“Guru Ragnala, para prajurit Kanezka itu berlari ketakutan. Apa yang terjadi?”
Pertanyaan Yajna, sang murid, kala itu mewakili kecemasan rombongan Ragnala. Mereka bisa mendengar jeritan prajurit Kanezka, tebasan pasukan Arwah, dan raungan para Yaksha yang bergemuruh sekitar 300 kaki didepannya. Di luar itu semua, mereka juga mendengar lolongan yang menggaung ke seluruh area Benteng Bisma, yang mereka tahu kalau lolongan yang menggelegar macam itu berasal dari siluman hutan Adwaya.
Sena yang melihat kekacauan di Benteng Bisma kala itu hanya bisa berharap kalau Raksha tidak bisa dibawa kesini oleh Lingga. Dari kejauhan, tidak hanya pasukan arwah dan Yaksha yang tengah menyerang prajurit Kanezka yang malang itu, tetapi juga para siluman beruang yang keluar dari hutan Adwaya.
“Pintu gerbang Benteng Bisma sudah terbuka. Ini lebih parah dari yang kuduga. Semuanya! Kita harus bergerak cepat!” seru Ragnala keras membangkitkan kesiagaan pasu
“Yajna, Enda, Sena, dengarkan aku. Boneka dewa Atma ada disini. Itu satu-satunya kesempatan kita untuk memenangkan pertempuran ini.” bisik Ragnala. Tatapannya masih tertuju pada Jayendra, tetapi dia memberi isyarat sekitar 50 kaki di arah tenggara terdapat seorang prajurit bertudung yang berjalan ringkih menuju panggung.Prajurit bertudung itu bukanlah prajurit Kanezka, melainkan boneka dewa yang dimiliki keluarga bangsawan Atma. Boneka dewa sakti ini dapat meniru bentuk, rupa, dan kemampuan siapapun yang dia sentuh, kecuali pendekar dunia arwah. Ragnala tidak tahu kenapa boneka dewa Atma ada disini, tetapi dia dapat menggunakan itu untuk memenangkan pertempuran ini.Yajna, Enda, dan Sena kala itu mengerti maksud Ragnala. Mereka sengaja sunyi agar Jayendra tidak curiga dengan rencana mereka. Kalau Jayendra berhasil menghancurkan boneka dewa Atma, maka semua harapan akan pupus.“Sena, kau harapan kami. Amankan boneka dewa Atma sampai ke jasad Tu
“Yajna! Enda!” Ragnala tidak bisa menahan kecemasannya. Semangat juang dan kekuatannya berkurang drastis semenjak kedua muridnya jatuh tidak sadarkan diri ditumbangkan oleh Jayendra.“Kanuragan Wiratama memang mengerikan, tapi butuh banyak kekuatan untuk menstabilkannya. Kau terlalu meremehkanku karena hanya mengandalkan dua muridmu itu untuk membantumu.” Raksha menjelaskan kelemahan Ragnala. Anehnya, terlepas dari semakin lemahnya Ragnala, dia tidak merasakan adanya niatan Ragnala untuk menyerah.“Pe-pertarungan kita belum selesai, Jayendra…!” Ragnala terbatuk-batuk sambil memaksakan berdiri lalu mengarahkan golok emasnya yang kini memudar menjadi golok biasa.Raksha bisa saja mengakhiri pertarungan ini dengan mudah, tetapi dia merasakan ada yang janggal. Sepertinya masih ada yang Ragnala sembunyikan, pikirnya. Dia menahan diri sampai akhirnya dia sadar masih ada satu muridnya yang belum dia lihat semenjak dia bertarun
“Uhh…”Raksha mendadak limbung sambil memegangi kepalanya yang mendadak nyeri. Dia tahu ada yang sesuatu yang bergejolak didalam hatinya ketika dia melihat Sena. Dia tidak ingat siapa Sena, tetapi hati kecilnya kerapkali menyeru kalau Sena adalah orang yang penting baginya. Perasaannya menegur tanpa henti kalau dia akan menyesal kalau sampai melukai Sena.Siapa wanita itu?Sena?Siapa Sena?Kenapa wanita itu seolah sedang membantuku?Bukankah dia juga bagian dari Kanezka yang menzalimi titisan Ashura?Kenapa aku bersikap seperti ini?Semua pertanyaan itu berseliweran memenuhi pikiran Raksha sampai pusing dibuatnya. Dia tidak bisa fokus karena kepalanya terasa nyeri, seolah-olah kepalanya itu tengah dibelah dua secara paksa dari dalam.“Ini benar-benar bodoh! Kuatkan dirimu! Kau tahu kalau dendammu belum selesai!” Raksha menyentak dirinya keras untuk memaksakan diri menahan semua rasa perih
“Jangan....menyerah….ayo….bangun….”Sena komat-kamit menyemengati dirinya sambil mengatur napasnya yang masih berderu cepat. Kedua lututnya masih belum cukup kuat untuk beranjak dan lanjut bertarung. Semua otot di tubuhnya serasa sobek dan dadanya belum berhenti kembang kempis untuk meraup udara yang rasanya tidak pernah cukup. Dia tidak menyangka kalau Kanuragan Wiratama benar-benar menguras tenaga dalam waktu yang singkat.Golok biru yang ada di genggaman Sena perlahan berubah kembali menjadi keris pusaka suci Ragnala karena Kanuragan Wiratama yang menguatkannya kian habis. Tenaga Sena sekarang bahkan tidak cukup banyak untuk menggunakan Kanuragan Kshatriyans.Di tengah keterpurukannya, Sena mendengar suara langkah yang menghampiri. Tubuhnya gemetaran tegang karena yang mendekatinya itu adalah prajurit arwah elit, siluman harimau, dan siluman srigala, yang dia tidak tahu kalau mereka bertiga adalah Suja, Asoka, dan Gardapati. S
Kecemasan yang sempat berkemelut di hati Sena luruh setelah dia melihat pasukan Kanezka dan bantuan dari istana tiba ke arah Benteng Bisma untuk membantu siapapun yang masih bertahan hidup. Dia harap mereka bisa segera bergerak cepat untuk menyembuhkan Ragnala, Yajna, Enda, dan siapapun yang terluka parah disini, termasuk Lingga sekalipun.Sejenak Sena termenung. Dia mengingat lagi momen ketika dia bertarung melawan Jayendra Mavendra untuk pertama kalinya. Entah dia nekat atau sudah gila, dia tidak menyesali pilihannya untuk beradu silat melawan Jayendra dengan taruhan nyawa. Terlepas dari ketakutan yang menaungi jiwanya ketika dia bertarung melawan Jayendra, dia bisa merasakan kemarahan dan kebencian yang luar biasa besar dari tatapan dingin Jayendra.“Kesaktian dia memang luar biasa, Raksha…tapi…” ujar Sena sekonyong-konyong.“Hmm? Kenapa, Sena? Siapa yang kamu maksud?” tanya Raksha yang masih merangkul Sena. Dia tampak ke
Dinginnya angin malam yang berhembus tidak membuat Raksha kehilangan konsentrasinya. Dia duduk bersila sambil memejamkan matanya, menajamkan fokusnya sehingga kanuragan Ozora yang muncul di kirinya menyebar ke seluruh tubuhnya merata.Dengan pandangan batinnya, Raksha melihat kalau prajurit arwah yang dia miliki kini menambah menjadi sekitar 1000 prajurit ditambah dengan tiga prajurit arwah elitnya yang paling diandalkan Raksha, yakni Suja, Asoka, dan Gardapati. Sejauh ini Kanuragan Ozora dalam tubuhnya berkembang pesat setelah pertempurannya di Benteng Bisma, tetapi di saat yang sama, dia tidak bisa melepas kekhawatirannya akan Kanuragan Yudha yang ada di dalam tubuhnya.Dalam satu minggu terakhir, Raksha mencoba menggunakan Kanuragan Yudha lagi untuk sekedar mempelajarinya, tetapi hasilnya nihil. Kanuragan Yudha itu seolah ‘hidup’ dan hendak menguasai jiwa dan pikirannya. Bahkan apabila dia tidak sedang berlatih atau menggunakan kemampuan silatnya,
“…jadi alasanmu memilih Pendekar Dewa Matahari karena kamu ingin menjadi prajurit elit Kanezka?”Tebakan Raksha itu membuat Sena termenung sejenak.“Ya, itu benar….tetapi semuanya tidak sesederhana itu.” jawab Sena setelah jeda panjang.”Aliran Pendekar Dewa Matahari paling sulit dikuasai dibandingkan semua aliran yang sudah kubahas. Tidak banyak orang yang memilih aliran ini karena mereka khawatir tidak bisa menguasai tingkatan tertentu di aliran ini lalu tidak bisa menempati posisi tinggi di Kanezka nanti.” lanjutnya.“Kalau kamu orangnya, kurasa kamu bisa menguasai Aliran Pendekar Dewa Matahari. Kamu berbakat.” balas Raksha tenang. Dia ingat saat dia bertarung dengan Sena di Benteng Bisma. Sena menunjukkan kepiawaiannya dengan Kanuragan Wiratama yang baru saja dia pelajari pada saat itu juga. Bahkan Ragnala pun terkaget-kaget dibuatnya. Mungkin Sena bukan sembarang pendekar. Dia adalah pendekar terp
“Anjali, kau mendengar narasi yang salah! Aku adalah saksi mata langsung atas tragedi di Benteng Bisma! Baik Keluarga Suradarma ataupun Pendekar Dewa Matahari bukanlah orang yang sepantasnya disalahkan atas tragedi itu! Semua sudah terjadi! Kita tidak perlu membahas siapa yang salah dan siapa yang benar!” seru Sena dengan niatan untuk menengahi Anjali yang sudah kepalang murka.“Kau tidak pantans menceramahiku, Suradarma! Atas semua pengkhianatanmu yang membela Jayendra Mavendra dan fitnah yang telah kau sebar dengan licik, kau masih berani menceramahiku?! Aku bersumpah akan membalas penghinaan yang telah kau lakukan dengan keji kepada ayahku!” Anjali masih tidak mau terima.“Tapi-““Sena.” bisik Raksha cepat sembari memegangi pundaknya sehingga Sena berhenti. “Aku tahu Anjali sudah buta akan amarahnya, tetapi ada yang aneh dengan keyakinannya. Dari semua amarah yang dia lontarkan, sepertinya dia hanya percay