“Gila! Aku harus menikahi seorang pengidap HIV?” hati Harsa mulai tak bisa menerima kenyataan ini.
Apa kali ini, lagi-lagi demi uang, ia harus mengorbankan hidupnya?
Pikiran Harsa semakin jauh, ia sedang berpikir sejauh mana kebebasan seksual yang dijalani Osa sampai ia harus mengidap penyakit mematikan itu. Atau mungkin ia adalah pecandu narkoba?
Uang memang bisa mengubah segalanya, pikir Harsa. Dengan uang, tentunya seorang Osa Mahendra dapat membeli apa yang ia inginkan dengan mudah. Apa lagi ia yang menjalani masa pendidikan pasca sarjana di Amerika, tentunya hidup glamor dan bebas.
Kebebasan itu yang kini menjadi mala petaka berkepanjangan baginya.
Bahkan menurut info yang ia dapat, ia memutuskan hubungan sebelah pihak dengan gadis yang nyaris menjadi istrinya. Padahal kedua belah pihak keluarga sudah siap menuju panggung pelaminan. Tanpa alasan yang jelas, Osa memutuskan untuk berpisah.
Tapi kini Harsa tahu jawaban pasti dari rumor tersebut. Tentunya karena ia tidak ingin menularkan penyakitnya pada istri dan keturunannya nanti.
“Ini hanya pernikahan kontrak, jangan berpikir lebih!” pungkas Osa.
Mungkin ia harus ikut menambahkan poin dalam perjanjian itu, pikir Harsa. Salah satunya, lelaki itu tidak boleh menyentuh tubuhnya.
Tapi mana mungkin, dari cara bicaranya, sebenarnya Osa pun tak sudi mendekati Harsa. Bukan hanya karena wajahnya, tapi juga Harsa bukanlah tipe wanita yang diinginkannya.
“Jadi alasanmu menikahiku untuk apa?” Harsa bertanya sesuatu yang berusaha ia terka. Kali ini ia butuh jawaban pasti dari lelaki itu, agar imajinasi liarnya, seperti firasat ia hanya akan menjadi pelampiasan nafsu birahi Osa, segera diperjelas.
“Aku ingin memenuhi keinginan Mama!” Osa menjawabnya dengan tegas.
Berkali-kali Bu Ratna membujuk putranya untuk menikah, mengingat usianya yang sudah menginjak kepala tiga. Belum lagi ia juga harus meneruskan tugas ayahnya sebagai seorang kepala sekolah, tentunya ia butuh pasangan hidup.
Harsa mengerutkan dahinya, tahu apa lelaki itu? Bagaimana jika ia menularkan penyakitnya pada Harsa?
Ya meski hanya pernikahan di atas materai, tapi wanita itu terlihat masih sedikit bingung untuk mengambil keputusan.
“Ini isi perjanjian yang harus kamu tanda tangani!” Osa menyodorkan secarik kertas ke atas meja bundar besar itu. Harsa sedikit meliriknya, namun tetap saja tidak terbaca, jaraknya cukup jauh dari posisinya berdiri. “Duduk saja dulu dan baca dengan teliti sebelum kamu menyesal karena menolaknya!” sombong sekali lelaki itu.
Perlahan Harsa memutar langkahnya kembali ke kursinya. Meskipun belum pasti ia akan menanda tanganinya, setidaknya ia bisa membaca apa saja isi perjanjian yang membuat Osa begitu yakin.
“Hah?”
“Jangan kaget begitu, belum pernah lihat uang sebanyak itu ya?” sinis lelaki tampan itu. Padahal ia tahu bagaimana kehidupan glamor Harsa di masa lalu, tapi masih saja meremehkannya.
“Ya, memang sebelumnya kamu kaya raya, tapi sekarang kan tidak!” Osa kembali merendahkannya.
Memang keadaan ekonomi Harsa saat ini sangat memprihatinkan. Untuk makan sehari-hari saja rasanya sangat sulit.
Tawaran lelaki itu sangat menggiurkan dan layak dipertimbangkannya. Terlebih poin terakhir yang dituliskannya, Osa akan membantunya melakukan operasi plastik untuk mengembalikan kecantikannya yang telah hilang.
Harsa menyentuh pelan wajahnya, air matanya pun mulai mengalir. Ia merindukan wajahnya yang dulu, cantik dan memesona.
“Sudah jangan kebanyakan drama. Air mata pun tak ada gunanya lagi, simpan saja untuk menangisi keterlambatanmu bertemu denganku!” pungkas Osa.
Tak ada malunya lelaki itu, pikir Harsa.
“Ya, jika kamu bertemu aku lebih cepat dari ini, mungkin hidupmu tidak akan seteruk sekarang!” jelasnya lagi. Osa Mahendra benar-benar lelaki sombong seperti yang diceritakan banyak orang.
Harsa yang mendengarnya pun sebenarnya sangat kesal. Namun ia tak ingin memperpanjang pembicaraannya dengan Osa, berdebat dengannya tak ada guna juga. Bukankah lelaki sepertinya tidak pernah ingin kalah?
“Aku juga punya persyaratan!” Harsa menantangnya.
Kini giliran Osa yang mengerutkan dahi. Seharusnya tak ada lagi sanggahan atau apa pun itu dari Harsa, wanita yang ada di hadapannya harus bisa ia kendalikan. Namun tak segampang yang ia pikirkan, wanita itu cukup cerdas untuk dipatahkan hanya dengan kata-kata.
Osa menghela napas.
“Memang wanita itu membingungkan ya,” sinisnya lagi. Ia kembali menyeruput minuman di hadapannya. “Apa syaratnya?” tantangnya kembali.
“Kamu harus bisa menemukan Jaka!” pinta Harsa. “cukup mengetahui di mana keberadaannya saja,” sambungnya.
Kini tatapan Osa terlihat tabu. Ia sangat menyayangkan permintaan wanita yang ada di hadapannya.
“Sesederhana itu?” Osa menyepelekan permintaan Harsa.
Tentunya tidak sulit mencari informasi tentang Jaka, apalagi bagi seorang Osa Mahendra.
“Iya!” tegas Harsa. “karena aku tahu semua itu mudah bagimu,” jelasnya lagi.
Harsa berharap dapat segera menemukan keberadaan Jaka, lelaki yang ia percaya mencintainya dengan tulus. Lelaki yang jauh sebelum semua kepahitan ini hadir, dengan sepenuh hati menyayanginya. Dan Harsa percaya dengan menemukan lelaki yang dicintainya, hidupnya akan kembali bahagia.
Harsa yang awalnya berpikir harta akan mengubah hidup sulitnya, ternyata dipatahkan oleh kenyataan. Bahwa tak semuanya dapat dibeli oleh uang, dan Tuhan membuktikannya.
“Sebenarnya siapa Jaka?” Osa mulai penasaran.
“Ternyata tidak semua tentangku, kamu ketahui!” jawaban nyeleneh Harsa membuat Osa tersenyum jahat.
“Memangnya penting?” ia menaikkan alisnya, Osa merasa wanita itu semakin besar kepala. “aku bertanya hanya untuk memudahkanku menemukannya!” pungkasnya.
“Mantan suamiku!” sahut Harsa. Jawaban yang sedikit membuat Osa tercengang. Ternyata apa yang ia ketahui tentang Harsa belum seutuhnya, pikirnya.
Empat tahun menjadi istri Rama bukanlah waktu yang singkat. Selama itu pula Jeremba tak lagi menemukan dirinya yang dulu. Saat ini ia bak sosialita yang disibukkan dengan berbagai kegiatan donasi, kegiatan yang diyakini sebagai alat pencucian uang.Selama empat tahun ini juga ia telah menyelesaikan gelar sarjananya. Gadis lulusan SMP itu sudah mengambil paket C dan melanjutkan kuliah di jurusan pendidikan. Tak masalah meskipun prosesnya dilalui dengan perantara uang haram, yang terpenting baginya adalah menemukan kebahagian yang ia mimpikan.Hari ini, di sebuah meja makan raksasa, mereka berlima saling bercerita. Rama menjadi pendengar terbaik bagi istri-istrinya. Diselingi dengan canda, suara tawa lelaki itu terbahak-bahak."Istri-istriku tersayang, ada yang ingin aku sampaikan!" Rama menyela"Ya sampaikan saja, Mas, kok harus izin dulu?" jawaban Gundi membuat ketiga madunya tertawa.Rama pun tersenyum. Ia melipat kedua tangannya ke atas meja sembari menatap wajah keempat istrinya."
Dipisahkan oleh kematian, kini Bu Ratna hanya bisa menangisi liang lahat yang sedang terbuka di hadapannya. Sekuat apa pun ia meminta, suami yang sangat dicintainya tidak akan pernah kembali."Yang kuat ya Bu," seorang wanita memeluk dan menguatkannya. Cantik sekali parasnya. Rambutnya terurai lembut, warnanya sedikit pirang. Kulit wajahnya pun begitu mulus. Harsa yakin perawatannya pasti mahal.Ia menyentuh wajahnya sendiri, sedikit menyayangkan tubuh sendiri. Kulit wajahnya yang cacat terkadang membuatnya cemburu, jujur ia ingin sekali kembali terlihat cantik.Harsa juga ingin sekali menyambangi Bu Ratna dan mengucapkan ikut berbelasungkawa, namun ia tau diri, seorang tukang kebun sepertinya sebaiknya fokus mempersiapkan bunga-bunga yang nantinya akan ditaburkan.Dari kejauhan, terlihat sosok gagah, berkaca mata hitam, dengan kemeja sederhana dan sepatu mewahnya, memeluk erat tubuh Bu Ratna. 'tinggi sekali lelaki itu', gumam Jeremba dalam hati. Ia terlihat menyimpan air mata di balik
Jeremba mampu mendengar segalanya. Tapi matanya sulit terbuka, mungkin karena pengaruh obat yang disuntikkan kepadanya. Tubuhnya lemas tak berdaya, parasnya yang cantik terlihat sayu. "Kami tim dokter mencurigai ada makanan beracun yang dikonsumsi oleh pasien!" seorang dokter cantik, tingginya semampai, menjelaskan. Sembari ia menyentuh dan sedikit menekan pergelangan tangan Jeremba. "Apa, Dok? Bagaimana bisa ini terjadi?" Gundi begitu terkejut. "Pasien ada makan apa sebelum pingsan?" dokter menyelidiki. "Setau saya Jeremba hanya minum air putih di dapur, lalu pingsan!" sahut Gundi. "Tapi kami juga makan di restaurant sebelum tiba di rumah!" jelas Ratu, melanjutkan. "Kita tunggu hasil laboratorium, ya!" dokter cantik itu meminta Gundi dan madu-madunya bersabar. "Baik, Dok" Madu-madu Jeremba setia menemaninya. Mereka bertiga tak meninggalkannya sedikit pun, bahkan jika harus keluar, mereka akan bergantian. Setelah mengantarnya ke rumah sakit, Rama langsung bergegas pergi. Katan
“Kami butuh darah golongan A!” ujar dokter. Osa tengah mondar-mandir memikirkan di mana ia dapat menemukan darah golongan A tersebut. Sudah beberapa rumah sakit yang dihubunginya, tetap saja belum membuahkan hasil. Belum lagi beberapa preman yang dikerahkan juga mengeluh hal yang sama. Kerja keras Osa bukan tanpa alasan. Ia khawatir rencana yang telah disusunnya dengan apik ambyar begitu saja. Jika Harsa tak juga selamat dari masa kritisnya, bagaimana tentang perjanjian yang telah disepakati bersama? Sial. Bisa-bisanya ia ingin mati setelah mengikat janji dengan Osa. “Hei, perempuan bodoh!” celanya. Meski Harsa tak mendengarnya, setidaknya ia ingin meluapkan kekesalan itu. “bukan hanya uangku yang terkuras, tapi darahku juga!” lanjutnya begitu kesal. “kamu harus bangun untuk membayar semuanya!” perintah Osa. Osa yang akhirnya terpaksa mendonorkan darahnya sendiri untuk Harsa, sangat berharap wanita itu bangun. Sudah banya
"Bagaimana aku bisa menjadi istri keempat?" monolognya.Sulit bagi Jeremba menerima semua kenyataan itu. Ia yang kehilangan ingatannya tak percaya telah menikah dengan seorang bandar narkoba.Bahkan ia enggan pulang ke rumah suaminya. Setiap hari, ketiga madunya datang untuk membawa makanan kesukaan Jeremba, dengan harapan wanita itu akan segera mengingat semuanya."Lebih baik aku tidak mengingat apa pun!" pungkasnya. "aku lebih suka begini,!"Jeremba sama sekali tak ingin berusaha mengembalikan ingatannya. Ia lebih suka hidup dalam jati dirinya yang baru, yang baginya adalah diri yang sesungguhnya."Bagaimana dengan pernikahanmu?" Gundi ingin Jeremba mempertimbangkannya kembali."Aku bukan istri lelaki itu!" Jeremba merasa dipermainkan.Akal sehatnya berontak keras. Bahkan ia semakin tak percaya ketiga madunya begitu baik dan peduli padanya. Keanehan yang ia sadari sama sekali di luar nalar akal sehat.Gundi menunjukkan beberapa foto pernikahan Jeremba dan suaminya yang masih tersimpa
“Guru yang mengajar di sekolah ini harus cantik!” perintah lelaki yang baru beberapa minggu menjadi seorang kepala sekolah. Semua guru saling memandang, sayup-sayup mereka mulai berbisik tentang apa yang baru saja mereka dengar. “Kalau guru tidak cantik dan memesona, bagaimana para peserta didik tertarik untuk mengikuti pembelajaran?” Osa semakin mempertegas pernyataannya. “jadi kalau gak bisa cantik, lebih baik jangan bekerja di sini!” pungkasnya lagi. Semua guru semakin heran dibuatnya. Mereka tak percaya karakter Osa berbeda jauh dengan almarhum ayahnya. Pak Seno dulunya selalu merekrut guru atas dasar kemampuan dan prestasi yang dimiliki guru tersebut. Ia sama sekali tak memperdulikan penampilan fisik. Lantas dari mana Osa mengadopsi aturan tersebut? “Dari Pak Ibrahim!” jelasnya. “lihat bagaimana sekolah Pak Ibrahim sekarang? Mereka menjadi sekolah swasta yang selangkah lebih maju dari kita!” Osa mulai membandingkan, dan t
“Aku tetap tidak sudi!” cecar Jeremba. Rasanya terlalu tabu membahas soal ranjang dengan Jeremba. Padahal sebelumnya, Rama tak perlu berdiskusi untuk melakukannya. Kini ia harus sadar, bahwa istrinya tak lagi sama. Bahkan Rama, yang tak terlalu ingin dekat dengan agamanya, berdalih atas nama “istri durhaka” agar dapat meluluhkan hati Jeremba. Tetapi sebaliknya, dalam lubuk hatinya, Jeremba bukan hanya tak bersedia disentuh lelaki yang diketahui sebagai suaminya itu. Namun ia juga sedang kalut dan berpikir keras tentang siapa yang menidurinya malam itu? Yang jelas bukan Rama. Toh ia juga baru pulang tadi sore setelah dua hari berada di luar kota, pikir Jeremba. “Kenapa melamun?” Rama menegur istrinya itu, yang ia ketahui karakternya telah berubah jauh dari sebelumnya. “Tolong jangan lagi paksa aku!” pinta istri keempatnya itu. Rama yang juga diketahui haus akan buaian wanita, seolah tak bisa melupakan Je
“Jangan pura-pura jatuh hanya untuk menarik perhatianku!” cetus Osa. Belangi mengerutkan keningnya. Seharusnya justru ia yang patut marah, pikirnya. Laki-laki yang telah merangkulnya itu datang tiba-tiba. Bagaimana bisa Belangi menyiasatinya, sedangkan ia sendiri tak tahu Osa akan muncul. Lelaki aneh. “Kenapa? Masih terpesona?” sombongnya lagi. Ya, memang wajah Osa patut dikagumi. Lelaki bertubuh kekar, berkulit putih, dengan tinggi yang juga tak main-main, jelas akan membuat para wanita takluk kepadanya. Tapi tidak dengan Belangi, ia bukan hanya tak bernafsu, tapi baginya disentuh Osa seperti tadi sangat mengkhawatirkan. Osa yang ia ketahui mengidap HIV, membuatnya menyesali telah bersentuhan fisik dengannya. “Kenapa? HIV tidak ditularkan hanya dengan sentuhan fisik!” Jelasnya. Tak disangka tatapan Belangi mampu menjelaskan pada lelaki itu tentang apa yang ia khawatirkan. Baguslah, pikir Belangi. “Maka