Share

Ilusi

Jeremba mampu mendengar segalanya. Tapi matanya sulit terbuka, mungkin karena pengaruh obat yang disuntikkan kepadanya. Tubuhnya lemas tak berdaya, parasnya yang cantik terlihat sayu.

"Kami tim dokter mencurigai ada makanan beracun yang dikonsumsi oleh pasien!" seorang dokter cantik, tingginya semampai, menjelaskan. Sembari ia menyentuh dan sedikit menekan pergelangan tangan Jeremba.

"Apa, Dok? Bagaimana bisa ini terjadi?" Gundi begitu terkejut.

"Pasien ada makan apa sebelum pingsan?" dokter menyelidiki.

"Setau saya Jeremba hanya minum air putih di dapur, lalu pingsan!" sahut Gundi.

"Tapi kami juga makan di restaurant sebelum tiba di rumah!" jelas Ratu, melanjutkan.

"Kita tunggu hasil laboratorium, ya!" dokter cantik itu meminta Gundi dan madu-madunya bersabar.

"Baik, Dok"

Madu-madu Jeremba setia menemaninya. Mereka bertiga tak meninggalkannya sedikit pun, bahkan jika harus keluar, mereka akan bergantian.

Setelah mengantarnya ke rumah sakit, Rama langsung bergegas pergi. Katanya ada urusan yang harus diselesaikan. Sampai pagi menyapa, ia belum juga kembali.

"Jeremba?" Gundi menyentuh punggung tangan madunya itu, "apa kamu bisa mendengarku?" bisiknya.

"Sepertinya dia belum mau sadar!" duga Santi.

**

Jeremba yang masih berada di alam bawah sadarnya, terjebak dalam ilusi, entah sengaja dibuatnya sendiri, atau memang alam mengatur segalanya. Berjalan di sebuah trotoar, ia menemukan seseorang yang menyerupainya.

"Kehidupan seperti apa ini, Jeremba?" pertanyaannya membuat wanita itu heran. Bibirnya kelu, tak mampu menjawab.

"Kamu tidak lagi menjadi dirimu sendiri, Jeremba!. Apa menjadi istri keempat membuatmu puas? apa kamu bahagia?" pertanyaannya membuat Jeremba semakin tersudut.

Memang, selama menjadi istri Rama, ia merasa kehilangan dirinya sendiri. Menjadi sosok wanita yang sebenarnya ia sendiri tak suka. Tidak bisa membohongi diri sendiri, ia tak suka kehidupannya. Namun demi uang, ia bertahan.

Berbagi suami dengan ketiga madunya bukanlah sesuatu yang lumrah bagi Jeremba. Ia kerap berpura-pura baik-baik saja, menutupi ketidak-nyamanan yang ia rasakan. Itu pula yang membuatnya memilih tidak ingin memiliki anak, ia tak ingin anaknya mengalami trauma berkepanjangan.

Jeremba pun yang awalnya berpikir ketiga madunya merasakan hal yang sama, namun terbantahkan oleh kenyataan. Entah mereka memang menyukai kehidupannya, atau sama seperti Jeremba yang berusaha menerima dan menutupi semuanya.

"Kamu!" wanita itu melanjutkan, kini ia melejitkan telunjuknya ke arah Jeremba, hampir saja menyentuh hidung mancungnya. "berhenti berpura-pura, berhenti menyakiti diri sendiri!" sambungnya.

**

Jeremba mengerang, seperti kesakitan. Semua madu-madunya pun panik. Mereka memanggil dokter. Dokter segera memberikan suntikan penenang kembali padanya.

"Bu, bisa mendengarkan suara saya?" Dokter mencoba membangunkannya.

Jeremba masih saja tak sadar.

"Sepertinya pasien tidak ingin bangun!" Dokter menerangkan.

Ketiga madu Jeremba saling menatap, mereka bingung dengan penjelasan dokter.

"Suaminya dimana?" Dokter melontarkan pertanyaan pada Gundi.

"Sedang ada urusan Dok, sebentar lagi akan kemari!" jawabnya kaku.

Gundi pun sebenarnya tak yakin Rama akan ke rumah sakit. Selain disibukkan dengan bisnisnya, lelaki kekar berkulit hitam itu juga disibukkan dengan gadis barunya yang cantik.

"Baik, tolong kabari suaminya agar segera datang, mungkin pasien membutuhkannya!" jelas sang dokter. Gundi mengangguk.

Ratu segera mengeluarkan ponsel dari tasnya. Ia menelusuri kontak suaminya dan segera menekan tombol "panggil".

"Halo, Mas!" sapanya

"Maaf Mbak, Mas Rama sedang di kamar mandi," jawabnya

"Sayang, tolong handukku!" sayup-sayup terdengar seseorang yang tidak asing suaranya bagi Ratu. Jelas itu suara suaminya. Ratu segera menutup ponselnya.

"Kenapa?" Gundi menyelidiki.

"Seperti biasa, Mas Rama sedang dengan gadisnya, di kamar hotel" jawab Ratu.

Mereka terlihat sudah lumrah menghadapinya. Begini kah kehidupan yang diinginkan Jeremba dan ketiga madunya?

"Jeremba!" teriak seorang wanita paruh baya. "kenapa kamu seperti ini, Nak? Apa yang ibu katakan benar-benar terjadi, lelaki itu bukan lelaki yang tepat untukmu kamu!" ia semakin terisak.

Ratu dan madu-madunya menepi, membiarkan wanita itu melepas rindu pada anaknya. Sudah lama mereka tidak bertemu, bahkan di hari pernikahan Jeremba pun, kedua orang tuanya tidak sudi datang. Namun kali ini, ibunya tak lagi mempertahankan keegoisannya. Ia sangat merindukan putrinya.

"Jeremba, bangun Nak. Ayo kita pulang!" lanjut Bibi yang ikut datang.

"Maaf Bu, sebaiknya ibu berhenti menangis, kita fokus pada pengobatan Jeremba, agar Jeremba cepat sadar" Gundi berusaha mengingatkan.

Tatapan sinis terlihat di wajah Bu Mah, ibu kandung Jeremba. Ia jijik melihat ketiga madu putrinya. Baginya, kehidupan gila yang sedang dijalani anaknya memang sangat meresahkan. Menikah dengan seorang bandar narkoba yang memiliki banyak istri membuat garis merah tersendiri di pikiran Bu Mah.

"Sayang, gimana keadaanmu?" Bisik Rama. Ia tiba-tiba saja datang, kehadirannya ikut membangunkan Bu Mah, bibi, dan ketiga madu Harsa.

"Jam segini kamu baru menjenguk istrimu? kemana aja kamu?" Bu Mah kesal.

"Maaf Bu, saya ada pekerjaan yang tidak bisa ditunda hari ini!" Rama menjelaskan dengan sopan.

"Ah alasan!" sinis Bu Mah.

Rama tak mempedulikan ibu mertuanya, ia membelai lembut rambut Jeremba, sambil mengecup keningnya, "cepat sadar ya, sayang" bisiknya.

Jeremba yang menerima kecupan suaminya, tiba-tiba saja menunjukkan gejala. Tangan dan kelopak matanya mulai bergetar. Santi yang tak sengaja memperhatikannya ikut panik, ia segera memanggil dokter.

"Gimana Bu, sudah mendingan?" tanya dokter.

Jeremba tak menjawab, pandangannya begitu tabu. Rama menggenggam tangan istrinya, membuat pandangan sinis Bu Mah semakin meradang.

Ketiga madu Jeremba ikut mendekat.

"Bu, apa kamu mendengar suara saya?" dokter kembali bertanya.

Jeremba mengangguk, secuil air matanya menetes, dan segera diusap suaminya.

"Kalian siapa?" tanya Jeremba.

"Kenapa ini, dok?" Rama bertanya kepada dokter. Ia bingung dengan sikap istrinya.

"Menurut diagnosa kami, Ibu Jeremba keracunan makanan. Tapi saat beliau pingsan, kepala Bu Jeremba terbentur dan menyebabkannya amnesia." jelas dokter.

Mendengar penjelasan dokter, Bu Mah menangis di pelukan Bibi. Mereka tak menyangka Jeremba akan mengalami naas seperti itu. Rama kembali menggenggam tangan istrinya untuk menguatkan, sembari mengusap rambutnya.

"Jangan sentuh aku!" ketus Jeremba.

"Sayang, aku ini suamimu!" Rama menjelaskan. "dan ini madu-madumu!" lanjutnya seraya menunjukkan ketiga madunya.

"Aku tidak ingin punya suami sepertimu!" Jeremba menjadi emosi. Tatapannya terlihat sangat jijik

"Sebaiknya, biarkan pasien menenangkan diri terlebih dahulu. Mungkin menerima kenyataan yang menurutnya baru, membutuhkan waktu." pinta dokter. "tenang saja Pak, disini ada suster" lanjutnya.

Jeremba terjebak dalam ilusinya. Ilusi yang sebenarnya ada di dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Jati diri yang sebenarnya muncul untuk mengembalikan Jeremba pada diri yang sebenarnya. Menjelma menjadi pribadi yang baru, Jeremba menjadi sosok baru yang selama ini ia tutupi.

Mungkin uang bisa membeli semua, tapi uang tidak mampu mengubah jati diri manusia. Kebahagiaan sejati yang ada pada seseorang tidak bisa digantikan oleh uang.

Aini Pien

Bagaimana nasib Jeremba selanjutnya? ia yang tak akan diceraikan Rama, justru membenci lelaki yang rela mempertahankannya itu. Dukung terus kisah Jeremba ya..

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status