Terlepas dari ekspresi dingin itu, perlakuan yang dikemukakannya jauh dari kata apatis. Bila tubuhnya tidak terasa nyeri, mungkin Adhira masih berpikir kalau ini semua hanyalah mimpi. Apa yang membuat Ervan begitu berbeda dari saat yang dia jumpai sebelas tahun lalu? Dia menjelajahi setiap benda yang ada di apartemen Ervan. Adhira bisa menikmati fasilitas di tempat ini selama beberapa saat sampai Ervan kembali. Aroma lavender yang biasanya menyeruak di rumah Ervan ternyata masih bisa terendus ke tempat ini. Ervan sengaja menaruh aromaterapi dengan wangi yang sama di setiap sudut ruangan. Menciptakan suasana yang serupa dengan yang pernah Adhira rasakan saat berada di kediaman Sadana itu. Ervan sudah menyediakan pakaian ganti untuk Adhira kenakan, tapi Adhira tidak mau memakainya karena ukurannya jauh lebih besar dan warna pastel terlihat kusam, sangat tidak sesuai dengan dirinya. Alhasil dia mengobrak-abrik isi lemari Ervan untuk mencari baju yang lebih pas.
“Kamu siapanya Ervan?”“Aku anak angkatnya.”“Dia—kamu bilang kamu anak angkatnya? Sejak kapan dia punya anak?”Gadis berseragam SMA itu menghela napasnya malas. Setelah yakin Adhira tidak berniat jahat, dia melonggarkan pertahanannya. Sedang matanya tetap sibuk mengikuti gerak-gerik Adhira dengan was-was. Dia menekan nomor Ervan di ponselnya, tapi belum ada jawaban dari teleponnya.“Kamu sendiri siapanya?”“Aku temannya.”“Bohong. Dokter Ervan tak pernah mengizinkan orang asing masuk ke apartemennya.”“Aku kan bukan orang asing. Sudah kubilang aku temannya, Nona Kecil.”Adhira benar. Hanya orang-orang dengan akses sidik jari yang sudah terdaftar yang bisa memasuki apartemen yang berada di lantai tiga puluhnya ini. Lagian gadis itu sepertinya pernah mengenal Adhira di suatu waktu.“Namaku Laila.” Anak tadi menjawab.
Ervan memaku tatapannya pada Adhira tanpa ekspresi. Dia langsung menarik tangan Adhira dari muka pintu setengah melirik ke arah Adhira. Pakaian merah yang dikenakannya cukup membuat Ervan segera tahu kalau Adhira pasti sudah mengobrak-abrik lemari pakaiannya.“Apa yang kamu lakukan di sini?”“Aku? Memangnya kenapa kalau aku di sini?” tangkis Adhira.“Lihatlah, dia ini. Selalu menjawab seperti ini pada kita. Kamu butuh kesabaran ekstra buat menjaganya, Ervan,” imbuh Ali sambil menggantungkan stetoskop di lehernya. Dia menghilang dari pintu ICU saat berhasil membuat Adhira berada dalam radar yang dibuat Ervan.“Dokter Ervan!” Seorang perempuan memanggil Ervan dari ujung koridor.“Laila? Kenapa tidak menunggu di rumah?”“Bosan. Jadi aku menyusul kemari. Kita pulang?”Ervan menoleh pada Adhira. Laila yang mendapati orang yang sama yang menyelinap ke tempat Ervan langs
Ervan belum menyingkir dari tempatnya berdiri, menunggu jawaban dari bibir Adhira yang masih enggan bergerak. Keduanya saling bertatapan beradu emosi tanpa suara.Demi melepaskan prasangka yang terus menjerat percakapan mereka, Adhira pun menepuk bahu Ervan dengan pelan dan berucap, “Anggapanku tidak penting.”Separuh tertatih Adhira melanjutkan langkahnya menuju ke selasar rumah sakit yang lebih senyap. Dia duduk selama beberapa menit sampai akhirnya tertidur. Ervan tetap duduk di depan ruang perawatan menunggui sang nenek tanpa bisa tertidur. Perawat hilir mudik di dalam sana menggantikan cairan infus yang menetes cepat itu. Belum ada tanda-tanda perbaikan dari wanita renta yang terkulai di dalam sana.Ketika fajar hampir menyingsing, Adhira belum kunjung kembali ke ruang tunggu. Ervan berkeliling dan menemukannya di kamar jaga perawat yang ada di lantai atas. Mereka heran bagaimana orang tak dikenal itu tiba-tiba bisa muncul di tempat mereka. Erva
Sebelas tahun lalu Adhira melangkah gontai memasuki gerbang depan panti asuhan. Lodra membuat harinya lebih cerah walau dia tahu dirinya makin terpuruk. Entah sudah berapa banyak peraturan yang dilanggarnya jika saja dia adalah keluarga Sadana. Lodra berbaik hati mengantarnya hingga ke gerbang bangunan tua di pinggiran kota itu. Bunda Safira tengah duduk di ruang tengah menunggu kedatangannya. Ada Laila yang tengah terlelap di pangkuannya. Saat pintu mengerait terbuka, Bunda Safira menghampirinya. Ada susu hangat yang sudah disiapkan wanita itu untuknya. Dia melirik Adhira dari bingkai atas kacamatanya. “Adhira?” Adhira mencoba menjernihkan matanya dan berdiri setegap mungkin agar tidak terlihat mabuk. Tapi percuma, Bunda Safira sudah mengendus bau menyengat dari tubuh Adhira. Dia menopang Adhira ke sofa terdekat. Adhira menjauh karena takut membangunkan Laila yang sedang tertidur itu. “Kamu mabuk?” “Lili? Kenap
“Hehe… ternyata Ervan saja memilih dirinya sendiri,” ucap Kuswan.Adhira sedikit terhenyak mendengar anggapan Kuswan. Jika memang Kuswan memilih namanya, seharusnya yang muncul hanya satu. Sebab hanya Adhira sendiri yang tahu bahwa orang yang dia pilih sebetulnya bukan dirinya sendiri, melainkan Ervan. Sementara Kuswan mengira Ervan yang terlihat alim itu bisa-bisanya memilih dirinya sendiri.Dari bangku paling depan, Ervan terlihat tengah menoleh melihat ke arah Adhira dengan ekspresi dingin. Adhira menggaruk kepalanya separuh terkekeh. Ervan yang menulis namanya.“Baiklah, sepertinya pemilih terbanyak jatuh pada Ervan.”Ervan segera bangkit. “Saya mengundurkan diri.”Tanggapan tadi membuat seisi kelas memprotes ricuh. Pak Heno sampai harus menggebrak mejanya untuk menenangkan.“Mengapa Ervan tidak mau menjadi ketua? Bukannya dia menikmati pekerjaan itu?” celetuk Kuswan. “Untuk ap
Praktikum biologi hari ini akan berlangsung sepanjang tiga jam ke depan. Pak Okra sudah membagikan kaca preparat yang bisa mereka gunakan untuk mengamati jaringan batang pacar air itu di bawah mikroskop. Tidak ada hal menarik selain melihat lingkaran bulat dengan serat-serat halus tumbuhan dari keturunan magnolia itu. Adhira menengok irisan rapi yang dibuat Ervan di atas kaca preparatnya dengan takjub."Hei, memang apa bagusnya sih tanaman itu?" celetuk Adhira di antara ketenangan kelas.Tentu Ervan tak menggubris pertanyaan itu. Pak Okra menyudahi praktikumnya dengan memberikan tugas baru."Adhira, kamu bagi cawan petri ini ke semua teman-temanmu," perintah Pak Okra sembari menyerahkan wadah bening dari kaca yang pipih dan bundar itu.Adhira ke depan dan mulai membagikan masing-masing siswa cawan tadi. Kemudian Pak Okra meminta mereka mengisinya dengan agar-agar hingga seperempat ketinggian cawan."Saya mau kalian membuat biakan
Undangan rapat aliansi tidak bisa diabaikan Adhira meski Lodra enggan memberikan benda itu padanya. Dia akan datang ke kediaman Defras, sekaligus bertemu dengan Teodro Refendra tentang tindakan yang telah diperbuatnya pada keluarga Osman.Seperti namanya, Gala Matahari adalah aula besar yang berada di taman bunga matahari. Gerbang besar membatasi jalan masuk ke bangunan megah di dalam sana. Mobil hitam itu melintas di depan gerbang dan Lodra muncul di depan menghampiri Adhira.“Kamu datang?”“Tentu saja aku datang,” jawab Adhira.Tidak ada Teodro hadir dalam rapat kali ini. Entah itu karena disengaja atau memang dia—seperti yang dikatakan orang-orang—sedang sakit. Lodra mengeluarkan undangan Adhira yang sempat ditolaknya kemarin. Mereka beriringan masuk ke dalam taman. Masih ada sekitar satu kilometer lagi sebelum sampai ke Gala Matahari.“Pakai ini.” Lodra menyodorkan topeng bercorak dari kulit itu.