“Apa salahnya menikahi seorang bandar narkoba?” monolognya.
Sambil bercermin, sekadar melihat gambar diri untuk memastikan penampilannya sudah memukau, ia berusaha menafsirkan sendiri keputusan yang telah diambilnya.
"Jeremba, sudah waktunya!"
Bibi mulai mengingatkannya untuk keluar dari kamar. Ia harus menyaksikan dengan matanya sendiri proses ijab-kabul ini. Sebagai bukti hatinya yakin dengan keputusan yang dipercaya merupakan sebuah keputusan terbaik.
Beberapa bibir mulai berbisik, sayup-sayup ia bisa membaca pergerakan mereka. Ya, ia paham tak mungkin mengatupkan semua mulut untuk menerima keputusan ini. Mungkin bagi mereka ini adalah aib yang lantas menjadi adopsi publik.
Ia menikah dengan seorang bandar narkoba.
Keputusan ini diambil dengan sangat sadar, ia lelah hidup miskin. Toh pernikahan yang sebelumnya berakhir bukan karena keinginannya sendiri. Apa salahnya Jeremba mencari kebahagian lain setelah semua luka menghampiri?
"Apapun yang terjadi nantinya, kamu harus siap! karena keputusan ini kamu ambil sendiri!" Bibi mencoba mengingatkan.
Bisa dikatakan hanya beberapa kerabat yang datang, bahkan kedua orang tuanya tak sudi. Jeremba paham mereka ingin yang terbaik bagi putrinya, dan ia mencoba mengerti akan hal itu.
"Tidak apa-apa jika memang aku harus kembali terluka, aku siap!" pungkasnya.
Mungkin bibi paham watak keras kepala yang bawa keponakannya dari lahir, sehingga ia hanya diam mendengar jawaban itu.
Ini pernikahan kedua, setelah ia gagal dalam pernikahan sebelumnya. Baginya, mengambil keputusan kedua dalam hidupnya ini tidaklah berat, tidak seperti sebelumnya. Ia lebih cuek dan fokus pada perbaikan keuangannya nanti. Suaminya ini harus royal dan memenuhi semua kebutuhannya, dan ia yakin lelaki itu mampu melakukannya.
"Sah!"
Sontak raut wajah Jeremba dan Rama berubah, terasa lebih lega sekarang.
Para tamu mulai menadahkan tangan, memunajatkan doa untuk kebahagiaan mereka berdua. Setelahnya, ucapan selamat ikut meramaikan kebahagiaannya hari ini. Pesta megah dengan berbagai makanan istimewa ikut memanjakan para tamu. Pesta pernikahan impian yang tak pernah ia rasakan sebelumnya, di tangan Rama ia berhasil mewujudkan salah satu mimpi pernikahan, yaitu pesta yang megah.
Jeremba yang terlahir dari keluarga miskin sering disudutkan keadaan, terkadang untuk makan pun harus berhutang. Semua kesulitan ekonomi itu ia alami sejak kecil, membuatnya sudah muak menghadapi kefakiran.
"Perkenalkan, ini Ratu, Santi, dan Gundi!"
Jeremba tersenyum manis saat Rama memperkenalkan mereka. Sama seperti mereka yang juga menebar wajah bahagia kepadanya.
Mulai hari ini ia harus belajar beradaptasi, membuka diri menjadi bagian dari mereka. Selama ini mereka berempat hidup rukun, jangan sampai karena kehadirannya merusak keharmonisan yang sudah ada, pikirnya.
"Ayo kita tiktok-an!" ajak Gundi.
Meski sempat kaget.
Tapi Jeremba berusaha berbaur.
Melakukan adegan tiktok bersama madu-madunya menjadi sesuatu yang baru. Adegan yang sama sekali tidak pernah dilakukan sebelumnya.
Jeremba yang dulunya sibuk dengan urusan ibu rumah tangga, cucian kotor, baju yang belum disetrika, piring kotor, dan berbagai tanggung jawab lainnya, kini harus menjadi pribadi yang berbeda. Tentunya ini juga yang menjadi mimpinya, tak lagi mengeluarkan keringat setiap hari dengan baju daster sobek sebagai busana abadi.
"Sekarang kita saudara ya, jadi jangan sungkan!" hangat sekali ucapan Ratu. Jeremba semakin yakin dengan perkataan Rama yang meyakinkannya sebelumnya. Ia selalu berkata ‘istri-istrinya akur dan saling menyayangi’.
Sebagian orang mungkin menganggapnya gila. Tapi ia merasa telah mengambil keputusan yang benar.
"Awalnya memang terlihat indah, sama seperti sebelumnya!" bisik Bibi.
Sekeras apapun orang-orang meyakinkannya, tetap saja ia akan terus maju. Karena satu hal, yaitu uang. Pernikahan sebelumnya juga penuh pertimbangan, namun ia selalu melewatkan status ekonomi, dan terhanyut perasaan. Menuruti keinginan dan ekspektasi banyak orang ternyata sangat melelahkan. Toh, ujung-ujungnya ia juga yang menjalaninya. Hingga kini ia lebih mengutamakan uang daripada segalanya.
Banyak yang bilang dunia ini bukanlah untuk mencari harsa (kebahagiaan). Bukan tanpa alasan mereka mendeskripsikannya begitu. Bagi mereka, dunia adalah tempat berjuang, tempat berduka, dan tempat menerima ujian hidup. Bukan hidup namanya jika harus bahagia, pungkasnya.
Tapi bagi Jeremba, di sela semua air mata itu, harus terselip harsa sebagai penyangga untuknya bertahan. Bukankah luka selalu bersanding dengan bahagia, sakit dengan sembuh, menangis dengan tertawa, bahkan hidup selalu setia dengan mati.
Sama seperti saat ini, ia merasa luka telah Tuhan sandingkan dengan harsa. Menikah dengan lelaki yang diyakini akan menjadi imam terakhir adalah sebuah harsa baginya. Terserah mereka bicara apa, ia yang sejak awal-setelah dihantam dinginnya dunia- memang tipe wanita 'masa bodo' jelas tak peduli dengan pandangan manusia.
Mereka yang menilainya buruk, sekeras apa pun ia berjuang memperbaiki diri, tetap saja tanggapan mereka tak akan berubah. Pun sebaliknya, mereka yang menilai positif tidak butuh alasan apa pun untuk tetap percaya, pikirnya.
**
Bulan madu megah yang ditawarkan Rama tak mungkin ia tolak. Ini mimpi yang ditautkannya sejak lama. Menuju Capadokia, Jeremba dan Rama bak dua sejoli yang dimabuk asmara. Berfoto dan bercanda bagai terjebak cinta monyet sang remaja. Hingga ia benar-benar dimanjakan oleh uangnya. Seminggu berada di sana membuatnya menjadi ratu sejagat.
"Wah, oleh-olehnya banyak banget, makasih ya Jeremba!"
Madu-madunya pun merasakan kebahagian yang mereka habiskan di Capadokia. Tidak seperti di kampungnya dulu, ketika seorang suami menikah dengan perempuan lain, maka sang istri pertama akan mengamuk. Tak jarang perang mulut terjadi, bahkan sampai saling melontarkan kata-kata kotor. Berbeda sekali dengan yang terjadi pada Jeremba, madu-madunya sangat legowo menerima kemesraannya dan Rama di depan mereka.
Rama pun tak segan-segan mencium dan memeluk Jeremba di depan mereka, dan madu-madunya pun sering menggoda kemesraan itu. Sungguh ini di luar pemikiran Jeremba sebelumnya.
"Kehidupan seperti ini kah yang kamu inginkan?" pertanyaan Bibi membuatnya terdiam. Bibi yang saat ini sedang berkunjung ke rumah Jeremba, terlihat sangat tidak nyaman. Keharmonisan yang diperlihatkan madu-madu Jeremba sangat tidak wajar menurutnya.
"Tidak ada yang ditutupi, Bi. Kami semua saling terbuka, jadi aku rasa ini bukan sebuah beban" Jeremba berusaha meyakinkannya.
"Iya, sekarang memang masih baik-baik saja." ia menghela napas panjang. "kamu adalah kucing kampung yang baru saja keluar dan menikmati ikan bakar di restaurant"
"Maksud Bibi?" Jeremba mengerutkan dahi.
Jeremba tahu, ia memang terlahir dari keluarga miskin, tapi ia merasa bukanlah wanita bodoh, sehingga bibi bisa mengatakan itu padanya.
Kucing kampung?
Bukankah kucing kampung juga bisa ke kota dan bermetamorfosa menjadi kucing kota?
"Bukan sekarang, suatu saat nanti kamu akan melihat bahwa kucing-kucing kota punya banyak cara untuk mengelabui kucing kampung!" sambungnya.
Jeremba hanya diam, tak ingin lagi menyambung pembicaraannya. Sekeras apa pun ia berusaha, bibi tetap pada pendiriannya. Bahkan minum secangkir teh pun ia tak sudi. Ia enggan makan dan minum dari hasil uang haram, uang seorang bandar narkoba yang kaya raya.
Meyakinkan seseorang tidak semudah menyeruput segelas teh hangat.
“Gila! Aku harus menikahi seorang pengidap HIV?” hati Harsa mulai tak bisa menerima kenyataan ini. Apa kali ini, lagi-lagi demi uang, ia harus mengorbankan hidupnya? Pikiran Harsa semakin jauh, ia sedang berpikir sejauh mana kebebasan seksual yang dijalani Osa sampai ia harus mengidap penyakit mematikan itu. Atau mungkin ia adalah pecandu narkoba? Uang memang bisa mengubah segalanya, pikir Harsa. Dengan uang, tentunya seorang Osa Mahendra dapat membeli apa yang ia inginkan dengan mudah. Apa lagi ia yang menjalani masa pendidikan pasca sarjana di Amerika, tentunya hidup glamor dan bebas. Kebebasan itu yang kini menjadi mala petaka berkepanjangan baginya. Bahkan menurut info yang ia dapat, ia memutuskan hubungan sebelah pihak dengan gadis yang nyaris menjadi istrinya. Padahal kedua belah pihak keluarga sudah siap menuju panggung pelaminan. Tanpa alasan yang jelas, Osa memutuskan untuk berpisah. Tapi kini Harsa tahu
Empat tahun menjadi istri Rama bukanlah waktu yang singkat. Selama itu pula Jeremba tak lagi menemukan dirinya yang dulu. Saat ini ia bak sosialita yang disibukkan dengan berbagai kegiatan donasi, kegiatan yang diyakini sebagai alat pencucian uang.Selama empat tahun ini juga ia telah menyelesaikan gelar sarjananya. Gadis lulusan SMP itu sudah mengambil paket C dan melanjutkan kuliah di jurusan pendidikan. Tak masalah meskipun prosesnya dilalui dengan perantara uang haram, yang terpenting baginya adalah menemukan kebahagian yang ia mimpikan.Hari ini, di sebuah meja makan raksasa, mereka berlima saling bercerita. Rama menjadi pendengar terbaik bagi istri-istrinya. Diselingi dengan canda, suara tawa lelaki itu terbahak-bahak."Istri-istriku tersayang, ada yang ingin aku sampaikan!" Rama menyela"Ya sampaikan saja, Mas, kok harus izin dulu?" jawaban Gundi membuat ketiga madunya tertawa.Rama pun tersenyum. Ia melipat kedua tangannya ke atas meja sembari menatap wajah keempat istrinya."
Dipisahkan oleh kematian, kini Bu Ratna hanya bisa menangisi liang lahat yang sedang terbuka di hadapannya. Sekuat apa pun ia meminta, suami yang sangat dicintainya tidak akan pernah kembali."Yang kuat ya Bu," seorang wanita memeluk dan menguatkannya. Cantik sekali parasnya. Rambutnya terurai lembut, warnanya sedikit pirang. Kulit wajahnya pun begitu mulus. Harsa yakin perawatannya pasti mahal.Ia menyentuh wajahnya sendiri, sedikit menyayangkan tubuh sendiri. Kulit wajahnya yang cacat terkadang membuatnya cemburu, jujur ia ingin sekali kembali terlihat cantik.Harsa juga ingin sekali menyambangi Bu Ratna dan mengucapkan ikut berbelasungkawa, namun ia tau diri, seorang tukang kebun sepertinya sebaiknya fokus mempersiapkan bunga-bunga yang nantinya akan ditaburkan.Dari kejauhan, terlihat sosok gagah, berkaca mata hitam, dengan kemeja sederhana dan sepatu mewahnya, memeluk erat tubuh Bu Ratna. 'tinggi sekali lelaki itu', gumam Jeremba dalam hati. Ia terlihat menyimpan air mata di balik
Jeremba mampu mendengar segalanya. Tapi matanya sulit terbuka, mungkin karena pengaruh obat yang disuntikkan kepadanya. Tubuhnya lemas tak berdaya, parasnya yang cantik terlihat sayu. "Kami tim dokter mencurigai ada makanan beracun yang dikonsumsi oleh pasien!" seorang dokter cantik, tingginya semampai, menjelaskan. Sembari ia menyentuh dan sedikit menekan pergelangan tangan Jeremba. "Apa, Dok? Bagaimana bisa ini terjadi?" Gundi begitu terkejut. "Pasien ada makan apa sebelum pingsan?" dokter menyelidiki. "Setau saya Jeremba hanya minum air putih di dapur, lalu pingsan!" sahut Gundi. "Tapi kami juga makan di restaurant sebelum tiba di rumah!" jelas Ratu, melanjutkan. "Kita tunggu hasil laboratorium, ya!" dokter cantik itu meminta Gundi dan madu-madunya bersabar. "Baik, Dok" Madu-madu Jeremba setia menemaninya. Mereka bertiga tak meninggalkannya sedikit pun, bahkan jika harus keluar, mereka akan bergantian. Setelah mengantarnya ke rumah sakit, Rama langsung bergegas pergi. Katan
“Kami butuh darah golongan A!” ujar dokter. Osa tengah mondar-mandir memikirkan di mana ia dapat menemukan darah golongan A tersebut. Sudah beberapa rumah sakit yang dihubunginya, tetap saja belum membuahkan hasil. Belum lagi beberapa preman yang dikerahkan juga mengeluh hal yang sama. Kerja keras Osa bukan tanpa alasan. Ia khawatir rencana yang telah disusunnya dengan apik ambyar begitu saja. Jika Harsa tak juga selamat dari masa kritisnya, bagaimana tentang perjanjian yang telah disepakati bersama? Sial. Bisa-bisanya ia ingin mati setelah mengikat janji dengan Osa. “Hei, perempuan bodoh!” celanya. Meski Harsa tak mendengarnya, setidaknya ia ingin meluapkan kekesalan itu. “bukan hanya uangku yang terkuras, tapi darahku juga!” lanjutnya begitu kesal. “kamu harus bangun untuk membayar semuanya!” perintah Osa. Osa yang akhirnya terpaksa mendonorkan darahnya sendiri untuk Harsa, sangat berharap wanita itu bangun. Sudah banya
"Bagaimana aku bisa menjadi istri keempat?" monolognya.Sulit bagi Jeremba menerima semua kenyataan itu. Ia yang kehilangan ingatannya tak percaya telah menikah dengan seorang bandar narkoba.Bahkan ia enggan pulang ke rumah suaminya. Setiap hari, ketiga madunya datang untuk membawa makanan kesukaan Jeremba, dengan harapan wanita itu akan segera mengingat semuanya."Lebih baik aku tidak mengingat apa pun!" pungkasnya. "aku lebih suka begini,!"Jeremba sama sekali tak ingin berusaha mengembalikan ingatannya. Ia lebih suka hidup dalam jati dirinya yang baru, yang baginya adalah diri yang sesungguhnya."Bagaimana dengan pernikahanmu?" Gundi ingin Jeremba mempertimbangkannya kembali."Aku bukan istri lelaki itu!" Jeremba merasa dipermainkan.Akal sehatnya berontak keras. Bahkan ia semakin tak percaya ketiga madunya begitu baik dan peduli padanya. Keanehan yang ia sadari sama sekali di luar nalar akal sehat.Gundi menunjukkan beberapa foto pernikahan Jeremba dan suaminya yang masih tersimpa
“Guru yang mengajar di sekolah ini harus cantik!” perintah lelaki yang baru beberapa minggu menjadi seorang kepala sekolah. Semua guru saling memandang, sayup-sayup mereka mulai berbisik tentang apa yang baru saja mereka dengar. “Kalau guru tidak cantik dan memesona, bagaimana para peserta didik tertarik untuk mengikuti pembelajaran?” Osa semakin mempertegas pernyataannya. “jadi kalau gak bisa cantik, lebih baik jangan bekerja di sini!” pungkasnya lagi. Semua guru semakin heran dibuatnya. Mereka tak percaya karakter Osa berbeda jauh dengan almarhum ayahnya. Pak Seno dulunya selalu merekrut guru atas dasar kemampuan dan prestasi yang dimiliki guru tersebut. Ia sama sekali tak memperdulikan penampilan fisik. Lantas dari mana Osa mengadopsi aturan tersebut? “Dari Pak Ibrahim!” jelasnya. “lihat bagaimana sekolah Pak Ibrahim sekarang? Mereka menjadi sekolah swasta yang selangkah lebih maju dari kita!” Osa mulai membandingkan, dan t
“Aku tetap tidak sudi!” cecar Jeremba. Rasanya terlalu tabu membahas soal ranjang dengan Jeremba. Padahal sebelumnya, Rama tak perlu berdiskusi untuk melakukannya. Kini ia harus sadar, bahwa istrinya tak lagi sama. Bahkan Rama, yang tak terlalu ingin dekat dengan agamanya, berdalih atas nama “istri durhaka” agar dapat meluluhkan hati Jeremba. Tetapi sebaliknya, dalam lubuk hatinya, Jeremba bukan hanya tak bersedia disentuh lelaki yang diketahui sebagai suaminya itu. Namun ia juga sedang kalut dan berpikir keras tentang siapa yang menidurinya malam itu? Yang jelas bukan Rama. Toh ia juga baru pulang tadi sore setelah dua hari berada di luar kota, pikir Jeremba. “Kenapa melamun?” Rama menegur istrinya itu, yang ia ketahui karakternya telah berubah jauh dari sebelumnya. “Tolong jangan lagi paksa aku!” pinta istri keempatnya itu. Rama yang juga diketahui haus akan buaian wanita, seolah tak bisa melupakan Je