Jeremba tak berhenti menyesali keputusannya kembali ke rumah Rama. Ia sering menyendiri dan melamun di teras. Kadang di keramaian pun ia tak bergeming. Rasanya tak sanggup membayangkannya, ia tak terima diperlakukan seperti itu. “Ini pemerkosaan, Gundi!” suaranya meninggi saat Gundi meyakinkannya bahwa itu tidak mungkin terjadi di rumah Rama. Ya, jelas saja, mana ada yang berani masuk ke kamar majikannya dan melakukan perbuatan yang bisa menjeratnya ke penjara. Lagi pula, tak ada yang mencurigakan dari puluhan asisten rumah tangga yang ada di rumah megahnya itu. “Lantas siapa?” Gundi memeluk tubuhnya sendiri sambil mondar-mandir di depan Gundi yang sedang terduduk lemas di teras belakang. Secangkir kopi menemaninya sore ini. Kopi yang dibuatnya sendiri. Sejak kehilangan ingatannya, ia sering melakukan apa pun sendirian, tanpa mengandalkan asisten rumah tangganya. Jika diingat-ingat, hilangnya ingatan Jeremba mengembalikannya pada jati di
“Ambil ini!” Osa melempar sebuah map biru, hampir saja semua isi dokumen di dalamnya berhamburan. Sangat tidak sopan, untung saja Belangi menyambutnya lemparan tersebut dengan sempurna. “Apa ini?” Belangi menatap lelaki yang sedang bersantai di sofa ruang kerjanya. Bukan hanya duduk, tapi ia juga ikut merebahkan tubuhnya dan menaikkan sepatunya ke sofa. Belangi tak ingin menghentikannya, karena percuma. Toh ia bos di sekolah ini, dengan wataknya yang arogan, rasanya tidak mungkin berdiskusi, apalagi hanya tentang sofa yang kotor akibat debu yang menempel di sepatunya. “Setahuku, jika seseorang yang benar-benar pintar tidak akan banyak tanya!” sahutnya. Lagi-lagi ia memancing kesabaran Belangi. Tapi dengan sabar, Belangi mencoba tenang. Sempat ia berpikir, kenapa seolah ia diperlakukan semena-mena oleh lelaki yang bahkan baru ia kenal? Dan mengapa ia harus menerimanya begitu saja? Entahlah, terkadang Belangi merasa tak ingin melanjutkan p
“Apa?” Jeremba terkejut mendengar penjelasan madunya. Berani sekali Rama menyakiti wanita yang begitu setia padanya, pikir Jeremba. Tak terlihat sedikit pun raut wajah sedih atau menyesal. Gundi terlihat biasa saja. Perasaan seperti itu yang selalu membuat Jeremba merasa aneh dengan semua madunya. Istri yang ikhlas dan ridho atas apa pun yang dilakukan suaminya. Seperti ketika Rama sering menghabiskan malam bersama Haura di hotel, ketiga madunya tak pernah mempermasalahkan semua itu. Sedangkan menurut Jeremba, itu sangat tidak wajar. Mana ada istri yang membiarkan suaminya berselingkuh? Ini di luar nalar Jeremba. “Biar aku saja yang menggantikanmu!” tawar Jeremba. Ia dengan suka rela bersedia menggantikan Gundi untuk bercerai dengan Rama. Agar Rama bisa segera menikahi Haura, wanita yang telah dikencaninya selama enam bulan ini. Jeremba pikir ini adalah salah satu kesempatan baik, jika Gundi bersedia bertukar peran dengannya maka semua y
“Aku akan membantumu membalas dendam!” Sontak Harsa kaget. Ia tak percaya lelaki itu sudah tahu banyak tentangnya. Dari mana lelaki arogan itu mengetahui semuanya? Awalnya, Harsa mengira ia dipanggil ke sebuah ruangan bawah tanah untuk sekadar membersihkan ruangan kuno yang terlihat berdebu. Ternyata salah, lelaki yang ada di hadapannya malah melamarnya. Apa ia sudah tidak waras?, pikirnya. Bagaimana tidak, lelaki tampan dengan parasnya yang memesona, tinggi badan yang ideal untuk seorang lelaki bertubuh kekar, mustahil menyukainya yang memiliki wajah seperti monster. “Aku rasa tawaranku sudah lebih dari cukup untuk membayar upah atas pernikahan kontrak yang aku minta!” ia menyeruput secangkir kopi di hadapannya. “bahkan hidupmu akan lebih mudah jika menerimanya!” sambungnya. Ya, memang itu lebih dari cukup. Tapi Harsa khawatir, ia curiga ada rencana lain yang terselubung. Apalagi masa lalu banyak mengajarinya unt
“Apa salahnya menikahi seorang bandar narkoba?” monolognya. Sambil bercermin, sekadar melihat gambar diri untuk memastikan penampilannya sudah memukau, ia berusaha menafsirkan sendiri keputusan yang telah diambilnya."Jeremba, sudah waktunya!"Bibi mulai mengingatkannya untuk keluar dari kamar. Ia harus menyaksikan dengan matanya sendiri proses ijab-kabul ini. Sebagai bukti hatinya yakin dengan keputusan yang dipercaya merupakan sebuah keputusan terbaik.Beberapa bibir mulai berbisik, sayup-sayup ia bisa membaca pergerakan mereka. Ya, ia paham tak mungkin mengatupkan semua mulut untuk menerima keputusan ini. Mungkin bagi mereka ini adalah aib yang lantas menjadi adopsi publik.Ia menikah dengan seorang bandar narkoba.Keputusan ini diambil dengan sangat sadar, ia lelah hidup miskin. Toh pernikahan yang sebelumnya berakhir bukan karena keinginannya sendiri. Apa salahnya Jeremba mencari kebahagian lain setelah semua luka menghampiri?"Apapun yang terjadi nantinya, kamu harus
“Gila! Aku harus menikahi seorang pengidap HIV?” hati Harsa mulai tak bisa menerima kenyataan ini. Apa kali ini, lagi-lagi demi uang, ia harus mengorbankan hidupnya? Pikiran Harsa semakin jauh, ia sedang berpikir sejauh mana kebebasan seksual yang dijalani Osa sampai ia harus mengidap penyakit mematikan itu. Atau mungkin ia adalah pecandu narkoba? Uang memang bisa mengubah segalanya, pikir Harsa. Dengan uang, tentunya seorang Osa Mahendra dapat membeli apa yang ia inginkan dengan mudah. Apa lagi ia yang menjalani masa pendidikan pasca sarjana di Amerika, tentunya hidup glamor dan bebas. Kebebasan itu yang kini menjadi mala petaka berkepanjangan baginya. Bahkan menurut info yang ia dapat, ia memutuskan hubungan sebelah pihak dengan gadis yang nyaris menjadi istrinya. Padahal kedua belah pihak keluarga sudah siap menuju panggung pelaminan. Tanpa alasan yang jelas, Osa memutuskan untuk berpisah. Tapi kini Harsa tahu
Empat tahun menjadi istri Rama bukanlah waktu yang singkat. Selama itu pula Jeremba tak lagi menemukan dirinya yang dulu. Saat ini ia bak sosialita yang disibukkan dengan berbagai kegiatan donasi, kegiatan yang diyakini sebagai alat pencucian uang.Selama empat tahun ini juga ia telah menyelesaikan gelar sarjananya. Gadis lulusan SMP itu sudah mengambil paket C dan melanjutkan kuliah di jurusan pendidikan. Tak masalah meskipun prosesnya dilalui dengan perantara uang haram, yang terpenting baginya adalah menemukan kebahagian yang ia mimpikan.Hari ini, di sebuah meja makan raksasa, mereka berlima saling bercerita. Rama menjadi pendengar terbaik bagi istri-istrinya. Diselingi dengan canda, suara tawa lelaki itu terbahak-bahak."Istri-istriku tersayang, ada yang ingin aku sampaikan!" Rama menyela"Ya sampaikan saja, Mas, kok harus izin dulu?" jawaban Gundi membuat ketiga madunya tertawa.Rama pun tersenyum. Ia melipat kedua tangannya ke atas meja sembari menatap wajah keempat istrinya."
Dipisahkan oleh kematian, kini Bu Ratna hanya bisa menangisi liang lahat yang sedang terbuka di hadapannya. Sekuat apa pun ia meminta, suami yang sangat dicintainya tidak akan pernah kembali."Yang kuat ya Bu," seorang wanita memeluk dan menguatkannya. Cantik sekali parasnya. Rambutnya terurai lembut, warnanya sedikit pirang. Kulit wajahnya pun begitu mulus. Harsa yakin perawatannya pasti mahal.Ia menyentuh wajahnya sendiri, sedikit menyayangkan tubuh sendiri. Kulit wajahnya yang cacat terkadang membuatnya cemburu, jujur ia ingin sekali kembali terlihat cantik.Harsa juga ingin sekali menyambangi Bu Ratna dan mengucapkan ikut berbelasungkawa, namun ia tau diri, seorang tukang kebun sepertinya sebaiknya fokus mempersiapkan bunga-bunga yang nantinya akan ditaburkan.Dari kejauhan, terlihat sosok gagah, berkaca mata hitam, dengan kemeja sederhana dan sepatu mewahnya, memeluk erat tubuh Bu Ratna. 'tinggi sekali lelaki itu', gumam Jeremba dalam hati. Ia terlihat menyimpan air mata di balik