Mohon maaf jarang up date ya, selain menulis author juga salah satu Co Editor yang bimbing penulis masuk, dan saat ini sedang bantu penulis revisi, mohon pembaca memaklumi. Terima kasih sebelumnya, lope sekebon buat para Kisanak dan Nyi Sanak yang mampir baca dan share gem vote.
Lelaki bertubuh kekar tersebut masih menutup mulut Rengganis. Wanita itu memberontak sebentar lalu sedikit melemah saat menghirup aroma yang sangat dia kenal. Rengganis segera membalikkan badan ketika tangan kekar lelaki itu terlepas. “Kau mengagetkan diriku, Khandra,” ujar Rengganis. Lelaki tersebut tertawa kecil. “Ampun Permaisuri jika saya lancang, saya hanya tidak mau Permaisuri berteriak,” kata Khandra. “Yah, aku memang hampir berteriak, aura tubuhmu tidak terasa Khandra.” Rengganis berjalan mendekati ranjang lalu duduk di tepian. Wanita tersebut menepuk samping ranjang mempersilakan agar Khandra duduk. “Saya akan duduk di kursi sana,” ujar Khandra. “Tapi aku butuh pundak untuk bersandar Khandra,” ujar Rengganis seraya menelengkan kepala. Khandra melihat wajah lelah Rengganis, lelaki tersebut tersenyum lalu mengiyakan keinginan sang junjungan. Kaki itu melangkah mendekat kemudian duduk di samping Rengganis. Tanpa sungkan Permaisuri Kerajaan Bas
Hyat! Hap! Kayana dan Petapa Bagaspati naik ke kuda. Mang Damar sendiri melepas salah satu kuda di pedati lalu menaikinya. “Kalian berhati-hatilah!” pesan Mang Damar. Ketiga lelaki beda usia tersebut langsung memacu kuda membelah jalan setapak nan gelap. Para wanita hanya memandang tubuh mereka yang semakin menghilang ditelan kegelapan. Cahaya rembulan hanya menyinari pada tempat-tempat terbuka, untuk jalan yang bagian samping masih ditumbuhi pepohonan besar, rasanya sangat gelap, suram dan dingin. Sajani mengambil damar dari dalam pedati, kemudian berjalan kembali ke arah Mbok Berek yang masih menangis mengkhawatirkan Rengganis. “Pada saat seperti ini, tidak ada Khandra di sini,” keluh Mbok Berek. “Sudah Mbak Yu, tidak apa. Khandra seorang senapati, dia pasti sangat sibuk saat ini,” terang Mbok Wiji. “Mari sekarang kita pelan berjalan untuk menyusul ke tempat Permaisuri Rengganis,” imbuhnya.*** Di tempat kejadian perkara, Bibi Larasati dan Roro Gendi
Beberapa saat sebelumnya, ketika Mang Damar, Petapa Bagaspati dan Kayana memacu kuda membelah jalan setapak nan gelap. Mang Damar menghentikan langkah mendengar ada suara kuda dari arah seberang. “Tahan!” Mang Damar mengangkat tangan, membuat Petapa Bagaspati dan Kayana spontan menarik kuda mereka untuk berhenti. “Kenapa Mang?” Kayana bertanya. “Ada pergerakan lain dari arah berlawanan, apa kita harus menepi?” Petapa Bagaspati menyahut. “Mereka seperti tergesa, ini mencurigakan,” keluh mang Damar. Tanpa berkomentar Kayana dan Mang Damar mengikuti Petapa Bagaspati untuk bersembunyi di balik pohon. Dalam hati berharap agar para kuda tidak berulah menimbulkan suara yang mencurigakan. Beberapa detik kemudian, suara kuda terdengar semakin dekat, mendekat. Mang Damar dapat mencium bau minyak tanah menguar ke udara. “Bau minyak tanah,” ungkap Mang Damar melebarkan mata dalam gelapnya malam. “Kejar mereka!” Petapa Bagaspati memberi titah. Hyat! H
Bekas tempat yang terbakar kini dijaga ketat oleh prajurit pihak kerajaan. Penghuni rumah yang lain yang selamat juga kini dialihkan kembali ke kediaman Ki Chandra yang berada di dekat Kerajaan Baskara. Kabar bahwa Permaisuri Rengganis sempat tinggal di kediaman KI Chandra pun sampai ke telinga Raja Abra. Sudah pasti orang yang bergelar raja itu murka, dia memanggil Ki Chandra pagi-pagi sekali ke Istana Utama. Disaksikan para abdi dalem yang lain, suasana istana berubah hening mencekam, bernapas pun rasanya kesulitan. “Apa maksud dari perbuatanmu itu Ki? Mau menentangku?” Raja Abra mengintimidasi. Lelaki tersebut duduk dengan tatapan angkuh di singgasana kebesarannya. “Mohon sekiranya Gusti Prabu Abra yang berpengetahuan luas nan bijaksana memaklumi hamba yang hanya pesuruh ini.” Ki Chandra memberi jeda ucapan. “Saya bersua dengan Permaisuri baru siang kemarin. Saya hanya mengikuti perintah Permaisuri Rengganis yang masih ingin menenangkan diri,” imbuhnya. “A
Sedangkan Istana Utama di mana Raja Abra berada bersama Ki Kastara dan Selir Madhavi. Ketiganya tengah meminum arak kualitas terbaik yang baru disuguhkan pelayan di ruang makan. Wajah mereka terlihat sumringah. “Mereka sungguh bodoh, bukan?” kekeh Raja Abra. “Biarkan saja mereka bertarung satu sama lain, kita tinggal menikmati hasil atas kekacauan yang sudah terjadi,” timpal Selir Madhavi. “Selanjutnya apa yang harus kita lakukan, Paman?” tanya Raja Abra pada Ki Kastara. “Aihihihi … Tentu saja kita harus melenyapkan Permaisuri Rengganis secepat mungkin lalu kita bakar mayatnya dan lempar ke air sungai!” cebik Ki Kastara. “Mereka begitu bodoh mengira kita tidak akan tahu apa rencana mereka.” Ki Kastara tersenyum menyeringai. “Kerajaan berdiri pasti akan banyak konflik, yang pandai menangkap situasi akan berkuasa. Banyak sekali para abdi dalem dan juga kerabat raja yang sebenarnya menginginkan Permaisuri Rengganis mati,” beber Selir Madhavi.
Rengganis maju selangkah, menatap air terjun dalam gua tersebut. “Aku akan masuk ke Kerajaan Bamantara, mengadu pada Raja Aratula,” kata Rengganis tersenyum menyeringai. ‘Sesuai yang aku harapkan,’ bisik Khandra dalam hati. “Permaisuri, tapi bagaimana jika Raja Arutala malah mendukung Raja Abra?” “Setidaknya aku tidak akan langsung dibunuh, kau bisa menyelamatkan diriku, menyusup seperti yang pernah kau lakukan dahulu saat menyelamatkan diriku di Istana Dingin,” kata Rengganis lalu kembali tertawa. “Baiklah, saya akan mengantarkan ---.” “Tidak perlu, aku bisa menyeberangi lautan dengan menumpang. Aku hanya butuh uang dan pakaian.” Rengganis memperhatikan kemben yang dikenakan berlubang di beberapa bagian. “Kau hanya perlu menghimpun pasukan kita di suatu tempat, Khandra. Akan aku pastikan Raja Aratula berada di kubu kita,” kata Rengganis yakin. “Saya paham, Permaisuri, saya percaya kita bisa melakukan kudeta atau penyerangan lain. P
Khandra hampir menahan napas, dia dibuat terkejut atas perintah Permaisuri Rengganis. Dia berjalan pelan seraya memandang arah lain tangan begitu gemetaran. Wajahnya juga sudah memanas seiring aliran darah yang terasa naik. Sedang Rengganis sendiri menunggu dengan mimik wajah tanpa dosa. ‘Mengapa wanita ini sangat ceroboh sekali, Duh Gusti tolong lindungi kami!’ mohon Khandra dalam hati. “Silakan Permaisuri,” ujar Khandra mengulurkan pakaian. “Terima kasih,” jawab Rengganis. “Saya permisi keluar!” pintanya. Khandra mempercepat langkah lalu keluar gua, sedangkan Rengganis kini berbalik badan dan menatap punggung lelaki tersebut heran. “Sepertinya dia sakit,” ujarnya. “Ahihihi ….” Tawa Nyi Gendeng Sukmo terdengar. Demit tak kasat mata tersebut menampakkan ujud bergentayangan di udara. “Dia bukan sakit Rengganis, tapi sedang menahan hasratnya. Kau lebih gila dari dugaanku, bertelanjang di hadapan pria asing, hihihi ….” “Dia b
Rengganis menahan tawa kemudian melepas pelukan, dia mengubah mimik wajah seolah terkejut lalu berucap, “Astaga, kau mau membunuhku, Senapati Khandra? Kau mau berkhianat?” Rengganis masih menggoda Khandra. Khandra gelagapan bukan main, “Bukan begitu Permaisuri, saya---.” “Hahahaha, astaga!” Rengganis tidak mampu lagi menahan tawa. “Lihat wajah merahmu itu Khandra, kau sangat menggemaskan jika sedang panik hahaha ….” Kembali Rengganis tertawa. Dia memegangi perut yang terasa sakit lantaran terkekeh. Khandra menghela napas panjang dia lalu menarik dengan satu tangan tubuh Rengganis hingga jatuh dalam pelukan. Bugh! Tubuh Rengganis ambruk ke dada Khandra, lelaki itu erat mengunci dengan satu tangan agar Rengganis tidak lepas. Dan benar, tangan kekar itu terlalu kuat bagi tubuh Rengganis, beberapa kali dia meronta tetap gagal untuk lepas. “Khandra,” panggil Rengganis mendongakkan kepala. Kedua wajah itu terlihat begitu dekat, ada rasa