“Apa-apaan sih!” celetuk Belangi. Memang, bunga mawar merah yang sudah bertengger di atas meja kerjanya itu merupakan bunga kesukaannya. Harumnya pun sangat semerbak, sepertinya baru dipetik subuh tadi. Semangat beraktifitas, sebuah ucapan ikut menambah sakralnya perasaan pengirim bunga tersebut. Belangi duduk di kursi empuknya, menatap tabu mawar merah kesukaannya itu. Pasti si arogan itu, pikirnya. Kemarin saja, ia memeluk Belangi tanpa izin. Memang karena sebuah kecelakaan sih, saat Belangi hampir saja terjatuh karena menyusun buku-bukunya. Tapi lelaki itu bisa saja mencari kesempatan dalam kesempitan, Belangi masih sangat yakin. “Ini tugas kamu hari ini!” sebuah lemparan beberapa lembaran kertas sontak mengejutkan lamunannya. Belangi memeriksanya, memastikan apa yang tertulis di dalamnya. Ternyata sebuah roster yang masih bentrok sana-sini. Banyak jam mengajar guru yang berbenturan dan tidak sesuai dengan yang
“Kamu tidak bisa diterima lagi di rumah ini!” pungkasnya. Jeremba terdiam. Baru saja ia menduduki kursi lusuh di rumah yang sejak kecil ia tinggali itu. Namun bentakan Bu Mah, membuatnya tercengang. Padahal niat hati ingin melangkah ke dapur untuk sekadar menuang secangkir air putih, sejak satu jam yang lalu ia sudah kehausan. Tapi ia urungkan. Ia harus memastikan apa yang baru saja ia dengar. “Maksud ibu?” Jeremba bertanya, matanya membulat sempurna. Memang, ia belum mengingat sosok ibu yang ada di hadapannya itu. Tapi ikatan batin yang terjalin di antara keduanya membuat Jeremba yakin bahwa Bu Mah adalah ibu kandungnya. Ditambah lagi jika memperhatikan caranya merawat Jeremba saat di rumah sakit, tak bisa diragukan lagi bahwa sosok wanita yang ada di hadapannya tak lain adalah ibu yang telah melahirkannya. Tapi mengapa ia berubah? “Masih kurang jelas yang ibu sampaikan barusan?” ia terlihat enggan mengulangnya kembali. Jere
Jangan bilang dia! Belangi mengutuk dirinya sendiri jika memang benar tua bangka itu yang meletakkan mawar di mejanya. Lelaki itu dipanggil Bang Jal. Belangi sangat risih melihatnya, karena Bang Jal yang punya kekurangan monohok, yaitu ompong. “Aku juga gak bisa terima jika memang Bang Jal yang menaruh bunga itu!” ucap Husna dengan santainya sambil mencium bunga yang harumnya masih semerbak. Husna juga merupakan guru baru di sekolah Osa. Usianya 2 tahun lebih mudah dari Belangi. Ia cukup cerdas, lulusan terbaik dari Universitas Indonesia. Bahkan beberapa kali ia memenangkan olimpiade tingkat nasional saat menduduki bangku SMA. Wajar saja jika Osa menerimanya tanpa pertimbangan. Tapi yang terpenting bagi Osa bukan hanya kepintaran Husna. Wanita bertubuh langsing, berkulit putih, juga tinggi yang ideal dengan lekuk tubuhnya, membuat Osa cukup yakin untuk menerimanya sebagai guru matematika. “Tapi btw enak ya jadi orang cantik!”
“Kamu pikir orang-orang akan peduli?” pertanyaan Gundi membuat Jeremba berpikir. Benar juga, siapa yang akan peduli dengan semua penderitaan yang akan ia pikul? Kembali hidup miskin tanpa uang sepeser pun. Bagaimana ia bisa menanggung hidupnya sendiri? Kesungguhan Gundi, membuatnya menemukan madunya itu yang sedang duduk di halte pinggir jalan. Sebotol minuman dingin yang dibawa Gundi ikut melegakan kerongkongan Jeremba yang memang sudah dari beberapa jam yang lalu begitu kehausan. “Tapi aku gak bisa menerima kenyataan!” Jeremba masih kekeh dengan pendiriannya. “Pendirian apa?” Gundi ingin Jeremba menerjemahkannya lebih rinci. Jeremba menghela napas, sambil tersenyum ke arah madunya itu. Rasanya percuma saja menjelaskannya, Gundi sudah tahu segalanya. Jeremba yang terjebak dalam pikirannya sendiri merasa tak lagi kuat bersandiwara dan meneruskan perannya sebagai istri Rama. “Kamu lihat sendiri kan, bah
“Dasar cowok dolar!” cecar Husna. Itu gelar yang sudah lima tahun ini disandang oleh Raka. Guru-guru di sekolah dengan sengaja menyematkan panggilan tersebut kepadanya karena setiap sesuatu yang dilakukan Raka pasti ujung-ujungnya bermuara pada uang. Seperti saat ini, ia akan mengatakan siapa yang menanggalkan bunga mawar merah itu di meja Belangi jika ia bersedia memberinya sejumlah uang. “Gak banyak-banyak kok!” sahut Raka. “seratus ribu saja! Itu pun karena teman!” sambungnya lagi sambil tersenyum manis. Husna geram melihat rekan kerjanya itu. Kemarin saja, saat Husna meminta lelaki itu mengajarinya mengisi PMM, ia harus mengeluarkan uang seratus ribu rupiah sebagai upah. Seharusnya sesama rekan kerja saling membantu, pikir Husna. “Nih!” Husna menempelkan selembar uang kertas berwarna merah di dahi lelaki yang membuatnya panas itu. “Eh, gak usah bayar Na!” Belangi mencoba menghentikan Husna, namun terlambat, lelaki itu sud
“Masih berani kembali ke rumah ini?” Ratu menyindir. Jeremba hanya terdiam, ia termakan ucapannya sendiri. Membiarkan Ratu berkata sesuka hatinya sepertinya lebih baik dari pada beradu mulut. “Sudah! Tidak ada yang boleh menghina istriku lagi!” pekik Rama. Ia mempersilakan Jeremba duduk. Perlakuannya dengan sangat sopan dan lemah lembut. Jeremba tak tahu harus berkata apa, ia merasa sedikit bersalah. Jeremba kini tahu mengapa ketiga madunya yang lain sangat mencintai suaminya. Rama sosok lelaki yang romantis dan begitu menyayangi istri-istrinya. Wanita mana yang tidak ingin dicintai? Setiap wanita pasti ingin disayangi dan diutamakan oleh suaminya. Tapi tidak dengan Jeremba, ia merasa tidak butuh semua itu. “Kamu mau tinggal kembali di sini kan, Sayang?” pinta Rama, seraya merangkul kedua tangan istri keempatnya itu. Rama sudah sangat merendahkan dirinya di depan Jeremba. Bahkan ketika sudah sangat dipermalukan pun, ia masih memelas. Ber
“Aku yang menaruh bunga itu di atas meja Belangi!” ucap Osa yang tiba-tiba saja muncul. Semua saling menatap satu sama lain. Mereka mulai menerka-nerka apa yang terjadi pada lelaki arogan itu. Husna menyinggung bahu Belangi, seraya meninggikan sedikit alisnya dan mengangkat dagunya ke arah teman kerjanya itu. Tapi Belangi justru dibuat heran dengan bahasa tubuh Husna, ia sendiri tidak yakin tentang kebenaran yang diungkap Osa. Bahwa ternyata dia lah yang menanggalkan bunga mawar merah itu di meja kerja Belangi. “Kamu serius?” Lusi tak bisa berdiam diri, ia merasa perlu mengklarifikasi apa yang ia dengar beberapa detik yang lalu. Belangi masih mengerutkan keningnya. Osa yang beberapa jam yang lalu kekeh mengakui bukan ia yang menaruh bunga tersebut, kini mengeluarkan kalimat sebaliknya. Osa menghela napas pelan. “Ia benar, aku bukan tipe lelaki yang suka berubah pikiran!” ucap Osa tanpa basa-basi. “kenapa? Kamu gak suka?” samb
Teriakannya pagi ini membuat seisi rumah khawatir. Tapi, mana mungkin mereka masuk begitu saja ke kamar majikannya? Terlihat dua asisten rumah tangga sedang saling beradu pendapat di depan kamar Jeremba. “Ada apa ini?” Rama muncul dan segera mengetuk pintu kamar istrinya. Kekhawatiran terlihat jelas di wajahnya. Diikuti ketiga madunya. “Saya gak tahu, Pak. Tiba-tiba saja ada teriakan kuat dari kamar ibu!” ucap salah satu dari keduanya. Berulang kali Rama memanggil tapi tak ada jawaban. Ia tak bisa menunggu lebih lama lagi. Mundur beberapa langkah, ia bersiap untuk mendobrak pintu kamar Jeremba. “Kamu gak apa-apa?” tanya Rama, tergesa-gesa ia menyentuh kedua bahu istrinya yang kemudian ditepis oleh Jeremba. Untung saja ia segera membuka pintu, jika tidak, boleh jadi tubuh mungilnya telah terhempas jauh oleh tendangan Rama. Jeremba menekan keningnya, lalu mengusapnya ke seluruh wajah. Ia terlihat sedang kebingungan. Bagaimana t