“Aku akan membantumu membalas dendam!”
Sontak Harsa kaget. Ia tak percaya lelaki itu sudah tahu banyak tentangnya. Dari mana lelaki arogan itu mengetahui semuanya?
Awalnya, Harsa mengira ia dipanggil ke sebuah ruangan bawah tanah untuk sekadar membersihkan ruangan kuno yang terlihat berdebu. Ternyata salah, lelaki yang ada di hadapannya malah melamarnya.
Apa ia sudah tidak waras?, pikirnya.
Bagaimana tidak, lelaki tampan dengan parasnya yang memesona, tinggi badan yang ideal untuk seorang lelaki bertubuh kekar, mustahil menyukainya yang memiliki wajah seperti monster.
“Aku rasa tawaranku sudah lebih dari cukup untuk membayar upah atas pernikahan kontrak yang aku minta!” ia menyeruput secangkir kopi di hadapannya. “bahkan hidupmu akan lebih mudah jika menerimanya!” sambungnya.
Ya, memang itu lebih dari cukup. Tapi Harsa khawatir, ia curiga ada rencana lain yang terselubung. Apalagi masa lalu banyak mengajarinya untuk tidak percaya pada siapa pun. Namun rencana balas dendam yang ditawarkannya cukup menggiurkan. Tak hanya itu, di sisi lain Harsa masih ingin hidup layak seperti dulu.
“Beri aku waktu untuk berpikir!” pinta Harsa.
Tentu saja ia butuh waktu, ia masih belum percaya seorang kepala sekolah seperti Osa, dapat dengan mudah memilih wanita asing untuk menjadi pendampingnya. Meskipun hanya pernikahan di atas materai, tetap saja Harsa berpikir semua itu sangat tidak masuk akal.
Lelaki pelik, pikirnya.
Beberapa detik, pikiran Harsa melayang, ia berpikir orang-orang akan menganggapnya memiliki ilmu santet sehingga bisa menjerat lelaki tampan seperti Osa. Atau bahkan ia akan dikira memasang susuk, hingga akhirnya lelaki itu memperistrinya, tiada lain dengan tujuan untuk mewarisi seluruh harta Osa.
“Sempat-sempatnya melamun, ya!” kejut Osa.
“Hah? Sorry!” Harsa kikuk.
“Hhmm, aku tidak bisa memberimu waktu, aku butuh jawabannya sekarang!” desaknya.
Benar-benar keras lelaki yang ada di hadapannya itu. Dipisahkan oleh sebuah meja bundar yang besar, ia merasa sedang mengulang kembali sidang skripsinya tempo dulu.
Sangat menegangkan memang, tapi Harsa juga tidak ingin terlihat konyol. Ia menegakkan bahunya, lalu meletakkan kedua telapak tangannya di atas meja,
“Baik, memangnya berapa gajiku setiap bulan jika menjadi istri kontrak seorang Osa Mahendra?” tantang Harsa. Ia membusungkan dada.
“Menurutmu, berapa upah yang cukup untuk membayar seorang tukang kebun yang menjelma menjadi Nyonya Osa Mahendra?” tanya lelaki tampan itu sambil mengetuk jemarinya di atas meja.
Sombong sekali, pikir Harsa. Sudah memaksa sesuka hati, kemudian merendahkan seenak jidatnya.
Osa sendiri juga tahu bahwa wanita yang kini tepat berada di hadapannya merupakan seorang tukang kebun di rumahnya sendiri, tapi kenapa ia memaksa untuk menjadikannya istri?
Sulit sekali Harsa mengartikan maksud lelaki itu. Ia pun sebenarnya tak sanggup membayangkan satu atap dengan suami yang akan terus merendahkannya.
“Tersinggung?” sinis Osa.
Jeremba membalasnya dengan tatapan yang sama sinis. Sebagai seorang wanita yang berpendidikan, ia masih punya harga diri.
Osa memang sangat arogan dan suka merendahkan orang lain. Mungkin kehidupan glamor dan sifat angkuh yang ia punya menjadi pemicunya. Hampir setiap menit ada saja yang disalahkannya. Selama ia pulang dari pendidikannya di Amerika, semua asisten rumah tangga terasa risih dengannya. Lebih baik menghindar dari pada harus berhadapan dengan lelaki itu.
Masih sangat melekat di ingatan Harsa kejadian kemarin sore. Di mana Rumi, seorang asisten rumah tangga di rumah Osa, dipecat karena tak sengaja menanggalkan luka bakar di baju lelaki itu saat sedang menyetrikanya. Ya, memang baju itu dibelinya di luar negeri dengan harga yang tidak murah, tapi setidaknya ia punya hati nurani untuk memberi sanksi yang lain. Rumi yang tengah mengandung merasa sangat terpukul, apalagi suaminya baru saja meninggal akibat mengidap penyakit dehidrasi lambung satu bulan yang lalu. Bagaimana ia bisa menanggung seluruh biaya persalinannya nanti?
Padahal, gaji untuk dua bulan ke depan direncanakannya menjadi tabungan untuk biaya persalinan. Tapi semua harapan itu dipupuskan oleh keegoisan Osa.
Harsa memejamkan mata mengenang semua itu. Lelaki yang ada di hadapannya, ingin sekali ia beri pelajaran.
“Aku memang miskin, tapi aku manusia!” Harsa bangkit dari duduknya. “aku tidak bisa menerima tawaran Anda, terima kasih!” ia beranjak pergi.
Sempat terbesit di pikirannya, mungkin ia akan bernasib sama dengan Rumi, dipecat seenaknya. Ia juga sedikit ragu-ragu dengan keputusannya, bagaimana ia bisa membayar kontrakan dan untuk biaya hidup sehari-hari jika kembali kehilangan pekerjaan?
Antara iya atau tidak, tapi ia beranikan diri untuk pergi meninggalkan lelaki yang batang hidungnya pun enggan ia tatap. Entahlah, ia ingin pasrah saja.
“Oke oke,” Osa mencoba meredam emosi Harsa. Membuat wanita itu menghentikan langkahnya. “aku salah, tapi aku tetap ingin kamu membantuku. Toh aku juga memberi imbalan yang setimpal!” cetusnya.
Bukannya minta maaf, tapi malah menunjukkan kesombongannya, hanya saja dari sisi yang berbeda.
Harsa sendiri masih sangat butuh pekerjaan. Jika ia menolak, khawatir dipecat. Ia menghela napas seraya memejamkan mata beberapa detik untuk menghalau kemarahannya yang sebenarnya sudah memuncak akibat cara bicara Osa.
“Aku akan menerima tawaran itu, tapi jawab pertanyaanku dengan jujur” tawarnya
“Apa?” Osa semakin terus terang
“Mengapa kamu memilih aku untuk menjadi istri kontrakmu?”
“Apa harus dijawab?”
“Harus!”
“Karena aku menderita HIV!”
Harsa mati kata.
“Apa salahnya menikahi seorang bandar narkoba?” monolognya. Sambil bercermin, sekadar melihat gambar diri untuk memastikan penampilannya sudah memukau, ia berusaha menafsirkan sendiri keputusan yang telah diambilnya."Jeremba, sudah waktunya!"Bibi mulai mengingatkannya untuk keluar dari kamar. Ia harus menyaksikan dengan matanya sendiri proses ijab-kabul ini. Sebagai bukti hatinya yakin dengan keputusan yang dipercaya merupakan sebuah keputusan terbaik.Beberapa bibir mulai berbisik, sayup-sayup ia bisa membaca pergerakan mereka. Ya, ia paham tak mungkin mengatupkan semua mulut untuk menerima keputusan ini. Mungkin bagi mereka ini adalah aib yang lantas menjadi adopsi publik.Ia menikah dengan seorang bandar narkoba.Keputusan ini diambil dengan sangat sadar, ia lelah hidup miskin. Toh pernikahan yang sebelumnya berakhir bukan karena keinginannya sendiri. Apa salahnya Jeremba mencari kebahagian lain setelah semua luka menghampiri?"Apapun yang terjadi nantinya, kamu harus
“Gila! Aku harus menikahi seorang pengidap HIV?” hati Harsa mulai tak bisa menerima kenyataan ini. Apa kali ini, lagi-lagi demi uang, ia harus mengorbankan hidupnya? Pikiran Harsa semakin jauh, ia sedang berpikir sejauh mana kebebasan seksual yang dijalani Osa sampai ia harus mengidap penyakit mematikan itu. Atau mungkin ia adalah pecandu narkoba? Uang memang bisa mengubah segalanya, pikir Harsa. Dengan uang, tentunya seorang Osa Mahendra dapat membeli apa yang ia inginkan dengan mudah. Apa lagi ia yang menjalani masa pendidikan pasca sarjana di Amerika, tentunya hidup glamor dan bebas. Kebebasan itu yang kini menjadi mala petaka berkepanjangan baginya. Bahkan menurut info yang ia dapat, ia memutuskan hubungan sebelah pihak dengan gadis yang nyaris menjadi istrinya. Padahal kedua belah pihak keluarga sudah siap menuju panggung pelaminan. Tanpa alasan yang jelas, Osa memutuskan untuk berpisah. Tapi kini Harsa tahu
Empat tahun menjadi istri Rama bukanlah waktu yang singkat. Selama itu pula Jeremba tak lagi menemukan dirinya yang dulu. Saat ini ia bak sosialita yang disibukkan dengan berbagai kegiatan donasi, kegiatan yang diyakini sebagai alat pencucian uang.Selama empat tahun ini juga ia telah menyelesaikan gelar sarjananya. Gadis lulusan SMP itu sudah mengambil paket C dan melanjutkan kuliah di jurusan pendidikan. Tak masalah meskipun prosesnya dilalui dengan perantara uang haram, yang terpenting baginya adalah menemukan kebahagian yang ia mimpikan.Hari ini, di sebuah meja makan raksasa, mereka berlima saling bercerita. Rama menjadi pendengar terbaik bagi istri-istrinya. Diselingi dengan canda, suara tawa lelaki itu terbahak-bahak."Istri-istriku tersayang, ada yang ingin aku sampaikan!" Rama menyela"Ya sampaikan saja, Mas, kok harus izin dulu?" jawaban Gundi membuat ketiga madunya tertawa.Rama pun tersenyum. Ia melipat kedua tangannya ke atas meja sembari menatap wajah keempat istrinya."
Dipisahkan oleh kematian, kini Bu Ratna hanya bisa menangisi liang lahat yang sedang terbuka di hadapannya. Sekuat apa pun ia meminta, suami yang sangat dicintainya tidak akan pernah kembali."Yang kuat ya Bu," seorang wanita memeluk dan menguatkannya. Cantik sekali parasnya. Rambutnya terurai lembut, warnanya sedikit pirang. Kulit wajahnya pun begitu mulus. Harsa yakin perawatannya pasti mahal.Ia menyentuh wajahnya sendiri, sedikit menyayangkan tubuh sendiri. Kulit wajahnya yang cacat terkadang membuatnya cemburu, jujur ia ingin sekali kembali terlihat cantik.Harsa juga ingin sekali menyambangi Bu Ratna dan mengucapkan ikut berbelasungkawa, namun ia tau diri, seorang tukang kebun sepertinya sebaiknya fokus mempersiapkan bunga-bunga yang nantinya akan ditaburkan.Dari kejauhan, terlihat sosok gagah, berkaca mata hitam, dengan kemeja sederhana dan sepatu mewahnya, memeluk erat tubuh Bu Ratna. 'tinggi sekali lelaki itu', gumam Jeremba dalam hati. Ia terlihat menyimpan air mata di balik
Jeremba mampu mendengar segalanya. Tapi matanya sulit terbuka, mungkin karena pengaruh obat yang disuntikkan kepadanya. Tubuhnya lemas tak berdaya, parasnya yang cantik terlihat sayu. "Kami tim dokter mencurigai ada makanan beracun yang dikonsumsi oleh pasien!" seorang dokter cantik, tingginya semampai, menjelaskan. Sembari ia menyentuh dan sedikit menekan pergelangan tangan Jeremba. "Apa, Dok? Bagaimana bisa ini terjadi?" Gundi begitu terkejut. "Pasien ada makan apa sebelum pingsan?" dokter menyelidiki. "Setau saya Jeremba hanya minum air putih di dapur, lalu pingsan!" sahut Gundi. "Tapi kami juga makan di restaurant sebelum tiba di rumah!" jelas Ratu, melanjutkan. "Kita tunggu hasil laboratorium, ya!" dokter cantik itu meminta Gundi dan madu-madunya bersabar. "Baik, Dok" Madu-madu Jeremba setia menemaninya. Mereka bertiga tak meninggalkannya sedikit pun, bahkan jika harus keluar, mereka akan bergantian. Setelah mengantarnya ke rumah sakit, Rama langsung bergegas pergi. Katan
“Kami butuh darah golongan A!” ujar dokter. Osa tengah mondar-mandir memikirkan di mana ia dapat menemukan darah golongan A tersebut. Sudah beberapa rumah sakit yang dihubunginya, tetap saja belum membuahkan hasil. Belum lagi beberapa preman yang dikerahkan juga mengeluh hal yang sama. Kerja keras Osa bukan tanpa alasan. Ia khawatir rencana yang telah disusunnya dengan apik ambyar begitu saja. Jika Harsa tak juga selamat dari masa kritisnya, bagaimana tentang perjanjian yang telah disepakati bersama? Sial. Bisa-bisanya ia ingin mati setelah mengikat janji dengan Osa. “Hei, perempuan bodoh!” celanya. Meski Harsa tak mendengarnya, setidaknya ia ingin meluapkan kekesalan itu. “bukan hanya uangku yang terkuras, tapi darahku juga!” lanjutnya begitu kesal. “kamu harus bangun untuk membayar semuanya!” perintah Osa. Osa yang akhirnya terpaksa mendonorkan darahnya sendiri untuk Harsa, sangat berharap wanita itu bangun. Sudah banya
"Bagaimana aku bisa menjadi istri keempat?" monolognya.Sulit bagi Jeremba menerima semua kenyataan itu. Ia yang kehilangan ingatannya tak percaya telah menikah dengan seorang bandar narkoba.Bahkan ia enggan pulang ke rumah suaminya. Setiap hari, ketiga madunya datang untuk membawa makanan kesukaan Jeremba, dengan harapan wanita itu akan segera mengingat semuanya."Lebih baik aku tidak mengingat apa pun!" pungkasnya. "aku lebih suka begini,!"Jeremba sama sekali tak ingin berusaha mengembalikan ingatannya. Ia lebih suka hidup dalam jati dirinya yang baru, yang baginya adalah diri yang sesungguhnya."Bagaimana dengan pernikahanmu?" Gundi ingin Jeremba mempertimbangkannya kembali."Aku bukan istri lelaki itu!" Jeremba merasa dipermainkan.Akal sehatnya berontak keras. Bahkan ia semakin tak percaya ketiga madunya begitu baik dan peduli padanya. Keanehan yang ia sadari sama sekali di luar nalar akal sehat.Gundi menunjukkan beberapa foto pernikahan Jeremba dan suaminya yang masih tersimpa
“Guru yang mengajar di sekolah ini harus cantik!” perintah lelaki yang baru beberapa minggu menjadi seorang kepala sekolah. Semua guru saling memandang, sayup-sayup mereka mulai berbisik tentang apa yang baru saja mereka dengar. “Kalau guru tidak cantik dan memesona, bagaimana para peserta didik tertarik untuk mengikuti pembelajaran?” Osa semakin mempertegas pernyataannya. “jadi kalau gak bisa cantik, lebih baik jangan bekerja di sini!” pungkasnya lagi. Semua guru semakin heran dibuatnya. Mereka tak percaya karakter Osa berbeda jauh dengan almarhum ayahnya. Pak Seno dulunya selalu merekrut guru atas dasar kemampuan dan prestasi yang dimiliki guru tersebut. Ia sama sekali tak memperdulikan penampilan fisik. Lantas dari mana Osa mengadopsi aturan tersebut? “Dari Pak Ibrahim!” jelasnya. “lihat bagaimana sekolah Pak Ibrahim sekarang? Mereka menjadi sekolah swasta yang selangkah lebih maju dari kita!” Osa mulai membandingkan, dan t