“Kak Adhi?”
Sejak kematian Durga, Adhira belum sempat bertemu dengan Kiara. Perpaduan haru dan penyesalan berkumpul di dadanya. Rasa pahit yang dingin membuat Adhira sejenak tak mampu berkata-kata.
Gadis itu berdiri dengan wajah polosnya. Tidak ada sedikit pun kebencian yang tercermin dalam ekspresi kejutnya. Dia seperti malaikat tanpa dosa, dan Adhira menyerah untuk tetap berdiri di hadapannya dengan tameng yang kotor ini. Adhira ingin mengatakan beribu maaf lebih banyak, tapi Om Willian sudah berjalan mendekat ke arah mereka.
Di waktu yang tipis ini, hanya sirat rasa bersalah yang terungkap dari bola matanya. Tanpa sempat berbincang dengan Kiara, Adhira langsung berkiprah pergi.
Bayang-bayang di malam yang mendung itu melayang dalam pikiran Adhira. Dia masih duduk kelas satu SD dan Kiara bahkan belum berusia lima tahun. Setelah ketahuan memecahkan pot kesayangan Tante Durga, Adhira dikurung di gudang selama tiga hari. Tidak pernah selama itu
“Aku percaya padamu.”Adhira berharap dengan menanggapi ucapannya dengan sekali lagi mengabulkan permohonan maaf itu, Lodra bisa terbebaskan dari rasa bersalah. Dia selalu belajar dari cara Kiara yang tak pernah menyentuh kata kebencian dan dendam. Bagaimana dengan memulainya dari orang ini?Lodra memeluknya dengan erat seusai Adhira mengutarakan kalimat singkat tadi.Entah mengapa, di sudut yang tersembunyi di benaknya, dia mengasihani orang ini. Dia begitu terharu hanya karena kata-kata ini. Lodra sempat bercerita tentang ayahnya yang selalu menganggapnya anak haram. Mungkin bentuk ketidakpedulian ini sudah mengakar dalam dirinya hingga dia menjelma menjadi makhluk tersisih yang haus akan kasih sayang.“Aku tidak menyalahkanmu. Yang sudah terjadi, sepenuhnya di luar kendali kita. ““Sejak mamaku meninggal, tidak ada orang yang memercayaiku. Mereka menganggap aku benalu yang semestinya tidak dilahirkan.”
Matahari pagi menyingsing terik di ufuk timur. Kedatangan Ervan di panti asuhan ini membangunkannya dari mimpi buruk yang panjang itu. Liburan telah tiba dan Adhira bahkan tidak sempat menikmati lebih lama masa-masa menggembirakan tersebut. Para guru menjejalinya dengan setumpuk tugas demi mengejar ketertinggalannya.“Ke mana Kuswan dan Ucep?”“Kuswan terserang cacar air dan Ucep tidak bisa dihubungi,” jawab Ervan.Sudah ditebak!Adhira tak pernah berhasil memaksa dua sobat sekriminalnya itu untuk mengerjakan tugas semacam ini. Alhasil Ervan menyeret dirinya untuk ikut mengerjakan tugas.“Oke, jadi kita penelitian apa?” tanya Adhira setelah duduk di samping Ervan. Hari ini Pak Wisman tidak mengantar mereka.“Aku sudah kasih catatannya kemarin.” Ervan menjawab sambil menyetir mobilnya.“Ow.”Adhira ingat Ervan sempat memberikan catatannya kemarin dan dia entah
Ervan mengeluarkan peralatan seperti botol dan usapan kapas, serta beberapa jenis wadah reagen lainnya. Adhira yang tak tahu-menahu tentang penelitian mereka hanya celingak-celinguk bingung. Dia pun mendekati beberapa anak-anak dan mengajak mereka mengobrol. Anak-anak memiliki kulit yang lebih gelap. Tadinya Adhira berpikir mungkin karena mereka terlalu sering terpapar sinar matahari. Namun setelah diamati lebih jauh, penampakan anak-anak ini memang berbeda. Permukaan kulit yang sedikit bersisik dengan warna gelap kemerahan membuat mereka tak berhenti menggaruk. Rambut mereka cenderung kecokelatan. Tentu saja mereka tidak mewarnainya dengan sengaja. Gigi mereka lebih kuning, dan pada beberapa anak, ditemukan karies yang sudah menghitam. Masalah yang ditemukan juga ternyata tak sampai di sana, beberapa bayi juga menunjukkan keterlambatan perkembangan. Baru-baru ini anak pemilik rumah ini meninggal karena cairan di kepalanya. Sisanya mengalami k
Sebelum Adhira bisa bangkit, dia merasa kepalanya telah terantuk benda keras di salah batu tersebut. Ervan berusaha mempertahankan tubuhnya agar tidak menyentuh tubuh Adhira, tapi dia gagal. Seketika itu pula dia berdiri melanjutkan pekerjaannya menyiduk aliran limbah di belakang pabrik tekstil tersebut.Pengemudi perahu menunggui mereka di pinggir sungai hingga Ervan selesai mengambil seluruh bahan yang dibutuhkannya. Cuaca berganti cukup cepat. Matahari terik yang tadi melingkupi langit kini sudah terselubung oleh awan hitam. Ervan bergegas kembali ke tepian untuk selanjutnya mengambil sampel berikutnya dari sisi muara yang lain.Adhira menggosok kepalanya yang mulai membenjol. Matanya masih berkunang-kunang saat entakan itu terasa. Dia tidak ikut Ervan turun pada pemberhentian berikutnya. Rasa sakit kian berdenyut saat mereka berhenti ke muara sungai yang kedua.“Kamu tidak apa-apa?” tanya Ervan yang mulai curiga akan tingkah Adhira yang diam itu.
Adhira baru terbangun keesokan harinya. Dia menoleh ke arah wanita yang sejak tadi duduk gelisah sambil menyengir kosong. Wanita itu sudah duduk di sampingnya sejak subuh tadi.“Kamu masih bisa ketawa? Saya panik setengah mati waktu dengar kamu masuk rumah sakit….” omel Bunda Safira.Dengan cepat dia membantu Adhira duduk dan menuangkan air minum untuknya.Tangan Safira teracung ke hadapan Adhira untuk memastikan kalau dia bisa melihat dengan normal. Dia juga memeriksa tubuh Adhira yang lain dengan resah.“Aku tidak apa-apa, cuma terbentur saja. Sekarang sudah tak masalah,” jawab Adhira.Dia menyembunyikan lengannya yang masih penuh luka tusukan dari pengamatan Bunda Safira. Topeng ceria itu seolah melipisi rasa sakit yang masih mendera tempurung kepalanya.“Mana ada orang terbentur sampai babak belur begini,” tukas Bunda Safira masih belum tenang.Adhira tak menghiraukan ocehan Bunda S
“Kamu takut aku kena HIV, begitu?”Ervan memilih bungkam. Seharusnya dia memang tak perlu mendengar kata-kata Renal tentang membujuk Adhira. Walau Adhira selalu menanggapi kata-katanya dengan santai, pertanyaan ini jelas menyinggung dirinya.“Kamu tidak perlu mengurusiku,” cetus Adhira.Dengan pelan, Ervan pun bergumam, “Kamu bisa diobati bila memang terbukti benar.”“Apanya? Kamu mau mengobatiku?”“Aku hanya menyampaikan apa yang harus kusampaikan.”Nyeri di kepalanya masih tersisa dan Ervan bukannya membawakan sesuatu yang enak, tapi malah membahas tentang hal tidak jelas itu. Ini membuat Adhira mulai terusik dengan campur tangannya.“Sejak kapan kamu peduli padaku?”Ervan hanya membungkam. Sorot matanya yang semula padam kembali tersulut, menjerat kemarahan dalam satu tatapan.Melihat ini, Adhira malah menimpal, “Sudahlah, Daffin, bagusan ka
Dalam tiga hari kondisi Adhira tak kunjung membaik. Karena dia lelah dengan desakan Bunda Safira, Adhira pun memutuskan untuk mengikuti saran Ervan. Dia memberanikan diri mengunjungi klinik untuk memeriksakan dirinya.Tempat itu berada di persimpangan jalan. Bukan klinik yang terlalu besar, tapi mereka melayani pemeriksaan dan penanganan terhadap pasien dengan infeksi menular secara gratis. Sesuatu yang membuat Adhira tidak lagi bisa menolak saran Ervan.Adhira masuk ke pintu klinik memastikan tidak ada orang yang dia kenal berada di sekitarnya. Pengunjung tempat ini rata-rata pasangan muda yang hendak melakukan pemeriksaan pranikah.Jika memang yang dikatakan Ervan kalau penyakit ini bisa diobati, seharusnya memang tidak semengerikan bayangannya. Dia diminta untuk masuk ke ruangan khusus dan mengisi beberapa lembar formulir data diri. Lalu seorang laboran meminta izin untuk mengambil darahnya.Dia mengambil tempat duduk sampai hasil keluar beberapa jam k
Laila mengais-ngais tanah, mencari marmut kecilnya yang masih malu-malu bersembunyi di balik semak. “Lili! Ayo pulang, sudah sore!” Adhira memekik gadis kecil berusia 3 tahun tadi. Tak jauh dari tempatnya berdiri, ada macan tutul besar yang tengah memadu kasih dengan seorang pemuda berwajah es. Adhira segera menahan napasnya. Dia belum sepenuhnya kenal dengan macam tutul itu. Jadi sebisa mungkin tidak membuat suara yang terlalu mencolok. Saat menyadari Adhira ada di dekatnya, Ervan langsung mengarahkan hewan buas tadi padanya. “Ckckck… gara-gara hewan ini kamu sampai bertengkar dengan Papamu,” ucap Adhira. Mendapati hewan tersebut tidak lagi melakukan penyerangan, Adhira mulai berani menyentuh hewan tersebut dengan jemarinya. Ervan menyodorkan potongan daging terakhir padanya. Wilis begitu takluk dalam pengaruh mereka sekarang. Laila bahkan berani memeluknya tanpa segan. “Hei, Lili! Kamu mau tinggal di sini?” “Tidak!”