Share

#2 - FITNAH

Rossa memandang sekitar, sayup-sayup suara memanggil namanya itu masih terdengar lirih. Suasana kemudian menjadi gelap berkabut. Ia melihat siluet wajah Soleh di tengah kabut gelap. Soleh memanggil namanya seraya meminta tolong. Jemarinya menggapai-gapai di kejauhan. Semakin Rossa mendekati, siluet itu semakin menjauh.

Tiba-tiba Rossa merasakan sekitarnya basah dan lembab. Rossa terbangun dan tersadar dari mimpinya.

Ternyata ia tadi ketiduran saking lelahnya berbenah.

Rupanya tubuhnya disiram air segayung oleh ibu mertua yang baru saja pulang dari pasar. Pantas Rossa merasakan tubuhnya basah. Lalu terlihat Rahma tergopoh-gopoh datang karena mendengar Mak Nani kembali mencak-mencak memarahi Rossa. Rahma terkejut melihat tumpukan pakaian yang selesai disetrika dengan rapi itu sudah basah. Begitu pun dengan pakaian Rossa yang kuyup. Ia juga melihat kemeja yang bolong karena setrika panas yang lupa dicabut.

“Astaghfirullah, kemeja kerja Bang Ilyas. Rossa? Kamu ketiduran?” Rahma histeris. Wanita itu meraih kemeja yang bolong di bagian tengah badannya.

Rossa gelagapan memandangi bergantian dua wanita di hadapannya yang memandangnya dengan tatapan berbeda. Rahma terlihat menahan emosi dan kesabarannya. Sementara Mak Nani dapat dipastikan emosinya semakin meluap.

“Maaf, Mak, Teh Rahma. Rossa yakin tadi sudah mencabut kabel setrikanya.” Wajah memelas Rossa menjadi pias. Ia yakin Mak Nani tidak akan mudah percaya. Entah dengan Teh Rahma. Wanita yang biasanya penyabar terkadang sulit ditebak kemarahannya.

“Ini elu bilang udah dicabut?” Mak Nani menunjuk steker setrika yang masih tercolok. Lampu indikator juga masih menyala. Bahkan setrika mengeluarkan uap karena menyebabkan kemeja Bang Ilyas, kakak Soleh, menjadi bolong.

Mata Rossa mulai sembab. Entah mengapa begitu bencinya sang ibu mertua kepadanya. Ingin rasanya ia minta dipulangkan saja ke rumah kedua orang tuanya. Tapi Mak Nani melarangnya, sampai masa iddah Rossa selesai ia tak boleh meninggalkan rumahnya. Selama itu pula janda kembang ini wajib melakukan apa pun yang diperintahkan Mak Nani.

Ilyas muncul di ambang pintu. Matanya memerah melihat kemeja kerja kebanggaannya bolong. Lantas ia mencak-mencak membabi buta.

“Dasar perempuan jalang. Hanya karena aku tak ingin memuaskan hasratmu, kau tega melakukan ini. Dasar perempuan pembawa sial!” Satu tamparan keras mendarat di pipi Rossa yang mulai terlihat tirus. Lebam langsung membekas di kulit putihnya.

Rahma yang mendengar penuturan suaminya dalam keadaan emosi meluap itu pun ternganga. “Apa maksudmu, Bang? Katakan!” Rahma mengguncang bahu suaminya.

“Wanita ini berusaha menggodaku, Rahma. Perempuan yang selalu kau bela ini tak punya harga diri.” Ucapan Ilyas berapi-api, ia sengaja menyulit emosi istrinya yang lugu dan polos ini.

“Kurang ajar kamu Rossa! Aku mati-matian bela kamu karena kupikir kamu gadis lugu dan baik hati. Ternyata kakak ipar sendiri kamu embat!” Kali ini Rahma menjambak rambut Rossa hingga acak-acakan. Berkali-kali ia dorong tubuh Rossa hingga tersungkur dan tak berdaya. Sementara Rossa sudah terisak dan sesenggukan. Tak berani melawan karena ia tahu Rahma dalam pengaruh fitnah dan emosi. Ia tak menyangka keluarga suaminya ini tega berbuat keji dengan melimpahkan berbagai fitnah. Mak Nani memperhatikan adegan itu dengan senyum puas terukir di sudut bibirnya sambil menyilangkan kedua tangannya di dada.

“Ingat Rossa! Aku takkan pernah puas hingga kau mendapatkan yang setimpal dengan kematian anakku.” Mak Nani melengos dan berlalu pergi. Ilyas mendaratkan satu tendangan pada perut hingga Rossa meringis memegangi perutnya. Bulir air mata semakin deras mengalir. Rahma menatap iba, namun gemuruh kebencian dalam hatinya masih berapi-api. Ia termakan dan terhasut fitnahan suaminya tanpa disadarinya.

Malamnya tubuh Rossa menggigil. Ia menghubungi nomor ponsel ayahnya, tapi nomor tidak aktif. Berkali-kali mencoba tapi tak juga tersambung. Akhirnya ia pasrah. Menahan semua kesakitan pada malam itu seorang diri. Karena kelelahan Rossa pun tertidur lelap.

***

Sesuatu menjalari kakinya, membuat Rossa terperanjat bangun dari tidurnya. Namun seorang berlengan tegap telah membekap mulutnya. Lampu kamar sepertinya dipadamkan oleh orang ini, karena Rossa ingat betul sebelum terlelap ia sama sekali tidak mematikan lampu.

Namun dalam keremangan, Rossa bisa memastikan siapa pria yang menerobos masuk ke dalam kamarnya yang terkunci.

“Diam kamu! Atau akan kubuat fitnahan terhadapmu lebih keji dari yang sudah kau terima tadi.” Suaranya begitu Rossa kenali. Siapa kalau bukan Ilyas? Dia satu-satunya lelaki yang tersisa di rumah ini. Dia juga pemegang anak kunci semua ruangan. Sialnya, Rossa lupa mengunci pintu dengan slot. Hingga lelaki biadab ini bisa leluasa menerobos masuk ke dalam kamarnya.

Rossa meronta-ronta meminta dilepaskan dari bekapan. Tapi lelaki itu semakin bertenaga. Syukurlah terdengar suara langkah kaki menuju dapur yang jaraknya tidak jauh dari kamar Rossa. Perempuan itu berusaha mengeluarkan suara. Biasanya, Rahma rajin bangun tengah malam seperti ini untuk menunaikan salat malam.

Menyadari suara langkah kaki yang dikenalnya, Ilyas gelagapan. Pria itu bergegas menuju jendela kamar untuk kabur keluar. Rossa merasa sangat bersyukur karena terbebas dari jeratan pria laknat itu.

Pintu kamar Rossa terbuka. Rahma berdiri di ambang pintu. Dengan ketus ia bertanya, “kenapa kamu belum tidur?”

“Aku terbangun, Teh Rahma. Mimpi buruk,” jawab Rossa sekenanya.

“Kalau gitu, sekalian saja kamu berkemas. Setelah subuh nanti kamu harus meninggalkan rumah ini dengan cepat.” Rahma memberi perintah masih dengan nada bicara yang ketus.

“Tapi ibu pasti melarang, Teh. Aku baru dibolehkan meninggalkan rumah ini setelah masa iddah selesai.”

Rahma melangkah masuk dan mendekat. Ia duduk di tepi ranjang yang Rossa tiduri.

“Aku tahu sebenarnya kamu tidak bersalah. Semua hal yang terjadi tadi adalah akal-akalan ibu dan bang Ilyas saja. Maaf, kalau aku sudah bertindak kasar terhadapmu. Sejujurnya aku memang cemburu. Bang Ilyas selalu menatapmu penuh nafsu, Rossa. Makanya aku tidak ingin kau ada di rumah ini. Lebih cepat lebih baik. Urusan ibu, biar aku yang tangani.”

Rahma bangkit berdiri. Jemari Rossa menggenggam jemarinya hingga langkahnya terhenti.

“Teh, makasih bantuannya. Rossa tahu teteh adalah orang baik. Teteh masih punya hati nurani yang tulus.” Rossa lalu mengecup takjim punggung tangan perempuan yang belum juga dikaruniai anak itu. Rahma hanya mengangguk cepat dan bergegas keluar kamar.

Seperti biasa, Rahma selalu menunaikan ibadah salat malam jika terbangun tengah malam. Dalam setiap sujudnya terselip doa supaya ia dikuatkan tetap berada di keluarga seperti neraka ini. Demi suatu maksud yang tak orang lain ketahui.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status