“Aku yang menaruh bunga itu di atas meja Belangi!” ucap Osa yang tiba-tiba saja muncul. Semua saling menatap satu sama lain. Mereka mulai menerka-nerka apa yang terjadi pada lelaki arogan itu. Husna menyinggung bahu Belangi, seraya meninggikan sedikit alisnya dan mengangkat dagunya ke arah teman kerjanya itu. Tapi Belangi justru dibuat heran dengan bahasa tubuh Husna, ia sendiri tidak yakin tentang kebenaran yang diungkap Osa. Bahwa ternyata dia lah yang menanggalkan bunga mawar merah itu di meja kerja Belangi. “Kamu serius?” Lusi tak bisa berdiam diri, ia merasa perlu mengklarifikasi apa yang ia dengar beberapa detik yang lalu. Belangi masih mengerutkan keningnya. Osa yang beberapa jam yang lalu kekeh mengakui bukan ia yang menaruh bunga tersebut, kini mengeluarkan kalimat sebaliknya. Osa menghela napas pelan. “Ia benar, aku bukan tipe lelaki yang suka berubah pikiran!” ucap Osa tanpa basa-basi. “kenapa? Kamu gak suka?” samb
Teriakannya pagi ini membuat seisi rumah khawatir. Tapi, mana mungkin mereka masuk begitu saja ke kamar majikannya? Terlihat dua asisten rumah tangga sedang saling beradu pendapat di depan kamar Jeremba. “Ada apa ini?” Rama muncul dan segera mengetuk pintu kamar istrinya. Kekhawatiran terlihat jelas di wajahnya. Diikuti ketiga madunya. “Saya gak tahu, Pak. Tiba-tiba saja ada teriakan kuat dari kamar ibu!” ucap salah satu dari keduanya. Berulang kali Rama memanggil tapi tak ada jawaban. Ia tak bisa menunggu lebih lama lagi. Mundur beberapa langkah, ia bersiap untuk mendobrak pintu kamar Jeremba. “Kamu gak apa-apa?” tanya Rama, tergesa-gesa ia menyentuh kedua bahu istrinya yang kemudian ditepis oleh Jeremba. Untung saja ia segera membuka pintu, jika tidak, boleh jadi tubuh mungilnya telah terhempas jauh oleh tendangan Rama. Jeremba menekan keningnya, lalu mengusapnya ke seluruh wajah. Ia terlihat sedang kebingungan. Bagaimana t
Sial. Kenapa sih harus seperti adegan romantis? Tragedi yang sering terjadi asal ketemu Osa. Kali ini hampir saja ia terjatuh dari tangga. Ada sedikit air yang tergenang di sana, entah siapa pelakunya. Jangan-jangan ini juga akal-akalan Osa, pikirnya. “Kenapa ya kamu itu selalu mencari kesempatan di setiap kesempitan?” Lusi begitu sinis. Sudah berjam-jam lamanya ia menunggu lelaki pujaannya. Namun saat bertemu, justru di adegan yang sangat menyesakkan. Di depan matanya sendiri, Osa tengah merangkul Belangi yang hampir saja mencium lantai. Dekapannya begitu meyakinkan, mungkin karena panik. Kedua tangan Osa menggenggam erat bahu wanita yang ditolongnya itu. Tatapan keduanya pun tak berpaling hingga beberapa detik. Hampir saja bibir Osa berlabuh di pipi Belangi. Belangi yang terkejut, kemudian berteriak histeris, hingga seolah teriakannya memanggil Lusi untuk hadir. Beberapa karyawan lainnya ikut mencari sumber teriakan tersebu
Jeremba tak berhenti menyesali keputusannya kembali ke rumah Rama. Ia sering menyendiri dan melamun di teras. Kadang di keramaian pun ia tak bergeming. Rasanya tak sanggup membayangkannya, ia tak terima diperlakukan seperti itu. “Ini pemerkosaan, Gundi!” suaranya meninggi saat Gundi meyakinkannya bahwa itu tidak mungkin terjadi di rumah Rama. Ya, jelas saja, mana ada yang berani masuk ke kamar majikannya dan melakukan perbuatan yang bisa menjeratnya ke penjara. Lagi pula, tak ada yang mencurigakan dari puluhan asisten rumah tangga yang ada di rumah megahnya itu. “Lantas siapa?” Gundi memeluk tubuhnya sendiri sambil mondar-mandir di depan Gundi yang sedang terduduk lemas di teras belakang. Secangkir kopi menemaninya sore ini. Kopi yang dibuatnya sendiri. Sejak kehilangan ingatannya, ia sering melakukan apa pun sendirian, tanpa mengandalkan asisten rumah tangganya. Jika diingat-ingat, hilangnya ingatan Jeremba mengembalikannya pada jati di
“Ambil ini!” Osa melempar sebuah map biru, hampir saja semua isi dokumen di dalamnya berhamburan. Sangat tidak sopan, untung saja Belangi menyambutnya lemparan tersebut dengan sempurna. “Apa ini?” Belangi menatap lelaki yang sedang bersantai di sofa ruang kerjanya. Bukan hanya duduk, tapi ia juga ikut merebahkan tubuhnya dan menaikkan sepatunya ke sofa. Belangi tak ingin menghentikannya, karena percuma. Toh ia bos di sekolah ini, dengan wataknya yang arogan, rasanya tidak mungkin berdiskusi, apalagi hanya tentang sofa yang kotor akibat debu yang menempel di sepatunya. “Setahuku, jika seseorang yang benar-benar pintar tidak akan banyak tanya!” sahutnya. Lagi-lagi ia memancing kesabaran Belangi. Tapi dengan sabar, Belangi mencoba tenang. Sempat ia berpikir, kenapa seolah ia diperlakukan semena-mena oleh lelaki yang bahkan baru ia kenal? Dan mengapa ia harus menerimanya begitu saja? Entahlah, terkadang Belangi merasa tak ingin melanjutkan p
“Apa?” Jeremba terkejut mendengar penjelasan madunya. Berani sekali Rama menyakiti wanita yang begitu setia padanya, pikir Jeremba. Tak terlihat sedikit pun raut wajah sedih atau menyesal. Gundi terlihat biasa saja. Perasaan seperti itu yang selalu membuat Jeremba merasa aneh dengan semua madunya. Istri yang ikhlas dan ridho atas apa pun yang dilakukan suaminya. Seperti ketika Rama sering menghabiskan malam bersama Haura di hotel, ketiga madunya tak pernah mempermasalahkan semua itu. Sedangkan menurut Jeremba, itu sangat tidak wajar. Mana ada istri yang membiarkan suaminya berselingkuh? Ini di luar nalar Jeremba. “Biar aku saja yang menggantikanmu!” tawar Jeremba. Ia dengan suka rela bersedia menggantikan Gundi untuk bercerai dengan Rama. Agar Rama bisa segera menikahi Haura, wanita yang telah dikencaninya selama enam bulan ini. Jeremba pikir ini adalah salah satu kesempatan baik, jika Gundi bersedia bertukar peran dengannya maka semua y
“Aku akan membantumu membalas dendam!” Sontak Harsa kaget. Ia tak percaya lelaki itu sudah tahu banyak tentangnya. Dari mana lelaki arogan itu mengetahui semuanya? Awalnya, Harsa mengira ia dipanggil ke sebuah ruangan bawah tanah untuk sekadar membersihkan ruangan kuno yang terlihat berdebu. Ternyata salah, lelaki yang ada di hadapannya malah melamarnya. Apa ia sudah tidak waras?, pikirnya. Bagaimana tidak, lelaki tampan dengan parasnya yang memesona, tinggi badan yang ideal untuk seorang lelaki bertubuh kekar, mustahil menyukainya yang memiliki wajah seperti monster. “Aku rasa tawaranku sudah lebih dari cukup untuk membayar upah atas pernikahan kontrak yang aku minta!” ia menyeruput secangkir kopi di hadapannya. “bahkan hidupmu akan lebih mudah jika menerimanya!” sambungnya. Ya, memang itu lebih dari cukup. Tapi Harsa khawatir, ia curiga ada rencana lain yang terselubung. Apalagi masa lalu banyak mengajarinya unt
“Apa salahnya menikahi seorang bandar narkoba?” monolognya. Sambil bercermin, sekadar melihat gambar diri untuk memastikan penampilannya sudah memukau, ia berusaha menafsirkan sendiri keputusan yang telah diambilnya."Jeremba, sudah waktunya!"Bibi mulai mengingatkannya untuk keluar dari kamar. Ia harus menyaksikan dengan matanya sendiri proses ijab-kabul ini. Sebagai bukti hatinya yakin dengan keputusan yang dipercaya merupakan sebuah keputusan terbaik.Beberapa bibir mulai berbisik, sayup-sayup ia bisa membaca pergerakan mereka. Ya, ia paham tak mungkin mengatupkan semua mulut untuk menerima keputusan ini. Mungkin bagi mereka ini adalah aib yang lantas menjadi adopsi publik.Ia menikah dengan seorang bandar narkoba.Keputusan ini diambil dengan sangat sadar, ia lelah hidup miskin. Toh pernikahan yang sebelumnya berakhir bukan karena keinginannya sendiri. Apa salahnya Jeremba mencari kebahagian lain setelah semua luka menghampiri?"Apapun yang terjadi nantinya, kamu harus