“Hehe… ternyata Ervan saja memilih dirinya sendiri,” ucap Kuswan.
Adhira sedikit terhenyak mendengar anggapan Kuswan. Jika memang Kuswan memilih namanya, seharusnya yang muncul hanya satu. Sebab hanya Adhira sendiri yang tahu bahwa orang yang dia pilih sebetulnya bukan dirinya sendiri, melainkan Ervan. Sementara Kuswan mengira Ervan yang terlihat alim itu bisa-bisanya memilih dirinya sendiri.
Dari bangku paling depan, Ervan terlihat tengah menoleh melihat ke arah Adhira dengan ekspresi dingin. Adhira menggaruk kepalanya separuh terkekeh. Ervan yang menulis namanya.
“Baiklah, sepertinya pemilih terbanyak jatuh pada Ervan.”
Ervan segera bangkit. “Saya mengundurkan diri.”
Tanggapan tadi membuat seisi kelas memprotes ricuh. Pak Heno sampai harus menggebrak mejanya untuk menenangkan.
“Mengapa Ervan tidak mau menjadi ketua? Bukannya dia menikmati pekerjaan itu?” celetuk Kuswan. “Untuk ap
Praktikum biologi hari ini akan berlangsung sepanjang tiga jam ke depan. Pak Okra sudah membagikan kaca preparat yang bisa mereka gunakan untuk mengamati jaringan batang pacar air itu di bawah mikroskop. Tidak ada hal menarik selain melihat lingkaran bulat dengan serat-serat halus tumbuhan dari keturunan magnolia itu. Adhira menengok irisan rapi yang dibuat Ervan di atas kaca preparatnya dengan takjub."Hei, memang apa bagusnya sih tanaman itu?" celetuk Adhira di antara ketenangan kelas.Tentu Ervan tak menggubris pertanyaan itu. Pak Okra menyudahi praktikumnya dengan memberikan tugas baru."Adhira, kamu bagi cawan petri ini ke semua teman-temanmu," perintah Pak Okra sembari menyerahkan wadah bening dari kaca yang pipih dan bundar itu.Adhira ke depan dan mulai membagikan masing-masing siswa cawan tadi. Kemudian Pak Okra meminta mereka mengisinya dengan agar-agar hingga seperempat ketinggian cawan."Saya mau kalian membuat biakan
Undangan rapat aliansi tidak bisa diabaikan Adhira meski Lodra enggan memberikan benda itu padanya. Dia akan datang ke kediaman Defras, sekaligus bertemu dengan Teodro Refendra tentang tindakan yang telah diperbuatnya pada keluarga Osman.Seperti namanya, Gala Matahari adalah aula besar yang berada di taman bunga matahari. Gerbang besar membatasi jalan masuk ke bangunan megah di dalam sana. Mobil hitam itu melintas di depan gerbang dan Lodra muncul di depan menghampiri Adhira.“Kamu datang?”“Tentu saja aku datang,” jawab Adhira.Tidak ada Teodro hadir dalam rapat kali ini. Entah itu karena disengaja atau memang dia—seperti yang dikatakan orang-orang—sedang sakit. Lodra mengeluarkan undangan Adhira yang sempat ditolaknya kemarin. Mereka beriringan masuk ke dalam taman. Masih ada sekitar satu kilometer lagi sebelum sampai ke Gala Matahari.“Pakai ini.” Lodra menyodorkan topeng bercorak dari kulit itu.
Adhira mengukir garis-garis di dinding penjara berbatu bata tanpa plester itu untuk ke-120 kalinya. Guratan itu mewakili jumlah hari dia sudah mendekam di balik jeruji besi ini. Belum ada keterangan jelas kapan dia bisa diperbolehkan untuk keluar. Tidak ada saksi mata yang melihat langsung perbuatan Adhira selain Lyra sendiri. Proses persidangan juga terlihat mengada-ada. Dia disebut sudah menjebak Lyra saat mabuk.Sementara Adhira sejak awal juga belum bisa ingat akan apa yang telah terjadi padanya pada malam itu. Dia terbangun di rumah tahanan setelah dibawa segerombolan polisi dari kediaman Defras itu. Minuman yang diberikan Lodra cukup keras hingga bagian itu seperti menghilang dari ingatannya.“Kalian mau apa?” ujar Adhira saat tiga pria bertubuh bongsor mencengkeram kerah bajunya.“Kau tahu apa yang kami mau.”“Aku tidak punya barangnya!” tangkis Adhira sebelum satu tinju menghantam wajahnya.&ldqu
“Ayolah, sayang… ini akan nikmat untuk beberapa waktu.” Adhira menangis untuk pertama kalinya. Dia tak pernah merasakan dirinya begitu terhina, dilecehkan hingga tak lagi mempunyai harga diri. Berteriak hanya mengundang permasalahan baru. “HEI! Apa yang kalian lakukan?” Dua opsir muda melintas dari balik jeruji besi. Melihat pemandangan tak senonoh itu, mereka segera merangsek masuk dan mengacungkan senjatanya pada ketiga pria yang tengah menganiaya Adhira. “Bawa dia ke klinik! Aku tidak mau melihat tahanan ini kalian siksa di sini,” makinya bringas. Salah satu perwira memakaikan selembar kain ke tubuh Adhira dan membawanya keluar dari sel. Separuh kekuatan Adhira lenyap hanya karena menghadapi tiga pria mesum yang mencoba menodai tubuhnya. Klinik yang dikatakan petugas hanya ada perawat perempuan tua dengan stetoskop berkarat di lehernya. Dia hanya memberikan obat pereda nyeri yang sama sekali tidak berefek pada Adhira. Selanj
Sejak kedatangan Nahif, penderitaan Adhira tak lagi semengenaskan kemarin. Namun efek yang ditinggalkan sangatlah menyiksa. Di beberapa waktu dia harus mengerang kesakitan menghadapi tubuhnya yang tak mendapatkan asupan obat yang kuat. Terkadang Nahif tak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya membiarkan Adhira meringkuk berteriak seorang diri.Hingga setelah beberapa hari selang kejadian tersebut, seorang sipir mengeluarkannya dari sel tersebut. Adhira tahu ini bukan saatnya dia untuk dibebaskan.“Seseorang ingin bertemu denganmu.”Ini pertama kalinya Adhira mendapati orang mendatanginya. Di sisi bangunan yang berbeda terdapat ruangan untuk kunjungan. Ada kaca dengan jalinan besi membatasi pengunjung dengan para tahanan. Kuswan duduk di kursi pengunjung menunggu kedatangan Adhira.“Adhi.” Kuswan memanggil sambil menahan haru.Memandangi sosok teman sebangku yang seirama dengannya itu membuat Adhira menyesali kesialan yang dialamin
Seusai dakwaan dibacakan oleh jaksa penuntut umum, penasehat hukum yang sudah diutus oleh Tuan Pranadipa melakukan eksepsi. Bukti yang berhasil dikumpulkan berupa pakaian korban, rekaman CCTV, surat visum, serta topeng yang sebelumnya pernah dikenakan Adhira pada hari di mana kejadian naas itu terjadi pada Lyra.Adhira digiring memasuki ruang persidangan yang lengang itu. Dirinya tak menyangka akan menjadi salah satu tersangka yang diadili di tempat ini. Ada Bunda Safira yang juga turut hadir di kursi pengunjung. Di sampingnya ada Tamara dan beberapa guru lain. Kuswan duduk tak jauh dari tempat mereka. Dia tersenyum seraya menyemangati Adhira yang mulai menggeliat resah itu. Ervan tidak ada di sana. Tampaknya Haris sudah mengurungnya di Lavandula sejak dia mendekam di penjara.Kemarin pengacara yang dikirim Yasir Pranadipa mendatanginya dan menanyakan begitu banyak hal. Sayangnya yang bisa Adhira jawab hanyalah tidak tahu. Dia dalam keadaan mabuk berat dan tidak sadar
Kelas Pak Okra siang itu terasa lebih membosankan dari biasanya. Bukan karena guru biologi itu tidak datang dengan muka galaknya, tapi hari ini ada tugas tambahan yang harus mereka kerjakan untuk libur akhir tahun nanti.“Saya ingin kalian membuat contoh studi kasus tentang pencemaran lingkungan. Kaidah yang sudah saya terangkan di jam pelajaran ini harus bisa diterapkan di karya tulis kalian nanti. Kalian bisa membentuk kelompok kecil. Satu kelompok terdiri dari tiga atau empat orang. Ervan, nanti kamu tuliskan nama teman-temanmu ke selembar kertas. Serahkan ke saya sebelum jam makan siang.”Sebelum ditahan Adhira sempat menjabat sebagai ketua kelas, tapi baru dua hari dia menjalani tugasnya posisinya itu kembali diambil alih oleh Ervan. “Dan Adhira, karena kamu sudah satu semester tidak masuk, saya minta kamu untuk ikut mata pelajaran tambahan di akhir kelas,” timpal Pak Okra mengakhiri penjelasannya.“Heh? Saya rasa
Adhira tak berani melihat ke arah Pak Wayan. Dia tahu jelitan horor itu sudah pasti terpancar dari bingkai lensa cembung yang dikenakannya.“Maaf, Pak,” ucap Adhira serba salah.“Kamu ini. Benar kata para guru, selalu bikin gara-gara!” Omelan Pak Wayan tak berhenti sampai di sana. Dia tampak geram buku dan kertas pentingnya kini sudah menjadi bubur kertas.Akibat kejadian siang tadi, Adhira lagi-lagi tidak bisa lepas dari hukuman. Dia diminta melanjutkan pekerjaan Mbak Yuli untuk membersihkan kamar mandi sekolah setelah jam pulang.Setelah mengambil peralatan bersih-bersih, Adhira pun melangkah lesu ke kamar mandi siswa laki-laki, yang semerbaknya mampu menebas habis bulu hidungnya itu. Dia heran bagaimana bisa sekolah yang katanya elit ini memiliki kamar mandi sedemikian jorok. Bahkan bila bau bisa membunuh orang, maka toilet ini adalah tempat berdarah yang pernah ada.Tanpa banyak mengeluh lagi, Adhira akhirnya mulai menyi