena batu tajam, jadi harus mendapat beberapa jahitan. Lukanya memang tidak bisa hilang sempurna, hanya tersamarkan saja. Kalau pakai make up, tidak terlihat,” ujar Emily menjelaskan.Alaric memperhatikan luka itu, hingga kemudian tersenyum.“Kenapa kamu senyum-senyum?” tanya Emily keheranan.“Aku diam salah, senyum pun sekarang salah?” tanya balik Alaric.Emily memanyunkan bibir mendengar pertanyaan balik suaminya itu.“Ya, tidak begitu juga,” balas Emily.Alaric menarik tangan Emily, meminta istrinya berbaring bersamanya. Dia memeluk erat, tatapan
Emily bekerja seperti biasa setelah lega karena bisa menginap di rumah orang tuanya.Dia ada di ruangannya mengecek berkas seperti biasa, hingga terdengar suara ketukan pintu.“Bu, ada kiriman makanan,” kata sekretaris Emily.Emily mengerutkan alis, hingg melihat kurir masuk membawa kiriman yang dimaksud.“Dari siapa?” tanya Emily sambil memandang kurir.“Dari Pak Alaric,” jawab kurir itu membaca nama pemesan yang ada di nota pembelian.Emily terkejut karena Alaric mengirim makanan tanpa memberinya kabar. Dia pun berterima kasih ke kurir, lantas membuka makanan apa yang dipesan suaminya.Emily tersenyum karena ternyata itu makanan kesukaannya. Dia pun mengambil ponsel lantas menghubungi Alaric.“Halo.” Suara Alaric terdengar dari seberang panggilan.“Al, kamu kirim makan siang?” tanya Emily sambil memperhatikan makanan itu.“Ah … ya, aku lupa memberitahumu. Sudah sampai?” tanya Alaric dari seberang panggilan.Emily mengangguk-angguk sambil menjawab, “Iya, baru saja.”“Aku ada rapat di
Alaric membanting stir ke kiri saat melihat truk yang melaju kencang dari kanan. Dia bahkan menggunakan satu tangan untuk menahan tubuh Emily agar tidak terhuyung ke depan.Emily sangat terkejut melihat apa yang terjadi. Dia memejamkan mata sambil berpegangan saat Alaric menahan tubuhnya.Mobil Alaric bisa menghindari truk meski bagian depan tersenggol hingga membuat mobil itu terdorong ke sisi kiri sampai akhirnya bisa dikendalikan dan berhenti sebelum menabrak mobil lain.Emily sangat syok, dadanya naik-turun tak beraturan karena jantungnya berdegup dengan sangat cepat.Alaric menyentuh kening yang membentur kabin mobil tapi untungnya tak sampai terluka dan hanya memar.“Emi, kamu baik-baik saja?” tanya Alaric saat melihat Emily diam dengan tatapan lurus ke depan.“Emi.” Alaric menangkup kedua pipi Emily agar memandang ke arahnya.Emily langsung menangis karena benar-benar syok dengan yang terjadi barusan. Dia ketakutan sampai membuatnya tak bisa bicara.Alaric melepas sabuk pengama
“Kali ini tindakannya sudah keterlaluan!”Alaric menemui Bobby di ruang kerja setelah bisa menenangkan Emily.Dia langsung meluapkan amarahnya ke sang kakek karena perbuatan sepupu yang keterlaluan.“Aku tak pernah membalas apa yang dilakukannya kepadaku, tapi bagaimana bisa dia berniat mencelakaiku saat bersama Emi!” Alaric geram sampai mengepalkan telapak tangan, hampir saja dia memukul meja jika tak ingat kalau pria yang didepannya adalah kakeknya.Alaric melihat sang kakek menghela napas, lantas menegakkan badan sambil menatapnya.“Kakek tidak pernah melarangmu membalas, tapi kakek selalu menekankan. Jangan jadi seperti dia. Kamu sudah dewasa, seharusnya kamu tahu apa yang harus dan yang tidak harus kamu lakukan,” jawab Bobby.Alaric menatap sang kakek bicara. Dia bicara ke sang kakek karena benar-benar sudah tak bisa membiarkan Gio berbuat seenaknya.“Apa kamu punya bukti kalau dia yang melakukannya?” tanya Bobby memastikan.Alaric menghela napas kasar, lantas duduk sambil mengus