Berani sekali Jeremba. Padahal awalnya ia juga istri Rama yang paling takut miskin. Baca kelanjutannya ya :)
“Cantikan siapa aku sama perempuan itu?” sinis sekali Lusi menatap gadis yang melewatinya. Belangi pun merasa tak nyaman mendengar sayup-sayup pertanyaan gadis berkulit putih itu. “Dia lebih cantik!” tegas Osa. Lusi menghela napas. Wajahnya terlihat kesal mendengar jawaban lelaki arogan itu. Bisa-bisanya ada gadis lain yang lebih cantik darinya, ia tak terima. Padahal saat masih berpacaran, Osa adalah lelaki yang sangat romantis. Setiap hari selalu saja ada pujian yang mendarat di telinga Lusi. “Kamu tega ya?” Lusi memelas. Ia tak percaya lelaki yang sangat ia cintai, kini justru memuji wanita lain. Osa hanya diam dan berjalan menuju ruangannya, membiarkan gadis itu melankolis sendirian. “Hei, gadis sok cantik!” panggilnya. Belangi yang melintas langsung tertegun. “jangan harap bisa merebut perhatian Osa dariku ya!” tegasnya. Ternyata jadi cantik juga rumit ya, pikir Belangi. Menjadi sosok wanita yang
“Kamu sudah dengar sendiri kan apa kata Mas Rama?” cecar Ratu. Jeremba hanya diam menatap madunya itu. Ya, memang ia sendiri yang mendengar suara keras Rama saat memarahinya tadi. Tapi Jeremba sama sekali tidak merasa bersalah. Di antara ketiga madunya, Ratu memang terlihat sangat emosi, tapi sebisa mungkin tetap berusaha ia tahan amarahnya. Perlahan ia merasa sudah sangat lelah dengan kelakuan Jeremba yang bertolak belakang dengan sosok yang ia kenal sebelumnya. Jeremba yang berkarakter ramah dan peduli kepada ketiga madunya, berubah setelah tragedi tempo hari. “Sabar Mbak, kita harus ingat kalo Jeremba ini sedang beradaptasi dan berusaha mengembalikan ingatannya,” Gundi berusaha menenangkan. Gundi yang usianya tidak jauh dari Jeremba sangat paham kondisi madunya itu. Ia selalu menjadi penengah selama ketidak-nyamanan itu terjadi. “Aku tidak perlu beradaptasi!” bantah Jeremba, ia bangkit dari duduknya dan bergega
“Apa-apaan sih!” celetuk Belangi. Memang, bunga mawar merah yang sudah bertengger di atas meja kerjanya itu merupakan bunga kesukaannya. Harumnya pun sangat semerbak, sepertinya baru dipetik subuh tadi. Semangat beraktifitas, sebuah ucapan ikut menambah sakralnya perasaan pengirim bunga tersebut. Belangi duduk di kursi empuknya, menatap tabu mawar merah kesukaannya itu. Pasti si arogan itu, pikirnya. Kemarin saja, ia memeluk Belangi tanpa izin. Memang karena sebuah kecelakaan sih, saat Belangi hampir saja terjatuh karena menyusun buku-bukunya. Tapi lelaki itu bisa saja mencari kesempatan dalam kesempitan, Belangi masih sangat yakin. “Ini tugas kamu hari ini!” sebuah lemparan beberapa lembaran kertas sontak mengejutkan lamunannya. Belangi memeriksanya, memastikan apa yang tertulis di dalamnya. Ternyata sebuah roster yang masih bentrok sana-sini. Banyak jam mengajar guru yang berbenturan dan tidak sesuai dengan yang
“Kamu tidak bisa diterima lagi di rumah ini!” pungkasnya. Jeremba terdiam. Baru saja ia menduduki kursi lusuh di rumah yang sejak kecil ia tinggali itu. Namun bentakan Bu Mah, membuatnya tercengang. Padahal niat hati ingin melangkah ke dapur untuk sekadar menuang secangkir air putih, sejak satu jam yang lalu ia sudah kehausan. Tapi ia urungkan. Ia harus memastikan apa yang baru saja ia dengar. “Maksud ibu?” Jeremba bertanya, matanya membulat sempurna. Memang, ia belum mengingat sosok ibu yang ada di hadapannya itu. Tapi ikatan batin yang terjalin di antara keduanya membuat Jeremba yakin bahwa Bu Mah adalah ibu kandungnya. Ditambah lagi jika memperhatikan caranya merawat Jeremba saat di rumah sakit, tak bisa diragukan lagi bahwa sosok wanita yang ada di hadapannya tak lain adalah ibu yang telah melahirkannya. Tapi mengapa ia berubah? “Masih kurang jelas yang ibu sampaikan barusan?” ia terlihat enggan mengulangnya kembali. Jere
Jangan bilang dia! Belangi mengutuk dirinya sendiri jika memang benar tua bangka itu yang meletakkan mawar di mejanya. Lelaki itu dipanggil Bang Jal. Belangi sangat risih melihatnya, karena Bang Jal yang punya kekurangan monohok, yaitu ompong. “Aku juga gak bisa terima jika memang Bang Jal yang menaruh bunga itu!” ucap Husna dengan santainya sambil mencium bunga yang harumnya masih semerbak. Husna juga merupakan guru baru di sekolah Osa. Usianya 2 tahun lebih mudah dari Belangi. Ia cukup cerdas, lulusan terbaik dari Universitas Indonesia. Bahkan beberapa kali ia memenangkan olimpiade tingkat nasional saat menduduki bangku SMA. Wajar saja jika Osa menerimanya tanpa pertimbangan. Tapi yang terpenting bagi Osa bukan hanya kepintaran Husna. Wanita bertubuh langsing, berkulit putih, juga tinggi yang ideal dengan lekuk tubuhnya, membuat Osa cukup yakin untuk menerimanya sebagai guru matematika. “Tapi btw enak ya jadi orang cantik!”
“Kamu pikir orang-orang akan peduli?” pertanyaan Gundi membuat Jeremba berpikir. Benar juga, siapa yang akan peduli dengan semua penderitaan yang akan ia pikul? Kembali hidup miskin tanpa uang sepeser pun. Bagaimana ia bisa menanggung hidupnya sendiri? Kesungguhan Gundi, membuatnya menemukan madunya itu yang sedang duduk di halte pinggir jalan. Sebotol minuman dingin yang dibawa Gundi ikut melegakan kerongkongan Jeremba yang memang sudah dari beberapa jam yang lalu begitu kehausan. “Tapi aku gak bisa menerima kenyataan!” Jeremba masih kekeh dengan pendiriannya. “Pendirian apa?” Gundi ingin Jeremba menerjemahkannya lebih rinci. Jeremba menghela napas, sambil tersenyum ke arah madunya itu. Rasanya percuma saja menjelaskannya, Gundi sudah tahu segalanya. Jeremba yang terjebak dalam pikirannya sendiri merasa tak lagi kuat bersandiwara dan meneruskan perannya sebagai istri Rama. “Kamu lihat sendiri kan, bah
“Dasar cowok dolar!” cecar Husna. Itu gelar yang sudah lima tahun ini disandang oleh Raka. Guru-guru di sekolah dengan sengaja menyematkan panggilan tersebut kepadanya karena setiap sesuatu yang dilakukan Raka pasti ujung-ujungnya bermuara pada uang. Seperti saat ini, ia akan mengatakan siapa yang menanggalkan bunga mawar merah itu di meja Belangi jika ia bersedia memberinya sejumlah uang. “Gak banyak-banyak kok!” sahut Raka. “seratus ribu saja! Itu pun karena teman!” sambungnya lagi sambil tersenyum manis. Husna geram melihat rekan kerjanya itu. Kemarin saja, saat Husna meminta lelaki itu mengajarinya mengisi PMM, ia harus mengeluarkan uang seratus ribu rupiah sebagai upah. Seharusnya sesama rekan kerja saling membantu, pikir Husna. “Nih!” Husna menempelkan selembar uang kertas berwarna merah di dahi lelaki yang membuatnya panas itu. “Eh, gak usah bayar Na!” Belangi mencoba menghentikan Husna, namun terlambat, lelaki itu sud
“Masih berani kembali ke rumah ini?” Ratu menyindir. Jeremba hanya terdiam, ia termakan ucapannya sendiri. Membiarkan Ratu berkata sesuka hatinya sepertinya lebih baik dari pada beradu mulut. “Sudah! Tidak ada yang boleh menghina istriku lagi!” pekik Rama. Ia mempersilakan Jeremba duduk. Perlakuannya dengan sangat sopan dan lemah lembut. Jeremba tak tahu harus berkata apa, ia merasa sedikit bersalah. Jeremba kini tahu mengapa ketiga madunya yang lain sangat mencintai suaminya. Rama sosok lelaki yang romantis dan begitu menyayangi istri-istrinya. Wanita mana yang tidak ingin dicintai? Setiap wanita pasti ingin disayangi dan diutamakan oleh suaminya. Tapi tidak dengan Jeremba, ia merasa tidak butuh semua itu. “Kamu mau tinggal kembali di sini kan, Sayang?” pinta Rama, seraya merangkul kedua tangan istri keempatnya itu. Rama sudah sangat merendahkan dirinya di depan Jeremba. Bahkan ketika sudah sangat dipermalukan pun, ia masih memelas. Ber