Adhira mengelilingi daerah perempatan yang selalu ramai dipadati mobil dan pejalan kaki itu. Pasti ada kamera pengintai yang merekam kejadian kecelakaan kemarin. Dia tak akan melepaskan kesempatan menangkap siapa saja yang memiliki andil bagi kehancuran masa depan Kiara.
Ada tiga kamera yang bisa dijadikan bahan untuk konfirmasi dan bukti kecelakaan tersebut. Dua rekaman yang didapatkan Adhira dari pemilik toko telah dimusnahkan. Hanya satu kamera yang terletak lebih jauh dari lokasi kejadian. Itu pun diperoleh Adhira setelah menyogok pemilik toko.
Sekarang bukti ada di tangannya. Dengan cepat Adhira berlari ke rumah lamanya. Baik Kiara atau Om Willian belum pulang. Tante Durga tengah sibuk meracik bahan untuk membuat kue lagi. Adhira menyelinap masuk ke pintu belakang.
“Adhi…?” Durga membelalak heran. Dilepaskannya loyang kue yang hendak diolesi margarin itu.
“Tante, di mana Kiara?”
“Kamu mau apa ke sini?&rdquo
Adhira menegakkan tubuh wanita yang lunglai itu. Darah masih mengalir deras saat dia menggeser tubuh tadi lebih jauh dari tanah. Hal itu membuat Adhira hanya bisa mempertahankannya dalam posisi semula.“Bertahanlah. Aku akan membawamu ke rumah sakit.” Adhira melirik ke arah Lodra yang masih berdiri di ujung lorong tanpa bisa bertindak apa-apa.Jemari Durga langsung menggenggam lengan Adhira dengan erat seolah mencegahnya melakukan hal itu. Dia menggeleng lemah. Ada kata-kata yang hendak dia ucapkan lagi.“Berjanjilah kalau kamu akan menjaga Kiara untukku.”Entah bagaimana Adhira tak lagi bisa memikirkan cara menghadapi adiknya itu jika mengetahui keadaan Durga di sini. Terbunuh karena melindungi dirinya. Apakah dia begitu pantas dilindungi hingga satu nyawa harus kembali dikorbankan? Dia tak kuasa menyakiti Kiara lebih lanjut. Terlebih setelah hidupnya sudah dihancurkan oleh orang yang sama.“Jangan mati,” gumam
Para pelaku penembak wanita berinisial M berhasil diringkus di markas besarnya siang tadi pada pukul 13.00. Polisi mengidentifikasi motif pembunuhan adalah karena perampokan dan pemerasan. Proses hukum akan dijalankan dan kedua pelaku dijerat pasal pembunuhan dengan hukuman penjara maksimal lima tahun penjara….Mendengarkan siaran seperti itu justru membuat Adhira makin jengkel. Seluruh kejadian yang berlangsung beberapa hari ini terdengar seperti sebuah rekayasa belaka. Teodro Refendra memperlakukan mereka seperti pelakon dalam panggung sandiwara hanya untuk menutupi tindakan tercelanya itu.Kedua tungkai Adhira membawa dirinya pada lorong yang sama tempat kejadian tersebut. Bercak darah masih mewarnai dinding dan tanah sekitar. Lodra menyambutnya di depan pintu markas mereka, dengan para geng motor yang lain. Jika saja kemarin mereka di sana, mungkin masih ada kesempatan bagi Durga untuk selamat.Lodra menariknya masuk ke markasnya dan menduduk
Cuaca terik merundungi tempat ini tak lekang membuat tubuh Adhira lepas dari dari rasa dingin. Bisa-bisanya dia demam di tengah hari begini. Kemarin setelah makan bersama bersama Odin dan Salimah, usus kecilnya tak berhenti melilit dirinya. Dia muntah di pagi hari dan hingga sekarang belum bisa mengembalikan dirinya seperti semula.Langkah kaki yang dipenuhi luka itu membawa dirinya ke sebuah tempat yang pernah dikunjungi sekitar lima tahun lalu. Adhira melompati pembatas koridor dengan ruang penyimpanan obat. Jika ingatannya tidak salah, pada jam istirahat penjaga di tempat ini lebih lengah. Kesempatannya memasuki seluk beluk ruangan tadi jadi lebih gampang.Satpam depan mengamati gerakan Adhira yang melewatinya di jam besuk. Karena keadaan rumah sakit yang ramai, membuat penjaga tadi sedikit kewalahan. Terlebih tidak banyak yang bisa mereka amati dari kedatangan orang seperti Adhira.Adhira menyelinap ke ruang belakang yang lebih tersembunyi. Di balik pintu it
Tidak ada yang memperhatikan kaburnya seorang laki-laki di antara keramaian rumah sakit itu. Adhira menyelinap dari pintu belakang dan langsung memintas ke koridor tengah. Dengan begitu dia bisa kabur tanpa kelihatan petugas yang berkerumun di meja depan. Kakinya yang belum terobati sempurna masih harus mengangkut tubuhnya melewati selasar rumah sakit yang luas ini. Untungnya kemarin Ibu Salimah memperbolehkan dia menginap di rumahnya. Sepiring nasi tadi pagi cukup membuatnya melangkah lebih cepat sepanjang hari. Sebelum Adhira bisa melarikan diri lebih jauh, seseorang dari balik pintu mencengkeram tangannya. Sementara satu tangannya lagi merangkul pinggang ramping Adhira, menyeretnya masuk ke pintu tangga darurat yang ternganga. Adhira tak bisa berteriak, karena tentu saja keberadaannya langsung dapat diketahui. Seorang pria berjas putih dengan bahu bidang itu berhasil menyandarkan tubuh lunglai Adhira sepenuhnya ke balik pintu. Adhira menarik napas panjang, tapi yang muncul hanyal
Terlepas dari ekspresi dingin itu, perlakuan yang dikemukakannya jauh dari kata apatis. Bila tubuhnya tidak terasa nyeri, mungkin Adhira masih berpikir kalau ini semua hanyalah mimpi. Apa yang membuat Ervan begitu berbeda dari saat yang dia jumpai sebelas tahun lalu? Dia menjelajahi setiap benda yang ada di apartemen Ervan. Adhira bisa menikmati fasilitas di tempat ini selama beberapa saat sampai Ervan kembali. Aroma lavender yang biasanya menyeruak di rumah Ervan ternyata masih bisa terendus ke tempat ini. Ervan sengaja menaruh aromaterapi dengan wangi yang sama di setiap sudut ruangan. Menciptakan suasana yang serupa dengan yang pernah Adhira rasakan saat berada di kediaman Sadana itu. Ervan sudah menyediakan pakaian ganti untuk Adhira kenakan, tapi Adhira tidak mau memakainya karena ukurannya jauh lebih besar dan warna pastel terlihat kusam, sangat tidak sesuai dengan dirinya. Alhasil dia mengobrak-abrik isi lemari Ervan untuk mencari baju yang lebih pas.
“Kamu siapanya Ervan?”“Aku anak angkatnya.”“Dia—kamu bilang kamu anak angkatnya? Sejak kapan dia punya anak?”Gadis berseragam SMA itu menghela napasnya malas. Setelah yakin Adhira tidak berniat jahat, dia melonggarkan pertahanannya. Sedang matanya tetap sibuk mengikuti gerak-gerik Adhira dengan was-was. Dia menekan nomor Ervan di ponselnya, tapi belum ada jawaban dari teleponnya.“Kamu sendiri siapanya?”“Aku temannya.”“Bohong. Dokter Ervan tak pernah mengizinkan orang asing masuk ke apartemennya.”“Aku kan bukan orang asing. Sudah kubilang aku temannya, Nona Kecil.”Adhira benar. Hanya orang-orang dengan akses sidik jari yang sudah terdaftar yang bisa memasuki apartemen yang berada di lantai tiga puluhnya ini. Lagian gadis itu sepertinya pernah mengenal Adhira di suatu waktu.“Namaku Laila.” Anak tadi menjawab.
Ervan memaku tatapannya pada Adhira tanpa ekspresi. Dia langsung menarik tangan Adhira dari muka pintu setengah melirik ke arah Adhira. Pakaian merah yang dikenakannya cukup membuat Ervan segera tahu kalau Adhira pasti sudah mengobrak-abrik lemari pakaiannya.“Apa yang kamu lakukan di sini?”“Aku? Memangnya kenapa kalau aku di sini?” tangkis Adhira.“Lihatlah, dia ini. Selalu menjawab seperti ini pada kita. Kamu butuh kesabaran ekstra buat menjaganya, Ervan,” imbuh Ali sambil menggantungkan stetoskop di lehernya. Dia menghilang dari pintu ICU saat berhasil membuat Adhira berada dalam radar yang dibuat Ervan.“Dokter Ervan!” Seorang perempuan memanggil Ervan dari ujung koridor.“Laila? Kenapa tidak menunggu di rumah?”“Bosan. Jadi aku menyusul kemari. Kita pulang?”Ervan menoleh pada Adhira. Laila yang mendapati orang yang sama yang menyelinap ke tempat Ervan langs
Ervan belum menyingkir dari tempatnya berdiri, menunggu jawaban dari bibir Adhira yang masih enggan bergerak. Keduanya saling bertatapan beradu emosi tanpa suara.Demi melepaskan prasangka yang terus menjerat percakapan mereka, Adhira pun menepuk bahu Ervan dengan pelan dan berucap, “Anggapanku tidak penting.”Separuh tertatih Adhira melanjutkan langkahnya menuju ke selasar rumah sakit yang lebih senyap. Dia duduk selama beberapa menit sampai akhirnya tertidur. Ervan tetap duduk di depan ruang perawatan menunggui sang nenek tanpa bisa tertidur. Perawat hilir mudik di dalam sana menggantikan cairan infus yang menetes cepat itu. Belum ada tanda-tanda perbaikan dari wanita renta yang terkulai di dalam sana.Ketika fajar hampir menyingsing, Adhira belum kunjung kembali ke ruang tunggu. Ervan berkeliling dan menemukannya di kamar jaga perawat yang ada di lantai atas. Mereka heran bagaimana orang tak dikenal itu tiba-tiba bisa muncul di tempat mereka. Erva