Rossa memandang sekitar, sayup-sayup suara memanggil namanya itu masih terdengar lirih. Suasana kemudian menjadi gelap berkabut. Ia melihat siluet wajah Soleh di tengah kabut gelap. Soleh memanggil namanya seraya meminta tolong. Jemarinya menggapai-gapai di kejauhan. Semakin Rossa mendekati, siluet itu semakin menjauh.
Tiba-tiba Rossa merasakan sekitarnya basah dan lembab. Rossa terbangun dan tersadar dari mimpinya.Ternyata ia tadi ketiduran saking lelahnya berbenah.Rupanya tubuhnya disiram air segayung oleh ibu mertua yang baru saja pulang dari pasar. Pantas Rossa merasakan tubuhnya basah. Lalu terlihat Rahma tergopoh-gopoh datang karena mendengar Mak Nani kembali mencak-mencak memarahi Rossa. Rahma terkejut melihat tumpukan pakaian yang selesai disetrika dengan rapi itu sudah basah. Begitu pun dengan pakaian Rossa yang kuyup. Ia juga melihat kemeja yang bolong karena setrika panas yang lupa dicabut.“Astaghfirullah, kemeja kerja Bang Ilyas. Rossa? Kamu ketiduran?” Rahma histeris. Wanita itu meraih kemeja yang bolong di bagian tengah badannya.Rossa gelagapan memandangi bergantian dua wanita di hadapannya yang memandangnya dengan tatapan berbeda. Rahma terlihat menahan emosi dan kesabarannya. Sementara Mak Nani dapat dipastikan emosinya semakin meluap.“Maaf, Mak, Teh Rahma. Rossa yakin tadi sudah mencabut kabel setrikanya.” Wajah memelas Rossa menjadi pias. Ia yakin Mak Nani tidak akan mudah percaya. Entah dengan Teh Rahma. Wanita yang biasanya penyabar terkadang sulit ditebak kemarahannya.“Ini elu bilang udah dicabut?” Mak Nani menunjuk steker setrika yang masih tercolok. Lampu indikator juga masih menyala. Bahkan setrika mengeluarkan uap karena menyebabkan kemeja Bang Ilyas, kakak Soleh, menjadi bolong.Mata Rossa mulai sembab. Entah mengapa begitu bencinya sang ibu mertua kepadanya. Ingin rasanya ia minta dipulangkan saja ke rumah kedua orang tuanya. Tapi Mak Nani melarangnya, sampai masa iddah Rossa selesai ia tak boleh meninggalkan rumahnya. Selama itu pula janda kembang ini wajib melakukan apa pun yang diperintahkan Mak Nani.Ilyas muncul di ambang pintu. Matanya memerah melihat kemeja kerja kebanggaannya bolong. Lantas ia mencak-mencak membabi buta.“Dasar perempuan jalang. Hanya karena aku tak ingin memuaskan hasratmu, kau tega melakukan ini. Dasar perempuan pembawa sial!” Satu tamparan keras mendarat di pipi Rossa yang mulai terlihat tirus. Lebam langsung membekas di kulit putihnya.Rahma yang mendengar penuturan suaminya dalam keadaan emosi meluap itu pun ternganga. “Apa maksudmu, Bang? Katakan!” Rahma mengguncang bahu suaminya.“Wanita ini berusaha menggodaku, Rahma. Perempuan yang selalu kau bela ini tak punya harga diri.” Ucapan Ilyas berapi-api, ia sengaja menyulit emosi istrinya yang lugu dan polos ini.“Kurang ajar kamu Rossa! Aku mati-matian bela kamu karena kupikir kamu gadis lugu dan baik hati. Ternyata kakak ipar sendiri kamu embat!” Kali ini Rahma menjambak rambut Rossa hingga acak-acakan. Berkali-kali ia dorong tubuh Rossa hingga tersungkur dan tak berdaya. Sementara Rossa sudah terisak dan sesenggukan. Tak berani melawan karena ia tahu Rahma dalam pengaruh fitnah dan emosi. Ia tak menyangka keluarga suaminya ini tega berbuat keji dengan melimpahkan berbagai fitnah. Mak Nani memperhatikan adegan itu dengan senyum puas terukir di sudut bibirnya sambil menyilangkan kedua tangannya di dada.“Ingat Rossa! Aku takkan pernah puas hingga kau mendapatkan yang setimpal dengan kematian anakku.” Mak Nani melengos dan berlalu pergi. Ilyas mendaratkan satu tendangan pada perut hingga Rossa meringis memegangi perutnya. Bulir air mata semakin deras mengalir. Rahma menatap iba, namun gemuruh kebencian dalam hatinya masih berapi-api. Ia termakan dan terhasut fitnahan suaminya tanpa disadarinya.Malamnya tubuh Rossa menggigil. Ia menghubungi nomor ponsel ayahnya, tapi nomor tidak aktif. Berkali-kali mencoba tapi tak juga tersambung. Akhirnya ia pasrah. Menahan semua kesakitan pada malam itu seorang diri. Karena kelelahan Rossa pun tertidur lelap.***Sesuatu menjalari kakinya, membuat Rossa terperanjat bangun dari tidurnya. Namun seorang berlengan tegap telah membekap mulutnya. Lampu kamar sepertinya dipadamkan oleh orang ini, karena Rossa ingat betul sebelum terlelap ia sama sekali tidak mematikan lampu.Namun dalam keremangan, Rossa bisa memastikan siapa pria yang menerobos masuk ke dalam kamarnya yang terkunci.“Diam kamu! Atau akan kubuat fitnahan terhadapmu lebih keji dari yang sudah kau terima tadi.” Suaranya begitu Rossa kenali. Siapa kalau bukan Ilyas? Dia satu-satunya lelaki yang tersisa di rumah ini. Dia juga pemegang anak kunci semua ruangan. Sialnya, Rossa lupa mengunci pintu dengan slot. Hingga lelaki biadab ini bisa leluasa menerobos masuk ke dalam kamarnya.Rossa meronta-ronta meminta dilepaskan dari bekapan. Tapi lelaki itu semakin bertenaga. Syukurlah terdengar suara langkah kaki menuju dapur yang jaraknya tidak jauh dari kamar Rossa. Perempuan itu berusaha mengeluarkan suara. Biasanya, Rahma rajin bangun tengah malam seperti ini untuk menunaikan salat malam.Menyadari suara langkah kaki yang dikenalnya, Ilyas gelagapan. Pria itu bergegas menuju jendela kamar untuk kabur keluar. Rossa merasa sangat bersyukur karena terbebas dari jeratan pria laknat itu.Pintu kamar Rossa terbuka. Rahma berdiri di ambang pintu. Dengan ketus ia bertanya, “kenapa kamu belum tidur?”“Aku terbangun, Teh Rahma. Mimpi buruk,” jawab Rossa sekenanya.“Kalau gitu, sekalian saja kamu berkemas. Setelah subuh nanti kamu harus meninggalkan rumah ini dengan cepat.” Rahma memberi perintah masih dengan nada bicara yang ketus.“Tapi ibu pasti melarang, Teh. Aku baru dibolehkan meninggalkan rumah ini setelah masa iddah selesai.”Rahma melangkah masuk dan mendekat. Ia duduk di tepi ranjang yang Rossa tiduri.“Aku tahu sebenarnya kamu tidak bersalah. Semua hal yang terjadi tadi adalah akal-akalan ibu dan bang Ilyas saja. Maaf, kalau aku sudah bertindak kasar terhadapmu. Sejujurnya aku memang cemburu. Bang Ilyas selalu menatapmu penuh nafsu, Rossa. Makanya aku tidak ingin kau ada di rumah ini. Lebih cepat lebih baik. Urusan ibu, biar aku yang tangani.”Rahma bangkit berdiri. Jemari Rossa menggenggam jemarinya hingga langkahnya terhenti.“Teh, makasih bantuannya. Rossa tahu teteh adalah orang baik. Teteh masih punya hati nurani yang tulus.” Rossa lalu mengecup takjim punggung tangan perempuan yang belum juga dikaruniai anak itu. Rahma hanya mengangguk cepat dan bergegas keluar kamar.Seperti biasa, Rahma selalu menunaikan ibadah salat malam jika terbangun tengah malam. Dalam setiap sujudnya terselip doa supaya ia dikuatkan tetap berada di keluarga seperti neraka ini. Demi suatu maksud yang tak orang lain ketahui.***Sesuai intruksi Rahma, selesai berkemas Rossa sudah bersiap untuk minggat dari rumah terkutuk itu. Tidak perlu menunggu waktu subuh. Kebetulan barang-barangnya pun tidak banyak. Hanya beberapa pasang pakaian.Syukurlah sang ayah sudah kembali aktif ponselnya. Rossa meminta ayah tirinya itu untuk menjemput di ujung gang. Dengan mengendap, Rossa berjalan menuju pintu depan yang sengaja tidak dikunci oleh Rahma. Sementara Rahma ikut mengawasi sambil berpura-pura masih berzikir. Ia sengaja salat di ruang tengah, tidak di musala. Perempuan itu sudah memastikan bila suami dan ibu mertuanya masih terlelap tidur. Rahma pun memberi kode sebagai pertanda aman.Cepat-cepat Rossa keluar dari rumah itu. Melewati pekarangan yang pintu pagarnya sudah terbuka lebar. Rahma benar-benar sudah mempersiapkan pelarian dirinya. Perempuan itu juga mengawasi di ambang pintu depan. Memastikan bila tidak ada penghuni rumah yang menyadari kepergian Rossa. Setelah Rossa tak terlihat punggungnya, ia segera mengunc
Rossa membantu Inah menyiapkan perlengkapan jualan sarapan. Bila pagi, Inah menjual menu sarapan dan kue-kue basah titipan tetangga. Ada nasi uduk, kupat sayur dan aneka gorengan. Kue-kue basah titipan tetangga ada papais pisang, kue cantik manis, kue lumpur dan aneka macam lainnya. Sejak fajar mulai menyingsing pembeli sudah ramai.Ada satu pembeli berpakaian necis yang sepertinya sudah berlangganan. Usianya sekitar empat puluh tahunan. Ia terlihat akrab dengan Inah. Begitu melihat Rossa yang melayaninya, pria itu tampak sangat tertarik. “Siapa ini, Bi Inah?” tanya lelaki yang diketahui bernama Basir itu setengah berbisik.“Keponakan saya, Pak Basir. Awas, ya, jangan macam-macam. Ingat loh, di rumah sudah ada empat istri. Yang kelima haram,” ujar Inah tegas. Basir terkekeh mendengar sindiran dan kode keras dari Inah.“Kan bisa dicerai salah satunya, biar tetap empat,” kilah lelaki hidung belang itu.“Jangan gitu loh, Pak Basir. Hati-hati karma. Apalagi anak Pak Basir kan perempuan
Lampu indikator ponsel pertanda pesan masuk menyala. Rossa mengecek ponselnya dan membuka aplikasi WhatsApp. Kasimin mengirimkan pesan.[Mak Nani dan Ilyas datang ke rumah mencarimu, Nak. Mereka menuntut ganti rugi atas mahar yang Soleh berikan sebesar 30 juta. Bapak bingung, bagaimana mencari uang sebanyak itu. Tapi bapak akan mencari bantuan. Kamu di sana jaga-jaga dan lebih waspada, ya, Nak. Salam dari ibunu. Doa kami selalu menyertai.]Wajah Rossa berubah mendung setelah membaca pesan yang masuk. Membuat Inah mencurigainya. Inah khawatir keponakannya mendapat masalah besar.“Ada apa, Rossa?’ tanya Inah sambil menutup buku rincian penjualan pulsa.“Nggak apa-apa, Bi. Rossa hanya khawatir terhadap kedua orang tua di rumah. Mak Nani dan Ilyas pasti akan mencari keberadaan Rossa.” Mendengar penuturan Rossa, Inah turut prihatin. Wanita itu tahu betapa perihnya kehidupan gadis itu sejak kecil. Dari dalam kandungan, ayah kandungnya yang asli Arab dikabarkan wafat. Rossa hanya mampu melih
Rossa memasuki pekarangan rumah bergaya Eropa yang begitu luas. Taman tertata dengan apik dan cantik. Setelah berjalan beberapa langkah dari gerbang, kakinya menapak di atas lantai berlapis marmer. Pilar-pilar besar berdiri kokoh di beranda teras yang dipijaknya ini. Rossa begitu takjub dengan kemegahan rumah yang baginya seperti istana ini. Dengan diantar satpam, Rossa dipertemukan dengan pemilik rumah.Anwar dan istrinya yang sangat cantik membukakan pintu utama dan menyambut Rossa dengan kehangatan. Begitu melangkah masuk, sorot mata Rossa berbinar karena takjub. Interior rumah bergaya klasik ini begitu mewah dan elegan. Ada sofa besar berjajar membentuk oval di ruang tamu yang megah ini. Anwar mempersilakan Rossa untuk duduk. Kemudian datang asisten rumah tangga berusia paruh baya membawa nampan berisi suguhan minuman dan makanan ringan.“Silakan dicicipi,” tawar istri Anwar dengan senyum dikulum. Nona muda di hadapan Rossa ini memindai penampilan Rossa dari ujung rambut hingga u
Di sebuah rumah di tengah kota ....Sudah sekitar seminggu Rossa menjalankan misi yang diberikan Anwar dan Jelita padanya. Andra bisa beberapa kali menghubungi gadis berparas cantik khas Timur Tengah itu dalam sehari. Dosisnya bahkan bisa melebihi minum obat. Seolah kecantikan Rossa membuatnya candu. Bahkan di tengah kesibukan pria itu bekerja, ia menyempatkan untuk melakukan video call dengan gadis itu.Tidak hanya di kantor, saat di rumah setelah menunggu istrinya tidur, Andra akan menyempatkan diri menelepon Rossa. Suara gadis itu terasa menggoda di pendengarannya. Tak ayal Andra terkadang membayangkan paras cantik rupawan itu tengah bercinta dengannya.Awalnya Devina tidak menyadari keanehan tingkah suaminya. Namun beberapa hari belakangan pria itu bersikap sangat romantis. Devina yang sudah hafal di luar kepala gelagat suaminya akhirnya menaruh curiga. Ia teringat gadis cantik yang dilihatnya beberapa waktu lalu di sebuah kafe. Saat itu pandangan Andra seolah tak ingin terlepas
Rossa tidak dapat berlama-lama di rumah orang tuanya. Ia hanya menjenguk ibunya lalu memberi sejumlah uang. Rossa meminta supaya rumah mereka direnovasi segera karena begitu iba melihat ibunya berbaring lemah di lantai. Di hari itu juga ia mengirimkan kasur busa dengan tebal 30 senti supaya kedua orang tuanya bisa tidur dengan nyaman.Sebelum keluar dari desa, mobil Jazz yang ditumpangi Rossa dihadang beberapa pria bertopeng dan bersenjata tajam. Pak Rudi mengerem mendadak hingga membuat Rossa yang sedang melayani chat dari Andra terlonjak kaget. Pria itu gemetaran. Rossa pun terlihat panik saat melihat dua pemuda memaksa Pak Rudi membuka kunci pintu dengan mengetuk-ketuk kaca. Sementara dua lainnya masih menghadang di depan.Dua orang tadi segera membuka pintu belakang dan menarik tubuh Rossa keluar. Sementara Pak Rudi dibekap hingga pingsan. Rossa menjerit meminta tolong. Tapi suasana jalanan begitu sepi.Gadis itu diseret menuju kebun di pinggir jalan. Rossa memberontak. Akhirnya s
Saat di klinik kemarin Rossa meminta izin Kasimin agar ibunya untuk sementara waktu ikut tinggal bersamanya. Sambil menunggu renovasi rumah sederhana mereka selesai. Hari ini hari pertama rumah bilik penuh kenangan itu akan dibongkar dan menjelma menjadi bangunan permanen, seperti rumah lainnya di desa itu.Melihat interior kamar apartemen yang ditempati Rossa, kedua bola mata Jubaedah membulat sempurna. Ia teringat kemegahan rumah majikannya di Tanah Arab dulu. Jubaedah duduk di atas sofa dengan bantalan yang sangat empuk. Jauh berbeda dengan kasur lantai berbusa tipis yang menjadi alasnya tidur.Meskipun apartemen ini bukan milik putrinya, tapi ia begitu bersyukur Rossa bekerja pada orang yang dianggapnya tepat. Walaupun hingga saat itu dirinya belum tahu pekerjaan apa yang dijalani gadis keturunan Arab itu.“Bosmu pasti orang yang sangat baik, Ros. Sepertinya ibu akan nyaman tinggal bersamamu di sini.” Jubaedah mengelus lembut kulit sofa yang didudukinya. Orang kaya di desanya pun
Beberapa panggilan masuk dari Andra tidak sempat Rossa angkat karena sibuk mengantarkan dan menemani Jubaedah check up di salah satu rumah sakit. Ternyata ibunya memiliki flek di paru-parunya sehingga harus mendapatkan pengobatan selama beberapa bulan ke depan.Setelah check up, Rossa membawa ibunya pulang ke apartemen. Ia sudah memesan menu masakan untuk santapan makan siang ibunya. Rossa juga baru saja menyewa asisten untuk mengurus keperluan ibunya bila dirinya sedang keluar menjalankan tugas.Setelah memastikan segala keperluan ibunya tersedia, gadis itu berpamitan. Segera Rossa menemui Pak Rudi yang sudah menunggunya di lobby. Mereka pun segera meluncur dengan Jazz merah dan menuju sebuah kafe. Di sana ia akan menemui Andra. Pria itu sudah tidak tahan ingin segera bertemu dengan Rossa yang beberapa hari belakangan ini sulit dihubungi.“Halo, Beb. Aku rindu berat padamu,” ujar Andra gombal ketika Rossa menghampirinya. Pria itu mengecup punggung telapak tangan Rossa yang lembut. M