Seusai dakwaan dibacakan oleh jaksa penuntut umum, penasehat hukum yang sudah diutus oleh Tuan Pranadipa melakukan eksepsi. Bukti yang berhasil dikumpulkan berupa pakaian korban, rekaman CCTV, surat visum, serta topeng yang sebelumnya pernah dikenakan Adhira pada hari di mana kejadian naas itu terjadi pada Lyra.
Adhira digiring memasuki ruang persidangan yang lengang itu. Dirinya tak menyangka akan menjadi salah satu tersangka yang diadili di tempat ini. Ada Bunda Safira yang juga turut hadir di kursi pengunjung. Di sampingnya ada Tamara dan beberapa guru lain. Kuswan duduk tak jauh dari tempat mereka. Dia tersenyum seraya menyemangati Adhira yang mulai menggeliat resah itu. Ervan tidak ada di sana. Tampaknya Haris sudah mengurungnya di Lavandula sejak dia mendekam di penjara.
Kemarin pengacara yang dikirim Yasir Pranadipa mendatanginya dan menanyakan begitu banyak hal. Sayangnya yang bisa Adhira jawab hanyalah tidak tahu. Dia dalam keadaan mabuk berat dan tidak sadar
Kelas Pak Okra siang itu terasa lebih membosankan dari biasanya. Bukan karena guru biologi itu tidak datang dengan muka galaknya, tapi hari ini ada tugas tambahan yang harus mereka kerjakan untuk libur akhir tahun nanti.“Saya ingin kalian membuat contoh studi kasus tentang pencemaran lingkungan. Kaidah yang sudah saya terangkan di jam pelajaran ini harus bisa diterapkan di karya tulis kalian nanti. Kalian bisa membentuk kelompok kecil. Satu kelompok terdiri dari tiga atau empat orang. Ervan, nanti kamu tuliskan nama teman-temanmu ke selembar kertas. Serahkan ke saya sebelum jam makan siang.”Sebelum ditahan Adhira sempat menjabat sebagai ketua kelas, tapi baru dua hari dia menjalani tugasnya posisinya itu kembali diambil alih oleh Ervan. “Dan Adhira, karena kamu sudah satu semester tidak masuk, saya minta kamu untuk ikut mata pelajaran tambahan di akhir kelas,” timpal Pak Okra mengakhiri penjelasannya.“Heh? Saya rasa
Adhira tak berani melihat ke arah Pak Wayan. Dia tahu jelitan horor itu sudah pasti terpancar dari bingkai lensa cembung yang dikenakannya.“Maaf, Pak,” ucap Adhira serba salah.“Kamu ini. Benar kata para guru, selalu bikin gara-gara!” Omelan Pak Wayan tak berhenti sampai di sana. Dia tampak geram buku dan kertas pentingnya kini sudah menjadi bubur kertas.Akibat kejadian siang tadi, Adhira lagi-lagi tidak bisa lepas dari hukuman. Dia diminta melanjutkan pekerjaan Mbak Yuli untuk membersihkan kamar mandi sekolah setelah jam pulang.Setelah mengambil peralatan bersih-bersih, Adhira pun melangkah lesu ke kamar mandi siswa laki-laki, yang semerbaknya mampu menebas habis bulu hidungnya itu. Dia heran bagaimana bisa sekolah yang katanya elit ini memiliki kamar mandi sedemikian jorok. Bahkan bila bau bisa membunuh orang, maka toilet ini adalah tempat berdarah yang pernah ada.Tanpa banyak mengeluh lagi, Adhira akhirnya mulai menyi
“Kak Adhi?”Sejak kematian Durga, Adhira belum sempat bertemu dengan Kiara. Perpaduan haru dan penyesalan berkumpul di dadanya. Rasa pahit yang dingin membuat Adhira sejenak tak mampu berkata-kata.Gadis itu berdiri dengan wajah polosnya. Tidak ada sedikit pun kebencian yang tercermin dalam ekspresi kejutnya. Dia seperti malaikat tanpa dosa, dan Adhira menyerah untuk tetap berdiri di hadapannya dengan tameng yang kotor ini. Adhira ingin mengatakan beribu maaf lebih banyak, tapi Om Willian sudah berjalan mendekat ke arah mereka.Di waktu yang tipis ini, hanya sirat rasa bersalah yang terungkap dari bola matanya. Tanpa sempat berbincang dengan Kiara, Adhira langsung berkiprah pergi.Bayang-bayang di malam yang mendung itu melayang dalam pikiran Adhira. Dia masih duduk kelas satu SD dan Kiara bahkan belum berusia lima tahun. Setelah ketahuan memecahkan pot kesayangan Tante Durga, Adhira dikurung di gudang selama tiga hari. Tidak pernah selama itu
“Aku percaya padamu.”Adhira berharap dengan menanggapi ucapannya dengan sekali lagi mengabulkan permohonan maaf itu, Lodra bisa terbebaskan dari rasa bersalah. Dia selalu belajar dari cara Kiara yang tak pernah menyentuh kata kebencian dan dendam. Bagaimana dengan memulainya dari orang ini?Lodra memeluknya dengan erat seusai Adhira mengutarakan kalimat singkat tadi.Entah mengapa, di sudut yang tersembunyi di benaknya, dia mengasihani orang ini. Dia begitu terharu hanya karena kata-kata ini. Lodra sempat bercerita tentang ayahnya yang selalu menganggapnya anak haram. Mungkin bentuk ketidakpedulian ini sudah mengakar dalam dirinya hingga dia menjelma menjadi makhluk tersisih yang haus akan kasih sayang.“Aku tidak menyalahkanmu. Yang sudah terjadi, sepenuhnya di luar kendali kita. ““Sejak mamaku meninggal, tidak ada orang yang memercayaiku. Mereka menganggap aku benalu yang semestinya tidak dilahirkan.”
Matahari pagi menyingsing terik di ufuk timur. Kedatangan Ervan di panti asuhan ini membangunkannya dari mimpi buruk yang panjang itu. Liburan telah tiba dan Adhira bahkan tidak sempat menikmati lebih lama masa-masa menggembirakan tersebut. Para guru menjejalinya dengan setumpuk tugas demi mengejar ketertinggalannya.“Ke mana Kuswan dan Ucep?”“Kuswan terserang cacar air dan Ucep tidak bisa dihubungi,” jawab Ervan.Sudah ditebak!Adhira tak pernah berhasil memaksa dua sobat sekriminalnya itu untuk mengerjakan tugas semacam ini. Alhasil Ervan menyeret dirinya untuk ikut mengerjakan tugas.“Oke, jadi kita penelitian apa?” tanya Adhira setelah duduk di samping Ervan. Hari ini Pak Wisman tidak mengantar mereka.“Aku sudah kasih catatannya kemarin.” Ervan menjawab sambil menyetir mobilnya.“Ow.”Adhira ingat Ervan sempat memberikan catatannya kemarin dan dia entah
Ervan mengeluarkan peralatan seperti botol dan usapan kapas, serta beberapa jenis wadah reagen lainnya. Adhira yang tak tahu-menahu tentang penelitian mereka hanya celingak-celinguk bingung. Dia pun mendekati beberapa anak-anak dan mengajak mereka mengobrol. Anak-anak memiliki kulit yang lebih gelap. Tadinya Adhira berpikir mungkin karena mereka terlalu sering terpapar sinar matahari. Namun setelah diamati lebih jauh, penampakan anak-anak ini memang berbeda. Permukaan kulit yang sedikit bersisik dengan warna gelap kemerahan membuat mereka tak berhenti menggaruk. Rambut mereka cenderung kecokelatan. Tentu saja mereka tidak mewarnainya dengan sengaja. Gigi mereka lebih kuning, dan pada beberapa anak, ditemukan karies yang sudah menghitam. Masalah yang ditemukan juga ternyata tak sampai di sana, beberapa bayi juga menunjukkan keterlambatan perkembangan. Baru-baru ini anak pemilik rumah ini meninggal karena cairan di kepalanya. Sisanya mengalami k
Sebelum Adhira bisa bangkit, dia merasa kepalanya telah terantuk benda keras di salah batu tersebut. Ervan berusaha mempertahankan tubuhnya agar tidak menyentuh tubuh Adhira, tapi dia gagal. Seketika itu pula dia berdiri melanjutkan pekerjaannya menyiduk aliran limbah di belakang pabrik tekstil tersebut.Pengemudi perahu menunggui mereka di pinggir sungai hingga Ervan selesai mengambil seluruh bahan yang dibutuhkannya. Cuaca berganti cukup cepat. Matahari terik yang tadi melingkupi langit kini sudah terselubung oleh awan hitam. Ervan bergegas kembali ke tepian untuk selanjutnya mengambil sampel berikutnya dari sisi muara yang lain.Adhira menggosok kepalanya yang mulai membenjol. Matanya masih berkunang-kunang saat entakan itu terasa. Dia tidak ikut Ervan turun pada pemberhentian berikutnya. Rasa sakit kian berdenyut saat mereka berhenti ke muara sungai yang kedua.“Kamu tidak apa-apa?” tanya Ervan yang mulai curiga akan tingkah Adhira yang diam itu.
Adhira baru terbangun keesokan harinya. Dia menoleh ke arah wanita yang sejak tadi duduk gelisah sambil menyengir kosong. Wanita itu sudah duduk di sampingnya sejak subuh tadi.“Kamu masih bisa ketawa? Saya panik setengah mati waktu dengar kamu masuk rumah sakit….” omel Bunda Safira.Dengan cepat dia membantu Adhira duduk dan menuangkan air minum untuknya.Tangan Safira teracung ke hadapan Adhira untuk memastikan kalau dia bisa melihat dengan normal. Dia juga memeriksa tubuh Adhira yang lain dengan resah.“Aku tidak apa-apa, cuma terbentur saja. Sekarang sudah tak masalah,” jawab Adhira.Dia menyembunyikan lengannya yang masih penuh luka tusukan dari pengamatan Bunda Safira. Topeng ceria itu seolah melipisi rasa sakit yang masih mendera tempurung kepalanya.“Mana ada orang terbentur sampai babak belur begini,” tukas Bunda Safira masih belum tenang.Adhira tak menghiraukan ocehan Bunda S