Rengganis yang tidak pernah berada di dapur cukup terkejut melihat segala tetek bengek yang ada di dalam ruangan. Tungku api dan hal lain yang tidak pernah dia sentuh sebelumnya membuat dia kebingungan bukan main. "Cah Ayu, kau seperti kebingungan?" tanya wanita yang membawanya tadi. "Ah, maaf Mbok. Saya baru pertama kali masuk ke dapur, maksudnya masuk ke dapur seluas ini," kilahnya. "Hei, kau dengar. Semalam Raja Arutala sempat ribut dengan Ratu Zarina karena salah paham," ujar salah seorang dayang menata buah di nampan membuat Rengganis menoleh ke arahnya. 'Sepertinya efek Jaran Goyang sudah bekerja dengan baik,' batin Rengganis tersenyum menyeringai. "Iya, aku juga dengar, Ratu Zarina salah paham dengan Raja Arutala yang memikirkan Permaisuri Rengganis, istri adiknya, hahahaha,' sahut salah seorang lagi lalu tertawa. "Mereka manis sekali, Ratu Zarina terlalu cemburu pada orang yang salah," keluh yang lain. "Tapi
Rengganis memejamkan mata, kedua dayang itu menariknya hingga sampai ke depan pintu. Rengganis berhenti, dia mematung bertahan hingga membuat kedua dayang tersebut kesusahan menariknya. Rengganis lalu membuka mata, tatapan mata tajam memerah. "Lepaskan aku," lirih Rengganis. "Kau ini apa-apaan? Jangan membuat malu, ayo keluar!" pekiknya. "Aku bilang lepas, siapa kalian berani sekali menyentuhku!" Kali ini Rengganis berteriak hingga membuat semakin gaduh. Dia mengibaskan tangan, lalu melemparkan dua dayang tersebut hingga tersungkur. Ratu Zarina dan Raja Arutala menoleh ke arah suara. "Kanda Prabu, mari kita pergi—" Ratu Zarina hendak mengalihkan perhatian sang suami. "Beginikah sambutan yang kau berikan untukku Ratu Zarina?" tegas Rengganis, wanita itu melangkah dengan tegas tanpa takut ke arah Ratu Zarina yang kini sudah terlihat pucat pasi. "Sungguh sopan sekali, kau bahkan pura-pura tidak mengenaliku!" cebik Rengganis. Raja A
Nyi Gendeng Sukmo makhluk tak kasat mata mendadak muncul melayang di belakang Raja Arutala. Rengganis yang melihat hal tersebut melebarkan mata, dia segera mengubah raut mukanya agar Raja Arutala tidak curiga. "Lelaki mata keranjang ini sudah terkena ajian jaran goyang Rengganis, jangan takut." Nyi Gendeng Sukmo berucap, tentu Raja Arutala tidak melihat apalagi mendengar suara wanita iblis tersebut. "Lakukan semua hal sesuai rencana awal," ujarnya membelai wajah Raja Arutala lalu turun ke leher. Raja Arutala merasakan hawa berbeda, bulu kuduknya berdiri. Lelaki itu menoleh ke arah kanan-kiri dengan dahi mengkerut. Rengganis bertanya agar lelaki itu tidak menaruh curiga, "Ada apa Raja Arutala?" Dia ikut mengernyitkan kening. "Ah, tidak apa-apa aku hanya merasakan aura berbeda ada di sekitar kita," keluh Raja Arutala. "Hahahaha, kau cukup peka Raja Arutala," cucit Nyi Gendeng Sukmo diawali tawa. Wanita demit itu kemudian memutar tub
Istana Utama semakin gaduh, saling berbisik, seluruh abdi dalem menatap ke arah Raja Abra yang sedang mengacungkan pedang ke leher Khandra. Khandra yang masih duduk di tempatnya terdiam, sama sekali dia tidak gentar. Tatapan menjurus ke arah depan menatap tepat pada Petapa Bagaspati yang ada di seberang sana. Ki Kastara langsung melangkah mendekati Raja Abra. ‘Dasar lelaki pemarah yang tidak bisa mengendalikan emosi. Apa dia mau semua terbongkar?’ kesal Ki Kastara. “Tahan Gusti Prabu!” Ki Kastara menahan pedang yang hampir merobek leher Khandra. Raja Abra sendiri memang tengah menahan amarah luar biasa, utusan sang kakak datang membawa kabar kekecewaan yang ditunjukkan pada Abra. Raja Arutala menyalahkan Abra atas apa yang terjadi pada Permaisuri Rengganis. Lelaki itu menatap Ki Kastara, Ki Kastara menggelengkan kepala. Raja Abra mengembuskan napas panjang lalu kembali menarik pedang. ‘Aku selalu diabaikan, bahkan selalu kalah dari Kakang Arutala. Dia yang mendapatk
Raja Abra berdiri di teras halaman menatap lurus ke arah Taman Sari, terlihat Rengganis menikmati teh seraya memandang kebun bunga yang tumbuh subur. Senyuman itu, mendadak Raja Abra merindukan wajah ayu Rengganis. Rasanya dia ingin memeluk tubuh itu. Sang raja gegas melangkah cepat untuk mendekati. Namun, semakin cepat dia berjalan malah terlihat semakin menjauh lalu menghilang entah ke mana. Raja Abra memanggil-manggil nama Rengganis, kini dirinya berdiri di tempat asing entah di mana, seperti di sebuah hutan pinus, dia sendirian. Rasa rindu pada dirinya membuat Abra bak orang linglung berlari ke sana- ke mari menyusuri hutan pinus. “Rengganis!” teriak Abra. Semua bayangan lenyap, Abra membuka mata, melihat sekeliling ruangan. Ah, dia sedang berada di kamar miliknya. Ah, semua hal manis tentang Rengganis yang baru saja hanya mimpi belaka. Abra menoleh ke arah samping di mana Mandhavi terlelap dalam tidurnya. Aroma bunga melati tercium harum, semakin menambah r
Siang harinya di Kerajaan Baskara, Raja Abra memerintahkan para anak buahnya untuk menghukum gantung Ki Chandra beserta sang istri. Walau dua orang tersebut menyembah bahkan mencium kaki Raja Abra sekali pun. Namun, hatinya sudah tertutup, hukum mati tetap dilaksanakan. Bukan hanya pasal Ki Chandra, ketegangan lain pun terjadi antara Raja Abra, Selir Madhavi dan Ki Kastara, Raja Abra yang sudah terkena ajian jaran goyang dari Rengganis menjadi abai pada Madhavi. Sang selir melebarkan mata melihat keadaan Abra yang memprihatinkan. Lelaki mabuk itu melempar beberapa barang ketika kesal membuat kamar istirahat berantakan. “Sudah cukup Gusti Prabu, mari istirahat. Hari sudah menjelang pagi!” ajak Madhavi. Wanita tersebut meraih tangan Raja Abra. “Keluar dari kamarku jalang, aku muak melihat wajahmu!” umpat Raja Abra yang mendengar suara Madhavi yang membuat telinga dan kepalanya sakit. Madhavi melebarkan mata, tidak pernah Abra membentaknya sedemikian rupa. ‘Lelak
Prajurit di bawah kuasa Ki Kastara tersebut mengatakan bahwa anak rombongan Raja Arutala sudah sampai di perbatasan. Tentunya Ki Kastara dan Selir Madhavi terkejut bukan main mendengar berita yang telah dilontarkan sang prajurit. “Gawat, aku akan menemui Raja Abra untuk bersiap, ayo Selir Madhavi,” ajak Ki Kastara. Mereka berjalan cepat menuju ruangan Raja Abra yang sedang mabuk. Sedangkan sosok yang sedang mengamati menghentikan pengintaian. Dia tidak lagi mengekor mereka, akan sangat berbahaya jika tidak segera meninggalkan tempat tersebut. Lelaki yang menyamar sebagai prajurit itu berjalan pergi. “Hei kau mau ke mana ke belakang? Ki Kastara berjalan ke arah depan?” seorang prajurit yang berjaga bertanya. ‘Gawat jika ketahuan,’ bisiknya. Beruntung saat bersamaan lelaki itu buang angin, membuat prajurit yang berdiri di dekat pintu Ki Kastara menutup hidung. “Perutku sakit, apa bisa aku pulang cepat hari ini. Kepalaku juga mendadak pusing sekali?”
“Gawat Kenapa?” Suara yang sang panglima perang itu rindukan terdengar nyaring. Senapati Khandra menoleh ke arah belakang. Rengganis tampak cantik tersenyum menggunakan kain sari berwarna hijau. “Permaisuri Rengganis,” panggil Khandra. Lelaki itu berjalan mendekat dengan malu-malu. Rasa bahagia tidak terlukiskan dengan kata. “Aku merindukan dirimu, Khandra,” kata Rengganis terlebih dahulu saat melihat Khandra menundukkan kepala memberi hormat. Wanita itu menghambur ke pelukan Khandra sebelum lelaki tersebut menyatukan tangan ke depan membentuk hormat. “Aku dengar Raja Arutala sudah dalam perjalanan menuju Istana Baskara. Kita tidak bisa berlama-lama di sini mari kita berbincang sembari kembali!” ajak Senapati Khandra. Tawa Rengganis berderai, “Aku tidak menyangka Raja Arutala bertindak cepat, pasang umpan untuk melemahkan pertahanan Abra berhasil,” ungkap Rengganis. ‘Aku ingin lihat siapa dari mereka berdua yang bertahan. Mereka tidak akan sadar