Adhira melangkah separuh menunduk sepanjang perjalanan menuju ke apartemen. Ketika dia melintasi pintu masuk apartemen, tubuhnya menabrak Ervan. Dia terpelongok mendapati sosok yang menyendat jalannya masih tetap berdiri di sana.
“Ervan?” Suara seorang laki-laki terdengar dari ruang tamu.
“Om Renal?” Ervan tak sempat menghentikan Adhira saat dia sambil merunduk masuk ke dalam apartemen Ervan.
“Kamu….”
Adhira baru sadar kalau status buronan masih tertanggal pada dirinya. Dari baju milik Ervan yang dikenakan Adhira itu juga menyiratkan bahwa dia bukan baru sehari dua hari berada di tempat ini.
“Om Renal? Kita bertemu lagi.”
“Kamu bagaimana bisa ke sini?” tanya Renal seperti belum percaya dengan penglihatannya.
“Aku yang bawa dia kemari.” Ervan menjawab cepat.
“Ervan, kamu tahu kalau dia….”
“Buronan?”
Ervan m
Adhira menatap dirinya ke kaca. Alis tebal dan lekukan wajah ciptaan Laila berhasil menjelma wajah kusam Adhira menjadi pujangga jalanan berparas menawan. “Hmm, ujung alisnya masih kurang rata!” ucap Laila “Sebentar, Laila rapikan lagi.” Dengan cetakan alis, Laila menebalkan bagian hitam di atas mata Adhira. Ada guratan halus yang sudah berhasil disembunyikan dengan taburan bedak. “Jangan bergerak-gerak!” Laila juga mewarnai bibir Adhira yang pucat dengan lipstik miliknya. “Mana ada pelayan yang berdandan menor begini?” gerutunya, tapi tetap membiarkan Laila mengoleskan pewarna bibir tersebut. “Kamu bukan pelayan biasa, Om Gauhar.” Laila mengelap sisa pemerah yang masih berlepotan di pipi Adhira, kemudian menaburkan bedak untuk menyamarkan warna tadi. “Ta…da… Bagaimana? Sudah merasa lebih tampan sekarang?” Adhira merapikan poninya yang berjatuhan menutupi matanya itu sambil berkedip-kedip. Dia tak lagi ken
Keduanya melangkah ke tempat tinggal yang pernah ditempatinya pada masa sekolah dulu. Sekarang tempat ini kosong. Ervan sudah memiliki apartemen sendiri dan Renal pindah ke luar kota. Sebelum berangkat, Renal sempat memberikan undangan rapat pada Adhira. Itu yang menjadi alasan Adhira bisa masuk tanpa dicurigai.Semua benda dan perabot yang ada masih tertata di tempat yang lama. Adhira ingat dia pernah menempati salah satu kamar di bawah itu, lalu dia melihat ke ruang belajar Ervan yang dipenuhi deretan buku itu.Pada salah satu sisi lemari, Adhira melihat sebuah ukulele berwarna hitam eboni. Benda itu kembali mengantar ingatannya pada masa-masa sekolah dulu. Setiap datang terlambat dia akan membawa alat musik itu dan mulai bernyanyi demi menembus hukumannya.Adhira terkekeh saat membayangkan seisi kelas harus mendengar nyanyiannya setiap sebelum memulai pelajaran.“Ukulele ini… kamu yang menyimpannya?”Ervan mengeluarkan gitar k
Malam itu, Lyra kembali dari rapat aliansi dengan rupa lebih semrawut dari benang kusut. Polesan di wajahnya berbaur ke mana-mana. Gaun panjangnya robek, menampilkan tubuh bagian atasnya, tapi sudah tertutupi jaket milik Ingvar. Gerwin pun meminta pelayan membantunya membersihkan diri.Myra diam-diam mengintip dari pintu kamarnya. Dia bisa mendengar suara makian Lyra yang membahana ke seluruh rumah.Dengan enggan Lyra melepaskan Ingvar dari pelukannya. Pelayan berhasil membujuknya ke kamar setelah Gerwin membentaknya dengan keras.“Benar-benar tidak tahu malu! Bersihkan dirimu sekarang!”Di dalam otak Gerwin saat itu adalah, tidak ada putri dari Semias yang memiliki nilai jual lagi. Cepat atau lambat keluarga Refendra akan mencegah Ingvar mendekati Lyra—atau bahkan seluruh keluarga Defras. Tapi Gerwin memiliki enam anak perempuan. Tidakkah di antara mereka ada yang akan dinikahi keluarga Refendra?Baru keesokan harinya Myra tahu k
“Kakak yakin Adhira yang berbuat itu padamu?”Lyra sontak mengangkat kepalanya. Setelah menceritakan kejadian menyakitkan itu, pertanyaan yang justru diajukan Myra adalah keraguannya akan anak biadab itu.“Dia tidur di atas tubuhku. Siapa lagi kalau bukan dia yang melakukannya?”“Mengapa dia mau melakukan ini padamu?”“Mana kutahu,” jawab Lyra dengan kekesalan yang mulai tersulut, “Dia kan sedang mabuk waktu itu. Lagian anak nakal seperti Adhira bisa melakukan tindakan bejat pada siapa pun.”Myra tak menampik pernyataan tadi. Dia sendiri tak begitu kenal dengan orang bernama Adhira selain dari cerita adiknya di tempat fisioterapi.Sejak kejadian naas itu, Myra jadi lebih sering menemani Lyra. Baru dia ketahui bahwa Lyra hamil di bulan kedua. Beritanya cukup membuat keluarga Defras heboh. Mereka memikirkan banyak cara untuk menggugurkan kandungannya. Sementara Lyra sendiri begitu tak
Proses peradilan berjilid-jilid yang akhirnya membebaskan Adhira dari penjara itu semakin membuat Lyra dan Ingvar lebih sering bersiteru. Ingvar yang biasanya selalu bercumbu mesra dengannya jadi orang yang paling sering mengumpat sumpah serapah pada Lyra.Siang itu, setelah melalui persidangan terakhir, Lyra terlihat tengah berbincang dengan Ervan.“Aku sudah membuat pengakuan,” ucap Lyra di luar gedung persidangan. “Kuharap kamu tidak mengangguku lagi.”“Adhira tidak sepatutnya mengalami hal ini kalau sejak awal kamu tidak membuat tuduhan itu,” ucap Ervan.Lyra mengelak dengan nada tinggi, “Hei, waktu itu aku lagi setengah sadar! Lagian siapa suruh dia mabuk dan tertidur di depanku. Siapa lagi yang bisa kusalahkan kalau bukan dia?”Ervan menghela napasnya tak melanjutkan argumen lebih panjang. Dia melihat Adhira sudah masuk ke dalam mobilnya bersama Bunda Safira. Lyra pun hanya melirik
Senjata api teracung pada Genever. Myra tidak tahu dari mana Lyra bisa mendapatkan benda itu, tapi sepertinya Semias pernah menyimpannya di ruang kerja.“Kubilang lepaskan dia!”Gertakan tadi membuat Genever melepaskan Myra dari cengkeramannya. Myra langsung meluruskan tubuhnya. Meraih apa saja untuk membuatnya jauh dari laki-laki yang hendak menodainya itu.“Oh, ada Lyra rupanya.”Genever mengerling santai pada wanita yang dengan gemetar memegang senjatanya. Genever tak menunjukkan ketakutannya sama sekali. Dia justru melangkah ke arah Lyra.“Jangan coba-coba mendekat!” kecam Lyra lagi.Genever berbalik pada Myra yang masih menggeleng lemah, lalu menyeringai tajam. “Kamu mencurigaiku?”Myra berucap lemah, “Kamu yang membunuh Papaku, Gene!”“Haha… dan kamu percaya dengan kata mereka?” tandas Genever.“Kami sudah tahu niatmu
Di ruang tengah bangunan Lavandula, Myra membeberkan masa lalu yang suram tadi pada Adhira dan Ervan. Wajahnya bersimbah air mata. Dia tak lagi mengelak tentang penikaman yang dilakukannya pada Genever. Tak lagi menyembunyikan hal yang telah dilihat atau diperbuat dengan tubuh cacatnya itu.Adhira mengendus aroma lavender yang sejak awal menyebar di sekeliling mereka sambil bertanya, “Myra, siapa saja yang sudah mengetahui kejadian ini?”“Hanya Lyra yang tahu. Aku tidak tahu apa Flora juga tahu, tapi aku yakin dia pasti sudah menyerangku kalau tahu.”“Di mana kamu menyembunyikan mayatnya?”Myra menggeleng. “Lyra tidak memberitahuku apa-apa.”Dari cerita yang disampaikan Myra, Genever belum sempat mengatakan apa-apa tentang masa lalunya. Bahkan saat Flora menguraikan tentang Genever, mereka masih belum tahu apa sesungguhnya yang telah dia saksikan waktu ayahnya terbunuh di kediaman Limawa
Ervan dan Adhira berlari menembus kebun ceri yang mengelilingi sebagian halaman depan kediaman Sadana.Adhira tersengal, “Ervan… tunggu….”Ervan berhenti. Dia melepas genggamannya, sadar sudah menarik tangan Adhira terlalu kencang. Bekas kemerahan tak terlihat dalam remang, tapi Adhira pasti tak akan menghiraukannya kalaupun ada.Karena takut Kuswan mengejar mereka, Ervan pun membawanya bersembunyi di salah satu pohon yang agak besar. Adhira bersandar meraup udara sebanyak yang dia bisa ambil.“Ervan, Kuswan sudah mengetahui penyamaranku.”“Hm.” Ervan mengangguk.Dia menunggu sampai tenaga Adhira terkumpul. Teman yang dulu pernah memikulnya berkeliling lapangan enam puluh putaran itu sekarang bahkan tidak lagi sanggup berlari meninggalkan kediaman rumahnya. Ervan akan membopongnya jika dalam beberapa waktu Adhira masih terlihat belum kuat berlari.Belum sempat keduanya melangkahi pagar