Asap hitam tidak kasat mata melewati para penduduk desa yang sedang panik melihat seorang gadis yang berjalan bersama mereka tiba-tiba jatuh. "Denyut nadi sudah tidak terasa, detak jantung juga berhenti. Sepertinya dia pingsan," ujar seorang wanita paruh baya. Asap hitam membumbung tinggi lalu menepi, seolah bersembunyi di dekat semak belukar. Pyash! Kepulan asap menghilang, menjelma menjadi seorang wanita nan cantik. Wanita itu tersenyum menyeringai merasa puas akan apa yang terjadi. "Gadis malang," ungkapnya menyibakkan selendang merah, yah wanita tersebut adalah Nyi Gendeng Sukmo pemilik selendang merah. Seperti angin, sosok wanita ayu itu menghilang tanpa jejak. Dalam waktu singkat wanita tersebut sudah sampai di dekat air terjun. Tubuhnya ambruk tersungkur ke tanah rerumputan. Napas tersengal, tubuh gemetar, tukang rasanya remuk redam. Namun, bukan rasa sakit yang dirasa. Wanita itu malah terbahak, tertawa lantang dengan girang. "Aku
"Andai kau mau menuruti apa yang aku katakan, kau tidak akan merasakan sakit Cah Ayu," ujar Nyi Gendeng Sukmo mengibaskan selendang merah. Suara gamelan kembali terdengar, wanita itu menari mengitari tubuh sang gadis yang sudah tidak bernyawa. Sejurus kemudian jiwa Gendeng Sukmo masuk ke dalam tubuh sang gadis. Dengan tubuh baru, Nyi Gendeng Sukmo membuka mata kemudian bangkit berdiri. Dia tersenyum kemudian melompat ke dekat bukit Alang-alang. Kakinya mulai berpijak melangkah keluar, dia berdecak merasakan tubuhnya yang seperti terikat sesuatu. Ada benang merah pengikat yang mengekang. "Benang jiwa sialan!" pekiknya. "Ah, setidaknya aku bisa keluar menggunakan tubuh ini sementara. Akan kucari waktu yang tepat untuk menjerat Rengganis," keluhnya mengendus. "Raga ini berbau mayat, ini tidak akan bertahan lama, sialan!" umpatnya lagi. "Aku hanya mencium aroma wangi tubuh Rengganis, oh itu tubuh yang sangat sempurna sebagai wadah," ujar Nyi Gendeng Sukmo menyer
Khandra baru saja berkunjung ke tempat persembunyian. Dia terkesima melihat penampilan Rengganis, mengenakan kaos tanpa lengan, dengan celana komprang warna putih yang diikat dengan kuat menggunakan tali. Tangan mulus itu masih nampak putih bersih dalam guyuran sinar rembulan. Api unggun memberi efek menakjubkan, terlihat bak bidadari turun dari kayangan. Entah apa yang membuat Abra memalingkan wajah dan berkhianat dari wanita secantik dia, begitu pikir Khandra bahkan beberapa ksatria lain. "Aku harus lebih kuat Khandra, aku ingin segera menghunuskan pedang ini ke leher Kakang Prabu. Dia sudah mengambil milikku. Membuat rakyatku menderita!" teriak Rengganis. Wanita tersebut mengingat kembali apa yang terjadi pada rakyatnya. Upeti juga pajak tidak masuk akal yang selalu dipungut secara tidak manusiawi. Mbok Berek dan juga Kayana saling pandang, memperhatikan Rengganis juga Khandra hang masih sibuk berlatih pedang di tengah padang, di mana obor dinyalakan di
Khandra mencoba memahami situasi junjungannya. "Saya paham Permaisuri, untuk senjata mungkin lebih baik kita pilih yang cocok dengan Anda, saat ini yang ada hanya pedang. Mari kita berlatih pedang dahulu," kata Khandra. Lelaki gagah tersebut berjalan menuju sebuah meja di ujung gubuk pelatihan. Dia mengambil pedang kayu yang disiapkan anak buahnya untuk berlatih pedang. Ada pula busur panah, ah anak buahnya memang bisa diandalkan. Khandra meletakkan padang Sawer Geni miliknya kemudian meraih dua pedang kayu. Khandra kembali menghampiri Rengganis. "Saya lihat Permaisuri tadi belajar mengatur pernapasan. Gunakan teknik itu juga saat mengayunkan pedang. Agar Permaisuri belajar mengontrol emosi saat bergerak. Teknik pernapasan yang baik juga bisa membantu emosi saat kita bertarung. Jangan mudah terpancing, tetap fokus dan tenang," kata Khandra memberikan pedang kayu tersebut. Rengganis menerimanya, dia mengayunkan pednag tersebut. "Baiklah, aku paham," u
Rengganis membuka mata perlahan, kepala terasa pening. Ah, rupanya hari sudah berganti, wanita itu mengerjap-ngerjapkan mata. Beringsut bangkit dari dipan dengan susah payah. Rengganis menghela napas lalu mengembuskan teratur. Dia meraih meja sebagai pegangan lalu bangkit berdiri. Tangan tetap merayap pada setiap dinding gua, tubuh masih gemetaran kepala juga berkunang-kunang beberapa kali dia hampir ambruk. Rengganis menggigit bibir bawah agar tetap mempertahankan kesadaran. "Hyatt! Hap!" teriakan terdengar nyaring ketika Rengganis berada di ruang tengah. Dia menyipitkan mata, melihat ke luar dari lubang yang ada di gua. Terlihat Khandra menggunakan pedangnya menangkis serangan dari beberapa ksatria. "Mereka sedang berlatih," ujar Rengganis. Blar! Blar! Api keluar dari pedang yang diayunkan oleh Khandra. Beberapa anak buahnya menangkis serangan menggunakan pedang mereka. Kayana terlihat kewalahan menghadapi. Selesai menangkis serangan para kesa
Gending jawa terdengar ketika Rengganis membasuh wajah di sungai. Dia melihat pantulan dirinya dalam riak air yang jernih itu. Ah, wajah sungguh nampak lusuh tidak terawat. Siapa peduli, tidak ada sama sekali. Terpenting adalah tekadnya sepanas api Rengganis menutup mata, seperti terhipnotis. Dalam benak berontak mungkin kah menemui Nyi Gendeng Sukmo adalah jalan terbaik. Hati kecil menolak, apa yang ditawarkan Nyi Gendeng Sukmo pasti ada timbal balik. Bagaimana jika demit itu hanya memanfaatkan dirinya, begitu pikir Rengganis. "Permaisuri," panggil Khandra membuyarkan lamunan. "Ah, iya Khandra," jawab Rengganis. "Hari sudah menjelang sore, mari kita kembali ke persembunyian. Saya dan Kayana harus kembali ke Istana sebelum matahari tenggelam," ungkap Khandra. "Besok kami akan meninjau lokasi perbatasan, takut kerajaan musuh menyusup," terang Khandra. Ada rasa tidak rela mengingat kedua pemuda itu cukup berperan penting dalam sesi latihan. "Kalian semua a
Bukan Khandra sosok yang Rengganis harap yang hadir melainkan seorang perempuan anggun. Mengenakan kebaya dan kain sari berwarna biru kombinasi batik, di mana pada bagian samping terdapat belahan untuk mempermudah gerakan. Rok bawahan khusus yang dikenakan para prajurit wanita. Mbok Berek memeluk wanita tadi dengan sayang. Netra Rengganis dan wanita itu berserobok, senyum getir terulas di bibir manis permaisuri malang itu. "Hormat saya pada Permaisuri Rengganis," sapanya menyatukan kedua tangan di mana salah satu tangan menggenggam pedang. "Kau Sajani, ksatria wanita putri dari Mbok Berek?" Rengganis menekan perasaan, mencoba mengubah raut wajah. "Benar Permaisuri, kedatangan saya kemari untuk membantu Permaisuri berlatih bela diri atas titah dari Senapati Khandra," ungkapnya. "Terima kasih, istirahat saja dahulu, kau pasti lelah usai perjalanan jauh, bukan?" "Nduk, simbok sudah buatkan sarapan. Kita pergi sarapan dahulu," ajak Mbok Berek. Renggan
Rengganis mendapatkan pelatihan khusus menggunakan busur panah dari para ksatria. Sedangkan untuk berpedang Sajani yang akan melakukan. Bagi Rengganis siapa pun gurunya, dia tidak masalah asal bisa menjadi lebih kuat bukan wanita lemah tidak berguna lagi. "Aku harus lebih kuat agar tidak merepotkan kalian terlalu banyak!" tekad Rengganis ketika suara iba menggema melihat tubuhnya yang kelelahan berlatih. Rengganis mengikuti gerakan Sajani, mungkin karena sesama wanita Rengganis mudah akrab dengan Sajani. Gerakan pun menyesuaikan. Nyaman, Rengganis merasa mungkin seperti itu rasa menyenangkan memiliki seorang saudara wanita. Oh, tapi tunggu, Rengganis pun pernah dekat seperti saudara wanita dengan seorang wanita yang mengubah hidupnya. Yah, dialah Madhavi wanita ayu berwajah ular. Mengingat Madhavi membuat Rengganis menjaga jarak akan pertemanan. Juga Abra lelaki penghianat yang membuat dirinya benci pada sebuah kepercayaan, kepercayaan yang Rengganis junjung