Share

Demi Cuan, Aku Jadi Pelakor Bayaran
Demi Cuan, Aku Jadi Pelakor Bayaran
Penulis: Muthi Mozla

#1 - AMARAH IBU MERTUA

Kuburan Soleh, lelaki yang menikahi Rossa dua hari lalu, masih basah. Rossa alias Rosmalawati, hari ini kembali berziarah ke makam suaminya yang ketiga ini. Ia tidak menyangka bila nasib suami barunya ini akan sama seperti kedua suami sebelumnya. Karena kejadian berulang inilah akhirnya tersemat julukan untuk Rossa sebagai perempuan terkutuk. Meski sudah tiga kali menikah, perempuan itu masih perawan. Ketiga suaminya mati sebelum mereguk manisnya malam pertama pernikahan.

Kedua mata bulat wajah khas Arab itu masih sembab dan basah. Semalaman Rossa menangis. Seharian kemarin tak satu pun bulir nasi mengganjal perut kosongnya. Hanya air putih melepas dahaganya. Jemari Rossa mengelus lembut nissan papan kayu bertuliskan nama suaminya.

“Maafin Rossa, Bang. Karena menikahi Rossa, nasib abang menjadi sial begini,” lirih Rossa.

Lalu wanita itu berguncang bahunya. Ia menangis sesenggukan. Hingga tanpa disadari, sepasang kaki berbalut celana bahan panjang berwarna hitam sudah berdiri tepat di sebelahnya. Suara bass pemilik kaki itu mengucapkan salam. Rossa menoleh dan terperanjat kaget melihat siapa empunya kaki dan suara tadi. Dijawabnya salam itu sekenanya.

“Bang Rusydi? Kapan datang?” tanya Rossa dengan menyunggingkan seulas senyum tipis. Ia pernah menaruh harapan pada lelaki yang kini bertatap muka dengannya. Namun dengan kesadaran hatinya, Rossa memupuskan perasaannya sendiri tanpa pernah tahu bagaimana perasaan Rusydi padanya. Tapi memang pemuda itu terlihat berbeda dengan pemuda kampung lainnya. Rusydi sama sekali tidak terlihat tertarik pada Rossa yang memiliki paras paling cantik di desa ini.

“Semalam, Ros. Maaf abang telat datang setelah mendengar berita kepergian Soleh. Abang juga tidak bisa menghadiri acara sakral kalian berdua tempo hari karena padatnya aktivitas.” Pemuda itu menundukkan pandangannya lalu beralih memerhatikan gundukan tanah yang masih baru di hadapannya.

“Sebentar, ya, Bang Rusydi. Rossa pamitan dulu.” Rossa lalu sedikit membungkuk, mengairi makam dengan air mawar dan menaburi bunga-bunga di atasnya. Lalu perempuan itu mengucapkan salam ke makam suaminya dan berpamitan.

“Silakan berziarah, Bang Rusydi. Rossa pamit pulang duluan.” Rossa membetulkan letak kerudungnya seraya beranjak meninggalkan Rusydi tanpa sedikit pun menoleh. Perempuan itu tahu betul bagaimana menjaga sikap terhadap orang lain yang bukan mahrom setelah kematian suaminya.

Rusydi menoleh sesaat. Menatap nanar punggung wanita yang sudah tiga kali menjanda itu. Lalu fokusnya teralih kembali pada pekuburan sahabat karibnya sejak kecil, Soleh. Pemuda itu terlihat menundukkan kepalanya. Lalu ia menengadahkan kedua tangannya selayaknya mendoakan.

###

Setibanya di rumah, ibu mertua Rossa menyambut dengan wajah memerah dan mata melotot sangar. Kedua tangannya bertolak pinggang.

“Beraninya elu keluyuran keluar rumah tanpa izin gue, hah? Noh, cucian numpuk segunung. Dasar menantu nggak guna, pembawa sial!” Emak Nani masih mencak-mencak tanpa jeda. Omelannya diulang-ulang beberapa kali.

“Maafin, Rossa, Mak. Maaf, Mak.” Rossa meringis ketakutan dan meminta ampun. Seumur hidupnya belum pernah ia diperlakukan dengan kasar oleh kedua orang tuanya. Bahkan ayah tirinya, Pak Kasimin, juga bersikap lemah lembut terhadapnya.

“Maaf, maaf aja bisanya. Nggak becus ngurusin kerjaan rumah. Dasar anak TKW. Pergi aja lu ngerantau ke Arab nyusulin kuburan bapak kandung elu. Nerusin ilmu pembantu emak elu tuh. Mantu kagak guna emang.”

Rossa menerima dirinya dihinakan. Tapi bila sudah membawa nama kedua orang tuanya, dadanya bergemuruh menahan emosi. Bila bukan ibu mertua mungkin sudah ia balas segala makian terhadapnya ini.

“Tapi, Mak. Sebelum keluar rumah, Rossa sudah cuci semua piring yang kotor. Mungkin itu piring-piring kotor yang baru, Mak. Rossa juga keluar rumah hanya ke makam Bang Soleh. Rossa habis nyekar, Mak.”

“Halah, banyak alasannya. Gue nggak mau tahu. Tuh cucian udah numpuk lagi. Cucian baju sama setrikaan juga. Gue pulang dari pasar nanti semua kudu udah beres. Titik.” Selesai mengomel Mak Nani meloyor menuju kamarnya untuk mengambil jilbab kaus.

“Satu lagi. Ini yang perlu elu ingat terus. Anak gue mati itu gara-gara elu. Kalau nggak nikah sama elu, pasti dia masih hidup sampai sekarang. Ini sebab elu kasih racun buat anak gue.”

“Ya Allah, Mak. Rossa berani bersumpah, Mak. Rossa nggak ngelakuin apa-apa sama bang Soleh, Mak.”

“Bohong elu. Buktinya habis minum air botol yang elu kasih, Soleh mendadak gelagapan. Napasnya sesak. Pasti elu racunin, kan.” Mak Nani memelototi Rossa yang sudah semakin terisak dan berguncang bahunya. Rossa menggelengkan kepalanya dengan kuat. Ia yakin dirinya tak bersalah.

“Atau jangan-jangan, elu ini tukang santet ya? Kedua suami elu sebelum Soleh juga mati mendadak dan misterius. Pasti elu pakai ilmu guna-guna supaya awet muda, kan? Ngaku aja sama emak.” Mak Nani semakin menjadi-jadi menuduh Rossa sebagai tukang tenung. Benar-benar fitnahan wanita paruh baya yang mulutnya tajam melebihi silet itu begitu keji bukan main.

“Cukup, Mak. Cukup! Kasihan Rossa. Semua yang emak tuduhkan itu belum terbukti. Kita masih menunggu keputusan dari polisi.” Suara Rahma, kakak ipar Soleh, sedikit membuat Rossa lega. Perempuan berhijab itu mengusap bahu Rossa dengan lembut.

“Nggak usah sok-sokan ngebela perempuan terkutuk ini, Rahma. Kamu itu mantu kesayangan emak. Seharusnya kamu memihak pada emak. Bukan pada perempuan yang baru kamu kenal beberapa hari ini.” Mak Nani mencibir dengan sangat ketus. Rossa menyeka bulir air mata yang hampir terjatuh ke atas lantai.

“Rahma, antar emak ke pasar. Urusan rumah biar Rossa yang beresin.” Mak Nani menarik lengan baju Rahma dan menyeretnya meninggalkan rumah. Rahma sempat menoleh ke arah Rossa dan menatapnya dengan iba. Rossa hanya mengangguk, mengizinkan kakak iparnya pergi mengantar ibu mertua mereka.

Sepeninggal Mak Nani dan Rahma, Rossa bergegas mengerjakan apa yang dipesankan ibu mertuanya tadi. Cucian piring yang tiba-tiba kembali menggunung kini sudah bersih. Padahal sebelum berziarah ia sudah memastikan tidak ada satu pun peralatan kotor yang tersisa atau tertinggal. Entah ini ulah siapa.

Lalu bergegas Rossa memeriksa keranjang cucian pakaian kotor. Ada beberapa tumpuk baju, termasuk pakaian-pakaian mendiang suaminya yang nanti akan dibagikan. Sambil menunggu mesin cuci terairi dengan cukup, wanita itu memilah-milah. Setelah dirasanya cukup, ia pun merendam dan memutar knop pencuci. Beres dengan urusan pakaian kotor ini, lalu ia bergegas ke ruangan lain di mana setrikaan sudah menumpuk.

Rumah ini begitu besar untuk ukuran rumah perkampungan. Keluarga Mak Nani memang cukup kaya. Konon katanya hartanya tidak akan habis tujuh turunan. Di rumah ini banyak terdapat ruangan hingga membuat lelah jika harus membenahinya seorang diri.

Ketika kelelahan, Rossa menjadi mengantuk. Ia menguap beberapa kali. Ketika di puncak kepenatan, sayup-sayup ia mendengar sebuah suara menyebut namanya dengan lirih, sebelum akhirnya kedua mata bundarnya benar-benar terpejam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status