Tetap dukung Osa ya, meski ia arogan, tapi sebenarnya ia sosok yang patuh dikasihani, baca terus kelanjutannya...
“Aku tetap tidak sudi!” cecar Jeremba. Rasanya terlalu tabu membahas soal ranjang dengan Jeremba. Padahal sebelumnya, Rama tak perlu berdiskusi untuk melakukannya. Kini ia harus sadar, bahwa istrinya tak lagi sama. Bahkan Rama, yang tak terlalu ingin dekat dengan agamanya, berdalih atas nama “istri durhaka” agar dapat meluluhkan hati Jeremba. Tetapi sebaliknya, dalam lubuk hatinya, Jeremba bukan hanya tak bersedia disentuh lelaki yang diketahui sebagai suaminya itu. Namun ia juga sedang kalut dan berpikir keras tentang siapa yang menidurinya malam itu? Yang jelas bukan Rama. Toh ia juga baru pulang tadi sore setelah dua hari berada di luar kota, pikir Jeremba. “Kenapa melamun?” Rama menegur istrinya itu, yang ia ketahui karakternya telah berubah jauh dari sebelumnya. “Tolong jangan lagi paksa aku!” pinta istri keempatnya itu. Rama yang juga diketahui haus akan buaian wanita, seolah tak bisa melupakan Je
“Jangan pura-pura jatuh hanya untuk menarik perhatianku!” cetus Osa. Belangi mengerutkan keningnya. Seharusnya justru ia yang patut marah, pikirnya. Laki-laki yang telah merangkulnya itu datang tiba-tiba. Bagaimana bisa Belangi menyiasatinya, sedangkan ia sendiri tak tahu Osa akan muncul. Lelaki aneh. “Kenapa? Masih terpesona?” sombongnya lagi. Ya, memang wajah Osa patut dikagumi. Lelaki bertubuh kekar, berkulit putih, dengan tinggi yang juga tak main-main, jelas akan membuat para wanita takluk kepadanya. Tapi tidak dengan Belangi, ia bukan hanya tak bernafsu, tapi baginya disentuh Osa seperti tadi sangat mengkhawatirkan. Osa yang ia ketahui mengidap HIV, membuatnya menyesali telah bersentuhan fisik dengannya. “Kenapa? HIV tidak ditularkan hanya dengan sentuhan fisik!” Jelasnya. Tak disangka tatapan Belangi mampu menjelaskan pada lelaki itu tentang apa yang ia khawatirkan. Baguslah, pikir Belangi. “Maka
“Keterlaluan kamu ya!” pekik Ratu. Jeremba hanya membalas dengan senyum jahatnya. Merasa puas telah membuat suami dan ketiga madunya kecewa. “Bagaimana kalau Mas Rama tahu semuanya?” duga Santi. Ia terlihat sangat khawatir. Sesekali menggigit jemarinya untuk sekadar menenangkan diri. Sial, mengajak Jeremba ke acara amal justru menjadi malapetaka. Awalnya Gundi berencana membuat Jeremba kembali mengingat masa lalunya dengan membawanya mengikuti acara amal yang memang rutin ia lakukan. Tetapi, semua itu justru menjadi bumerang. Tega sekali Jeremba mengatakan pada warga bahwa makanan dan bingkisan yang mereka terima adalah hasil dari uang haram suaminya. Ratu menggelengkan kepalanya, ia tak habis pikir dengan ulah madunya itu. “Sekarang bagaimana jika itu jadi viral?” Ratu kembali mengandai-andai. “bisa mati kita!” tambahnya lagi. Di ruang tamu yang begitu besar, Ratu dan Santi sedang panik. Jeremba hanya duduk manis
“Cantikan siapa aku sama perempuan itu?” sinis sekali Lusi menatap gadis yang melewatinya. Belangi pun merasa tak nyaman mendengar sayup-sayup pertanyaan gadis berkulit putih itu. “Dia lebih cantik!” tegas Osa. Lusi menghela napas. Wajahnya terlihat kesal mendengar jawaban lelaki arogan itu. Bisa-bisanya ada gadis lain yang lebih cantik darinya, ia tak terima. Padahal saat masih berpacaran, Osa adalah lelaki yang sangat romantis. Setiap hari selalu saja ada pujian yang mendarat di telinga Lusi. “Kamu tega ya?” Lusi memelas. Ia tak percaya lelaki yang sangat ia cintai, kini justru memuji wanita lain. Osa hanya diam dan berjalan menuju ruangannya, membiarkan gadis itu melankolis sendirian. “Hei, gadis sok cantik!” panggilnya. Belangi yang melintas langsung tertegun. “jangan harap bisa merebut perhatian Osa dariku ya!” tegasnya. Ternyata jadi cantik juga rumit ya, pikir Belangi. Menjadi sosok wanita yang
“Kamu sudah dengar sendiri kan apa kata Mas Rama?” cecar Ratu. Jeremba hanya diam menatap madunya itu. Ya, memang ia sendiri yang mendengar suara keras Rama saat memarahinya tadi. Tapi Jeremba sama sekali tidak merasa bersalah. Di antara ketiga madunya, Ratu memang terlihat sangat emosi, tapi sebisa mungkin tetap berusaha ia tahan amarahnya. Perlahan ia merasa sudah sangat lelah dengan kelakuan Jeremba yang bertolak belakang dengan sosok yang ia kenal sebelumnya. Jeremba yang berkarakter ramah dan peduli kepada ketiga madunya, berubah setelah tragedi tempo hari. “Sabar Mbak, kita harus ingat kalo Jeremba ini sedang beradaptasi dan berusaha mengembalikan ingatannya,” Gundi berusaha menenangkan. Gundi yang usianya tidak jauh dari Jeremba sangat paham kondisi madunya itu. Ia selalu menjadi penengah selama ketidak-nyamanan itu terjadi. “Aku tidak perlu beradaptasi!” bantah Jeremba, ia bangkit dari duduknya dan bergega
“Apa-apaan sih!” celetuk Belangi. Memang, bunga mawar merah yang sudah bertengger di atas meja kerjanya itu merupakan bunga kesukaannya. Harumnya pun sangat semerbak, sepertinya baru dipetik subuh tadi. Semangat beraktifitas, sebuah ucapan ikut menambah sakralnya perasaan pengirim bunga tersebut. Belangi duduk di kursi empuknya, menatap tabu mawar merah kesukaannya itu. Pasti si arogan itu, pikirnya. Kemarin saja, ia memeluk Belangi tanpa izin. Memang karena sebuah kecelakaan sih, saat Belangi hampir saja terjatuh karena menyusun buku-bukunya. Tapi lelaki itu bisa saja mencari kesempatan dalam kesempitan, Belangi masih sangat yakin. “Ini tugas kamu hari ini!” sebuah lemparan beberapa lembaran kertas sontak mengejutkan lamunannya. Belangi memeriksanya, memastikan apa yang tertulis di dalamnya. Ternyata sebuah roster yang masih bentrok sana-sini. Banyak jam mengajar guru yang berbenturan dan tidak sesuai dengan yang
“Kamu tidak bisa diterima lagi di rumah ini!” pungkasnya. Jeremba terdiam. Baru saja ia menduduki kursi lusuh di rumah yang sejak kecil ia tinggali itu. Namun bentakan Bu Mah, membuatnya tercengang. Padahal niat hati ingin melangkah ke dapur untuk sekadar menuang secangkir air putih, sejak satu jam yang lalu ia sudah kehausan. Tapi ia urungkan. Ia harus memastikan apa yang baru saja ia dengar. “Maksud ibu?” Jeremba bertanya, matanya membulat sempurna. Memang, ia belum mengingat sosok ibu yang ada di hadapannya itu. Tapi ikatan batin yang terjalin di antara keduanya membuat Jeremba yakin bahwa Bu Mah adalah ibu kandungnya. Ditambah lagi jika memperhatikan caranya merawat Jeremba saat di rumah sakit, tak bisa diragukan lagi bahwa sosok wanita yang ada di hadapannya tak lain adalah ibu yang telah melahirkannya. Tapi mengapa ia berubah? “Masih kurang jelas yang ibu sampaikan barusan?” ia terlihat enggan mengulangnya kembali. Jere
Jangan bilang dia! Belangi mengutuk dirinya sendiri jika memang benar tua bangka itu yang meletakkan mawar di mejanya. Lelaki itu dipanggil Bang Jal. Belangi sangat risih melihatnya, karena Bang Jal yang punya kekurangan monohok, yaitu ompong. “Aku juga gak bisa terima jika memang Bang Jal yang menaruh bunga itu!” ucap Husna dengan santainya sambil mencium bunga yang harumnya masih semerbak. Husna juga merupakan guru baru di sekolah Osa. Usianya 2 tahun lebih mudah dari Belangi. Ia cukup cerdas, lulusan terbaik dari Universitas Indonesia. Bahkan beberapa kali ia memenangkan olimpiade tingkat nasional saat menduduki bangku SMA. Wajar saja jika Osa menerimanya tanpa pertimbangan. Tapi yang terpenting bagi Osa bukan hanya kepintaran Husna. Wanita bertubuh langsing, berkulit putih, juga tinggi yang ideal dengan lekuk tubuhnya, membuat Osa cukup yakin untuk menerimanya sebagai guru matematika. “Tapi btw enak ya jadi orang cantik!”