Share

Pergi

Dipisahkan oleh kematian, kini Bu Ratna hanya bisa menangisi liang lahat yang sedang terbuka di hadapannya. Sekuat apa pun ia meminta, suami yang sangat dicintainya tidak akan pernah kembali.

"Yang kuat ya Bu," seorang wanita memeluk dan menguatkannya. Cantik sekali parasnya. Rambutnya terurai lembut, warnanya sedikit pirang. Kulit wajahnya pun begitu mulus. Harsa yakin perawatannya pasti mahal.

Ia menyentuh wajahnya sendiri, sedikit menyayangkan tubuh sendiri. Kulit wajahnya yang cacat terkadang membuatnya cemburu, jujur ia ingin sekali kembali terlihat cantik.

Harsa juga ingin sekali menyambangi Bu Ratna dan mengucapkan ikut berbelasungkawa, namun ia tau diri, seorang tukang kebun sepertinya sebaiknya fokus mempersiapkan bunga-bunga yang nantinya akan ditaburkan.

Dari kejauhan, terlihat sosok gagah, berkaca mata hitam, dengan kemeja sederhana dan sepatu mewahnya, memeluk erat tubuh Bu Ratna. 'tinggi sekali lelaki itu', gumam Jeremba dalam hati. Ia terlihat menyimpan air mata di balik kaca mata hitamnya.

"Dia itu anaknya Pak Seno!" jawab Rika, seorang asisten rumah tangga di rumah Bu Ratna.

Harsa tak bertanya, tapi wanita yang di sebelahnya berusaha menjelaskan sesuatu yang sebenarnnya sudah ia ketahui. Ya, wajar saja Rika menjelaskan, toh selama ini Harsa tidak pernah diizinkan masuk ke rumah majikannya itu.

"Tapi, kali ini kamu sudah bisa masuk!" bisik Rika.

"Maksudmu?" Harsa tak paham.

"Buk Jem dan beberapa karyawan lain sudah dipecat, jadi kamu mulai hari ini ikut mengurus kebersihan di dalam rumah!" Rika menjelaskan, suaranya dikecilkan agar tidak mengganggu prosesi pemakaman.

Harsa tak melanjutkan pertanyaannya. Ia ingin ikut khusyu mendoakan kepergian Pak Seno. Terlihat pula beberapa guru ikut meneteskan air mata. Pastinya banyak kenangan indah yang terlewatkan selama Pak Seno menjadi kepala sekolah. Lelaki paruh baya itu dikenal sebagai sosok pemimpin yang bijaksana.

Seperti saat berlakunya kurikulum merdeka, Pak Seno dengan sabar memberikan pelatihan kepada guru-gurunya mengenai pembelajaran berdiferensiasi. Beliau sosok kepala sekolah yang cakap teknologi dan kerap mengajari guru-gurunya secara langsung. Baginya, kepala sekolah harus menjadi atasan yang membuat guru-gurunya nyaman dan semangat untuk mengembangkan kompetensi diri.

Pernah suatu ketika ia mendapati Ikhsan, seorang peserta didik dengan latar belakang ekonomi rendah, telat datang ke sekolah. Setelah ditelusuri, ternyata ikhsan sering tidak hadir ke sekolah. Jarak rumah yang jauh dari sekolah, apalagi ikhsan tidak memiliki kendaraan, membuatnya sering telat bahkan tidak hadir ke sekolah. Akhirnya Pak Seno dengan sukarela menghadiahkan sebuah sepeda untuknya. Hingga saat ini, Ikhsan tidak pernah telat lagi ke sekolah.

Kini Ikhsan hanya dapat menangisi idolanya itu. Ia tertegun melihat sosok bapak terbaik sepanjang menjadi peserta didik SMA Swasta Tunas Bangsa.

Harsa pun meneteskan air mata, ia yang belum menerima kebaikan apa pun dari Pak Seno ikut merasakan aura kebaikan yang ditebarkan almarhum benar-benar tulus. Berbondong-bondong manusia datang untuk mendoakan, silih berganti.

****

"Harsa!" panggilan itu membuatnya menoleh. "Tolong nanti kamu urus kebersihan di dalam rumah ya untuk acara tahlilan nanti malam"

"Baik, Bu" Harsa mengangguk.

"Oh iya, mulai sekarang kamu bertugas menjaga kebersihan di dalam rumah ya. Urusan taman biar satpam yang urus untuk sementara waktu sampai saya menemukan pekerja baru."

"Baik, Bu" ia kembali mengangguk.

Ia hanya mengangguk, tak berani bertanya apa pun.

Mengikuti arahan Bu Ratna, ia mulai menyapu, mengepel, menggelar ambal untuk menyambut tamu, dan memastikan lampu serta AC menyala dengan baik.

Rumah ini sangat besar jika hanya Harsa yang membersihkannya, memiliki 7 kamar, 2 kamar mandi tamu, membuatnya ngos-ngosan. Ia membayangkan jika setiap hari harus membersihkannya sendirian, bisa mati berdiri, pikirnya.

"Harsa!" panggil Rika. Harsa yang baru saja merebahkan tubuhnya di lantai, harus tegak berdiri mencari sumber suara itu.

"Kenapa Rika?"

"Tolong bantu aku menyusun kue-kue ini di depan ya, sebentar lagi tamu sudah mulai datang" pinta Rika.

"Oh, baik!" Harsa langsung membantu rekan kerjanya. Tanpa pamrih.

"Tunggu, kamu asisten rumah tangga disini?" seseorang menghentikan gerak tangan Jeremba yang sedang menyusun piring-piring di ruang depan. Rika pun menjadi gugup.

"Maaf Mbak, tadi saya yang minta dia untuk bantu menyusun makanan ini, karena saya takut gak terkejar waktu. Maaf Mbak," Rika sedikit membungkuk.

"Ada apa, Lus?" Bu Ratna pun datang.

"Ini, mama yang memperkerjakan wanita ini?" wanita cantik itu menunjuk ke arah Harsa.

"Iya. Memangnya ada apa?"

"Mama ini gimana sih, apa gak ada orang lain?"

Harsa tertegun lemas, ia tak bisa berbuat apa-apa.

Gadis yang dilihat Harsa saat pemakaman tadi semakin menjadi-jadi.

Wanita itu menghela napas.

"Aku tuh gak habis pikir ya, coba kalian semua lihat wajah dan tangannya!" ia menunjuk ke arah Harsa, membuatnya malu dan menutup sebagian wajahnya dengan selendang yang sedari awal ia pakai saat di pemakaman tadi.

"Maafkan saya, Mbak!" Rika kembali merasa bersalah.

"Ini bukan tentang siapa yang bersalah dan siapa yang harus dimaafkan. Tapi ini tentang kesalahan sistem di rumah ini dalam menerima pekerja. Coba lihat! Bagaimana wanita seperti ini bertugas menyusun piring-piring berisi makanan. Apa kata tamu nanti?" Ia tetap tenang dalam penyampaiannya, tapi begitu menyakitkan bagi Harsa.

"Pecat dia!" wanita itu tak berhenti. "tapi aku kasih waktu dia satu Minggu, sembari mencari pekerjaan baru." sambungnya.

Ia berlalu.

Rika tak henti meminta maaf pada Harsa, tapi bagi gadis itu bukan maaf yang ia butuhkan saat ini. Ia sedang berpikir tentang isi perutnya setelah satu Minggu berlalu.

**

Setelah sampai di kontrakan, Harsa meletakkan tas nya, lalu merebahkan tubuhnya ke kasur buluk di sana. Lengannya menutupi dahi dan pelopak mata. Ia terdiam sejenak. Perkataan lelaki itu kembali terngiang.

Kurang ajar, teriaknya.

            "Siapa Harsa? Ini bukan kamu!" monolognya.

Ia mengambil sebilah pisau yang bertengger di atas meja, lalu mengiris pergelangan tangannya, tepat di depan bayangan wajah buluknya yang terlihat di cermin.

Kini bukan lagi tentang uang yang membuatnya terpuruk. Tapi wajahnya juga ikut menyumbang duka besar dalam perjalanan hidupnya yang pelik.

Lantas ia merebahkan tubuh mungilnya ke lantai, membiarkan lelahnya melenyapkan alam bawah sadar dan membuatnya menemukan ketenangan walau hanya sejenak saja. Ia lelah pada keadaan yang selalu saja memojokkan. Ia merasa tak ada lagi yang berpihak padanya, bukan hanya jasadnya yang sendirian, tapi jiwanya juga.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status